Menuju konten utama

Laskar Pesindo dalam Pasang Surut Revolusi

Sempat menjadi salah satu laskar perjuangan dengan anggota paling banyak, Pesindo berakhir tragis: kalah dalam Madiun Affair 1948 dan gempa politik 1965.

Laskar Pesindo dalam Pasang Surut Revolusi
Header Mozaik Kongres Pemuda. tirto.id/Tino

tirto.id - “Hai Pemuda, jika kamu memegang bedil di tanganmu kanan, haruslah kamu memegang palu di tanganmu kiri. Dan jika kamu memegang pedang di tanganmu kanan, peganglah arit di tanganmu kiri,” ujar Amir Sjariffudin pada 9 November 1945 dalam Kongres Pemuda di Balai Mataram, Yogyakarta.

Pidato itu menjadi pembuka kongres yang dihadiri 629 peserta yang berasal dari Jawa, Sumatra, Madura, Sunda Kecil, Kalimantan, serta Sulawesi. Sri Sultan Hamengkubuwono IX, Sri Paku Alam VIII bersama para pejabat tinggi militer Republik, serta wartawan dalam dan luar negeri, turut hadir.

Seturut Norman Joshua Soelias dalam Pesindo: Pemuda Sosialis Indonesia 1945-1950 (2016), kongres pemuda Indonesia pertama ini berskala besar untuk negara yang belum genap berusia tiga bulan.

Kongres berakhir dengan disepakatinya dua keputusan penting. Pertama, membentuk wadah yang bersifat federatif bagi organisasi pemuda. Kedua, tujuh dari tiga puluh organisasi pemuda yang hadir dalam kongres menyatakan kesediaannya untuk berfusi dalam satu organisasi baru dengan nama Pesindo (Pemuda Sosialis Indonesia).

Ketujuh organisasi tersebut antara lain Angkatan Pemuda Indonesia, Angkatan Muda Republik Indonesia, Angkatan Muda Kereta Api, Angkatan Muda Gas dan Listrik, Angkatan Muda Pos, Telegraf, dan Telepon.

Selanjutnya menurut Benedict Anderson dalam Revoloesi Pemoeda: Pendudukan Jepang dan Perlawanan di Jawa 1944-1946 (2018), pada 11 November 1945 Pesindo melaksanakan sidang internal di bawah pimpinan Chaerul Saleh.

Dalam sidang tersebut Krissubanu ditetapkan sebagai ketua. Sedangkan wakil ketua dipegang Wikana dan Ibnu Parna.

Dekat dengan Amir Sjarifuddin

Kongres Pemuda itu berawal dari pandangan Amir Sjariffudin terhadap potensi ancaman dari para pemuda bersenjata yang tidak tertampung ke dalam tubuh militer Republik.

Kongres Pendahuluan sempat diadakan yang dihadiri oleh API (Jakarta), Gerpri (Yogyakarta), Pelopor (Yogyakarta), dan AMRI (Jawa Tengah), masing-masing mengirimkan dua utusan. Sedangkan PRI (Surabaya dan Bandung), IPI (Jakarta) masing-masing mengirimkan satu utusan. Amir Sjarifuddin selaku Menteri Penerangan diwakili oleh Staf Wartawan Kementerian Penerangan.

Dalam kongres pendahuluan, para perwakilan menyetujui sikap untuk mendesak kongres pemuda tanggal 9-10 November dapat menciptakan satu gerakan pemuda dalam yang bersifat fusi dan berlandaskan pada nilai-nilai sosialis.

Mengutip kembali Norman Joshua Soelias, Pesindo memiliki kedekatan dengan tokoh pemuda angkatan ’45 yang anti-fasis, seperti Wikana dan Chaerul Saleh yang berasal dari Menteng 31, Soemarsono dan Krissubanu yang berasal dari PRI Surabaya, serta Ibnu Parna dari AMRI Semarang.

Kedekatan itulah yang akhirnya membentuk orientasi politik Pesindo sebagai organisasi pemuda kiri, meskipun dalam AD/ART menyatakan bahwa Pesindo tidak berafiliasi dengan suatu partai politik.

