tirto.id - Teritorial yang harus dijaga Hendrik Johannes de Vries sangat luas dibandingkan komandan tentara Belanda lain di Indonesia: Kalimantan dan Indonesia Timur. Apa yang disebut "Indonesia Timur"--bekas Timur Raya (Groote Oost) era kolonial--meliputi Sulawesi, Maluku, Papua, dan seluruh pulau kecil di sekitarnya. Tugas ini dimulai pada Mei 1946 dan de Vries baru jadi kolonel pada Juni di tahun yang sama.
Selain luas, masalah lain adalah kerasnya perlawanan kaum Republik di pusat Indonesia Timur, Makassar. Tentu meredam perlawanan juga merupakan tanggung jawab de Vries.
Semua mungkin bakal baik-baik saja jika de Vries punya banyak pasukan. Namun kondisinya tidak demikian. Di bawah de Vries hanya ada 2.700 tentara, dan itu pun tersebar-sebar di beberapa daerah.
Johannes de Vries bahkan tak mampu mengamankan tempat tinggalnya sendiri di Makassar. Maarten Hidskes dalam Di Belanda Tak Seorang Pun Mempercayai Saya (2018:80) menyebut rumah de Vries menjadi sasaran pencurian. Alat makan (sendok garpu) perak dari dapurnya hilang.
Kewalahan mengatasi masalah keamanan di sekitar Makassar, atas restu kawan satu angkatan di Akademi Militer Breda yang jadi Panglima seluruh tentara Belanda di Indonesia Letnan Jenderal Simon Hendrik Spoor, de Vries mendatangkan pasukan khusus nan mematikan bernama Depot Speciale Troepen (DST) pada akhir 1946.
Pasukan ini dipimpin oleh Kapten Westerling yang masa bodoh dengan Konvensi Genewa yang memanusiawikan orang sipil dan tawanan saat perang. Westerling dikenal karena aksi yang penuh darah di Sulawesi Selatan antara Desember 1946 hingga akhir Februari 1947. Meski hanya tiga bulan, kengeriannya teringat sangat lama di kalangan orang Indonesia.
“De Vries begitu terperangah. Dia kaget bukan main walau sebenarnya dia adalah perwira yang sangat mengenal Hindia,” kata seseorang bernama Hay, dicatat dalam buku Hidskes.
Westerling dianggap berhasil. Keadaan orang Belanda di Makassar agak membaik. Kolonel de Vries pun bisa tersenyum lega. Berkat itu pula, Belanda dapat dengan tenang mensponsori Negara Indonesia Timur (NIT) yang berpusat di Makassar.
Namun apa yang dilakukan Westerling dipermasalahkan banyak pihak. Letnan Jenderal Spoor--atasan Vries dan Westerling--akhirnya menarik Westerling setelah Februari 1947 dan de Vries tak lagi menangani daerah itu sejak 15 Mei 1947 karena diberhentikan dengan hormat.
De Vries tampaknya tak berbakat memimpin pasukan di daerah bergejolak. Mungkin karena tidak dibentuk oleh perang. Di masa muda, ia memang bertugas di Aceh, tapi itu pun setelah perang 1873-1904 usai. Ia bertugas di sana pada 1920-an.
Namun karier Henk de Vries terus berlanjut. Dari Makassar, ia kembali ke kota kelahirannya, Batavia, dan ditempatkan di Markas Besar Umum. Ia juga pernah menjadi anggota militer Komisi A, delegasi Belanda di United Nations Commission for Indonesia (UNCI). Jabatan ini memperkuat dugaan bahwa Vries tidak terlalu dikecam terkait pembantaian massal di Sulawesi Selatan seperti Westerling.
Pada Oktober 1947, Vries ditugaskan menjadi inspektur batalion keamanan dan polisi khusus di daerah-daerah negara federal yang didekati Belanda.
Kedekatan dengan Spoor
De Vries dan Spoor sudah berkawan sejak 1920-an. Menurut Dagblad van Noord-Brabant edisi 28 Juni 1923, keduanya lulus sebagai letnan kelas dua infanteri untuk KNIL pada pertengahan 1923. Mereka pernah ditugaskan di batalion-batalion infanteri dan pernah pula ditempatkan di Kalimantan. Meski Spoor naik pangkat lebih cepat, sebelum 1939 de Vries telah berpangkat kapten.
“Pada 1939 saya kapten di staf jenderal. Awalnya ditempatkan di kantor organisasi dari jenderal staf KNIL. Setelah itu saya ditempatkan di kantor pertahanan udara, perlindungan udara, dan urusan penerbangan umum dari staf jenderal,” aku de Vries dalam Parlamentare Euguetecce, 8C-11 Verhoren.
J. A. de Moor dalam Jenderal Spoor: Kejayaan dan Tragedi Panglima Tentara Belanda Terakhir di Indonesia (2015:98-99) menyebut Vries pernah menjadi sekretaris redaksi dari majalah Orgaan der Nederlandsche Indische Officieren Vereniging di bawah Jenderal Mayor Ludolph Hendrik van Oyen (1889-1953) pada 1940. Ketika itu redaktur utamanya tak lain Spoor.
Waktu Jepang menduduki Indonesia pada Maret 1942, Spoor dan Vries kabur ke Australia. Kala itu Spoor berpangkat mayor sementara Vries sudah lama jadi kapten. Meski di Australia de Vries masih bawahan dari van Oyen, ia dan Spoor dikenal sebagai perwira muda yang kerap kritis terhadap komando para jenderal senior ketika menghadapi Jepang.
Setelah Jepang kalah, de Vries ditempatkan sebagai perwira staf umum, kemudian Wakil Presiden Pengadilan Militer di Jakarta, lalu akhirnya menjadi panglima tentara di Indonesia Timur dan Kalimantan dan berhubungan dengan Westerling.
Setelah berbagai penugasan, Henk de Vries memutuskan ke Belanda naik kapal motor William Ruys pada 3 Desember 1949. Laki-laki kelahiran Jakarta 28 November 1900 ini harus pensiun setelah KNIL bubar pada Juli 1950. Dia menetap di Heemstede dan meninggal dunia pada 24 April 1976 pada usia 75.
Editor: Rio Apinino