tirto.id - Dalam sebuah serat kekancingan, Sri Sultan Hamengkubuwono IX memberikan izin atas permohonan sejumlah ulama Yogyakarta untuk membentuk organisasi semi militer bernama Askar Perang Sabil.
Para ulama yang menghadap sultan adalah Ki Bagus H. Hadikusumo, Kyai H. Mahfudz Siradj dan K.H. Ahmad Badawi. Mereka menyampaikan bahwa pembentukan organisasi tersebut dilakukan setelah melalui i'tikaf di sebuah masjid di Kampung Suronatan, Yogyakarta, pada tanggal 23 Juli 1947.
Pada waktu yang sama, dibentuk pula Markas Ulama Perang Sabil sebagai wadah para tokoh dan ulama Muhammadiyah guna memobilisasi Askar Perang Sabil.
Selanjutnya, ketiga ulama utusan dari Muhammadiyah dan Masyumi Cabang Yogyakarta itu menghadap Jenderal Sudirman yang kemudian turut mendukung dan menyetujui pembentukan laskar tersebut.
Dalam struktur organisasi, Ki Bagus Hadikusumo terpilih sebagai penasihat, sedangkan K. H. Mahfudz Siradj sebagai imam, dan ketua serta wakil ketua dibebankan kepada K. H. R. Hadjid dan K. H. Ahmad Badawi.
Halaman Masjid Kauman dan Alun-alun Utara Yogyakarta ditetapkan sebagai tempat pelatihan militer bagi para anggota Askar Perang Sabil. Anggola laskar ini adalah pemuda muslim yang berusia tujuh belas tahun ke atas dan sebagian anggota Hizbullah serta Sabilillah yang berusia di bawah empat puluh tahun yang tidak terserap ke tubuh TNI.
Mereka dilatih baris-berbaris, latihan menembak, hingga menyusun strategi perang. Laskar ini di bawah koordinasi TNI dan tersebar di wilayah sekitar Kota Yogyakarta. Selain dibekali pendidikan militer, para anggota Askar Perang Sabil juga mendapat bimbingan kerohanian dari para ulama.
Agresi Militer Belanda II dan Serangan Umum 1 Maret
Setelah dibentuk dan diberi pelatihan, atas perintah dari Markas Ulama Perang Sabil, Askar Perang Sabil dikirim ke Semarang di front pertempuran Mranggen dan Srondol.
Kemudian pada 31 Juli 1947, atas perintah Jenderal Sudirman yang diteruskan melalui surat perintah dari Jenderal Oerip Soemodihardjo, Markas Ulama Perang Sabil mengirimkan satu batalion laskar ini untuk ditempatkan di wilayah Grabag, sebelah timur Kecamatan Pingit. Mereka dibekali 120 pucuk senjata.
Di wilayah ini, Askar Perang Sabil bekerja sama dengan TNI di bawah pimpinan Mayor Yani. Keduanya membentuk pertahanan di Pergunungan Ngrancak hingga Desa Tirto.
Selanjutnya Markas Ulama Perang Sabil memerintahkan Askar Perang Sabil untuk menghentikan tugasnya di perbatasan Kebumen. Keputusan tersebut merupakan tidak lanjut Resolusi PBB No. 27 tanggal 1 Agustus 1947 yang menyerukan gencatan senjata antara Indonesia dengan Belanda. Meski begitu, Askar Perang Sabil tetap tinggal dan berjaga Kebumen hinggal awal tahun 1948.
Menurut Tashadi, dkk dalam Keterlibatan Ulama di DIY Pada Masa Perang Kemerdekaan Periode 1945-1949 (2000), pada September 1948, saat meletusnya Madiun Affair, Markas Ulama Perang Sabil mengirim Askar Perang Sabil ke wilayah Grobogan, Purwodadi, Pati, dan Kudus untuk bergabung dengan pasukan TNI batalion Kemal Idris dan Kusno Utomo.
Setelah terdesak di Madiun, PKI yang melarikan diri menuju wilayah Gunungkidul terlibat pertempuran dengan Askar Perang Sabil yang bergabung dengan TNI dan Polisi.
Saat Belanda memulai Agresi Militer II pada 19 Desember 1948, Askar Perang Sabil di ibu kota Yogyakarta bergerak ke arah selatan meninggalkan markasnya di Kauman menuju Karangkajen. Hal ini dilakukan menuruti perintah kilat No.1/PB/48 dari Jenderal Sudirman yang menyeru untuk melakukan perang gerilya.
Selama satu minggu di Karangkajen, laskar ini beberapa kali menyerang pasukan Belanda yang berada di dalam kota. Namun akhirnya markas mereka di Karangkajen diserang pasukan Belanda dan menewaskan empat anggotanya.
Atas inisiatif pengurus Markas Ulama Perang Sabil Cabang Kabupaten Bantul, Askar Perang Sabil bergerak menuju Bantul. Namun, karena terpaut jarak sekitar 10 km dari Kota Yogyakarta, laskar ini gagal mengadang pasukan Belanda yang masuk ke Bantul. Belanda kemudian menyerang Pabrik Gula Padokan yang menewaskan lima anggota laskar.
Belanda juga dua kali menyerang Pabrik Gula Gesikan. Dalam serangan, pertama Belanda sempat menarik mundur pasukannya ke arah utara. Namun dalam serangan kedua, mereka berhasil membalikkan keadaan hingga memaksa Askar Perang Sabil mundur dan menyelamatkan diri menuju Tegallayang, Kecamatan Pandak.
Perlawanan laskar ini selama Agresi Militer Belanda II juga terjadi di wilayah Sleman. Sementara di Kulon Progo, Askar Perang Sabil menjaga keamanan dari ancaman para garong atau perampok yang kerap menjarah harta rakyat.
Awal Januari 1949, beberapa minggu sebelum dikeluarkannya resolusi 67 DK PBB, Askar Perang Sabil dipimpin K.H. Mahfud Siradj bersama pasukan TNI di sub wehrkreise (SWK) 103 B, menyerang pasukan Belanda di dalam Kota Yogyakarta. Meski serangan itu gagal menguasai kembali Kota Yogyakarta, beberapa wilayah di sekitarnya berhasil diambil alih.
Selanjutnya, saat sirine berbunyi di seantero Yogyakarta pada 1 Maret 1949 sebagai tanda dimulainya serangan gerilya semesta untuk merebut kembali Yogyakarta, laskar ini berada di bawah kendali komandan TNI Kompi Komarudin. Mereka ditempatkan di selatan benteng dan tersebar di dalam kota.
Sedangkan di luar Yogyakarta, Askar Perang Sabil membentuk barisan pertahanan di sepanjang jalan yang menjadi pintu masuk menuju kota. Setelah Serangan Umum 1 Maret 1949 berakhir, Askar Perang Sabil dan Markas Ulama Perang Sabil bubar perlahan tanpa upacara resmi.
Penulis: Andika Yudhistira Pratama
Editor: Irfan Teguh Pribadi