Kedekatan antara Pesindo dengan Amir Sjarifuddin menciptakan simbiosis mutualisme yang bersifat patron-klien. Bagi Amir Sjarifuddin, Pesindo dapat dijadikan pendukung dengan basis massa pemuda yang kuat, sedangkan bagi Pesindo sosok Amir Sjarifuddin yang duduk di jajaran pemerintah menjadi dukungan politik tersendiri.

Hingga tahun 1947, sekitar 300.000 orang menjadi anggota Pesindo dan memiliki cabang yang tersebar di sebagian besar wilayah Republik, dari tingkat kota besar di Jawa dan Sumatra hingga ke tingkat desa dan memiliki pusat-pusat pelatihan laskar yang tersebar di seluruh Jawa. Namun pada 1948 jumlah anggota mengalami penurunan hingga hanya tersisa 100.000 orang.

Pasukan Kelima Pesindo--cabang khusus laskar ini--terlibat dalam revolusi sosial di Sumatra Timur. Selain itu, Pesindo juga terlibat dalam Pertempuran Lima Hari di Semarang, Pertempuran Surabaya, Peristiwa Bandung Lautan Api, dan Pertempuran Medan Area.

Untuk meningkatkan semangat di kalangan anggotanya, Pesindo menerbitkan majalah bulanan resmi Revolusioner yang dipimpin oleh Soepeno. Majalah ini berisi tulisan dari tokoh-tokoh Pesindo, berita keorganisasian, dan propaganda.

Selain media cetak, Pesindo memiliki corong organisasi dalam gelombang frekuensi radio. Seperti gelombang 85,6 M untuk wilayah Jawa Barat dan 103 M untuk wilayah Jawa Tengah. Materi siaran terdiri dari berita lokal dan nasional, berita yang berhubungan dengan organisasi, pidato, orasi propaganda, hingga lagu-lagu nasional yang revolusioner.

Pada 22 Mei 1946 di Madiun, Pesindo mendirikan sekolah pendidikan politik yang mengkaji Marxisme bernama “Marx House” bagi kader-kader organisasi kiri seperti PKI, Partai Sosialis, dan Pesindo. Jusuf Muda Dalam, Maruto Darusman (bekas anggota Perhimpunan Indonesia), serta Djaetun yang eks digulis kerap memberikan pengajaran di tempat ini.

Menjadi Oposisi Kabinet Hatta

Hubungan dengan Amir Sjarifuddin banyak menentukan arah politik Pesindo. Saat Sjahrir menandatangani kesepakatan dengan Belanda di Linggarjati, Pesindo mendukung sikap diplomasi tersebut. Ini salah satunya didasari posisi Amir Sjarifuddin yang menjabat sebagai Menteri Penerangan cum Menteri Pertahanan dalam kabinet Sjahrir.

Hal ini pula yang menyebabkan Ibnu Parna dipecat karena membawa Pesindo ke dalam Persatuan Perjuangan Tan Malaka yang menentang jalur diplomasi dengan Belanda dan terlibat dalam pembentukan Partai Murba.

Pada 1948, Pesindo menarik dukungannya terhadap pemerintah dan menjadi oposisi Kabinet Hatta. Saat itu Amir Sjarifuddin mengundurkan diri dari jabatannya setelah menandatangani Perjanjian Renville.

Kelompok sayap kiri termasuk Pesindo kemudian mengalami penurunan posisi tawar politik setelah Amir Sjarifuddin gagal menjadi Menteri Pertahanan. Sebagai respons atas situasi tersebut, pada 26 Februari 1948 di Surakarta, kelompok sayap kiri yang terdiri dari Partai Sosialis, PKI, PBI, Pesindo, dan SOBSI mengadakan konferensi dan membentuk wadah bernama FDR (Front Demokrasi Rakyat).

Mengutip Harry A. Poeze dalam Madiun 1948: PKI Bergerak (2011), FDR mengarahkan serangan kepada Kabinet Hatta terutama terkait dengan kebijakan Rekonstruksi dan Rasionalisasi yang mengurangi jumlah tentara resmi.

Pada Maret 1948, FDR menyatakan menolak dan menuntut Perjanjian Renville yang sebelumnya ditandatangani Amir Sjarifuddin untuk dibatalkan. Mereka juga mendesak tentara Belanda untuk meninggalkan Indonesia dan menuntut nasionalisasi terhadap hak milik Belanda di Indonesia.

Situasi semakin sulit terkendali bagi Republik saat Musso kembali ke Indonesia pada 11 Agustus 1948. “Jalan Baru” yang dikampanyekannya berhasil menarik FDR ke dalam PKI Baru. Fusi tersebut semakin menaikkan tensi politik yang dalam perkembangannya dikenal dengan istilah Madiun Affair 1948 yang berawal dari Solo.

Dalam rangkaian Madiun Affair 1948, Pesindo terlibat konfrontasi dengan GRR dan Barisan Banteng yang bersekutu dengan Divisi Siliwangi.

Pada 9 September 1948, markas besar Pesindo diserang oleh kelompok bersenjata yang dicurigai dilakukan oleh GRR dan Barisan Banteng. Selanjutnya pada 13 September 1948 terjadi penculikan terhadap dr. Muwardi pimpinan Barisan Banteng, diduga sebagai balasan dari Pesindo terhadap penyerangan markas besar mereka. Tiga hari kemudian, Barisan Banteng kembali melakukan aksi balasan dengan menduduki markas Pesindo.

Setelah posisi FDR di Solo semakin lemah, tanggal 18 September 1945 konflik bergeser dan memuncak di Madiun. Tidak lama kemudian, Madiun berhasil dikuasai FDR atas nama Pemerintah Front Nasional.

Penguasaan Madiun oleh Pemerintah Front Nasional hanya bertahan hingga 30 September 1948. Menurut George McTurnan Kahin dalam Nasionalisme dan Revolusi di Indonesia (1995), penyebab utama kegagalan ini adalah ketidaksiapan para pemimpinnya dalam melacarkan aksi. Selain itu, juga karena penolakan aksi di Madiun dari cabang-cabang FDR di beberapa wilayah seperti Bojonegoro.

Infografik Mozaik Kongres Pemuda

Infografik Mozaik Kongres Pemuda. tirto.id/Tino

Menjadi Pemuda Rakyat

Setelah aksi di Madiun dipukul TNI dan para pemimpin FDR ditangkap lalu dieksekusi, Pesindo turut mengalami kemunduran. Dalam Pesindo: Pemuda Sosialis Indonesia 1945-1950 (2016) yang ditulis Norman Joshua Soelias disebutkan, sejumlah tokoh Pesindo dibui di rumah tahanan Gladak, Surakarta. Sebagian lagi berhasil melarikan diri.

Pasca Madiun Affair 1948, Pesindo dipimpin oleh Ir. Setiadi. Kendati tidak dijatuhi status sebagai organisasi terlarang dan Hatta memberikan amnesti terhadap unsur-unsur yang terlibat dalam Madiun Affair, Pesindo tidak diperkenankan mengikuti Kongres Pemuda Seluruh Indonesia ke-III pada tanggal 14-18 Agustus 1949 di Yogyakarta.

Baru pada tanggal 8-15 Juni 1950, Pesindo kembali hadir dalam Kongres Pemuda Seluruh Indonesia ke-IV di Surakarta. Lalu pada 4-12 November 1950, Pesindo mengadakan kongres ketiga di Jakarta yang memutuskan Pemuda Rakyat sebagai bentuk baru Pesindo.

Ir. Setiadi diangkat sebagai Pemimpin Umum I, sedangkan Francisca Fanggidaej dan Baharudin sebagai Pemimpin Umum II dan III. Selain itu, Asmudji, Sukatno, dan Iskandar Subekti ditetapkan sebagai Sekretaris Umum I, II, dan III.

Bersama PKI di bawah pimpinan D.N. Aidit, Pemuda Rakyat turut digulung badai politik 1965.

Baca juga artikel terkait REVOLUSI atau tulisan lainnya dari Andika Yudhistira Pratama

tirto.id - Politik
Kontributor: Andika Yudhistira Pratama
Penulis: Andika Yudhistira Pratama
Editor: Irfan Teguh Pribadi