Menuju konten utama

Soumokil: Antara Federalis dan Separatis

Soumokil, tokoh RMS paling terkenal, adalah kisah tragedi. Ia mewakili sebuah generasi yang terjepit karena situasi pasca-kolonial.

Soumokil (kanan) menjadi presiden pertama RMS. FOTO/ Collectie Moluks Historich Museum

tirto.id - Setelah tragedi 1965, Ventje Sumual, bekas pemimpin Permesta, melihat gelagat dirinya akan dibebaskan dari rumah tahanan militer. Angin perubahan yang dipicu penculikan dan pembunuhan para jenderal pada dini hari 1 Oktober 1965 itu membuat orang-orang yang ditahan di masa kepemimpinan Sukarno berpeluang menghirup kebebasan kembali.

Namun, Ventje tak hanya memikirkan diri sendiri. Menjelang pembebasannya, ia bertanya soal nasib seorang kawan yang menghadapi hukuman maha berat. Kawannya itu biasa disapa Pacek (Bapak), karena usianya memang jauh lebih tua dari Ventje.

''Pacek, sudah dapat grasi?'' Ventje bertanya langsung kepada yang dipanggil Pacek itu.

Seingat Ventje, seperti terpapar dalam Memoar: Ventje Sumual (2011), si Pacek hanya menggelengkan kepala saja. Wajahnya terlihat murung. Setahu Ventje, si Pacek kemudian dieksekusi seperti halnya Ibnu Hajar dan Sekarmadji Maridjan Kartosuwiryo.

Dari Andi Azis ke RMS

Si pacek yang dimaksud Ventje adalah Christian Robert Steven Soumokil, orang nomor satu dalam Republik Maluku Selatan (RMS).

Sebelum terlibat di RMS, Soumokil juga melibatkan diri dalam peristiwa perlawanan Andi Azis, salah seorang perwira Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat (APRIS). Saat itu ia masih menjadi pejabat Negara Indonesia Timur (NIT) dengan jabatan sebagai Menteri Kehakiman dan Jaksa Agung. Gerakan untuk membubarkan NIT, dan kembali pada Republik Indonesia, ditentang oleh Andi Azis.

Sebelum Peristiwa Andi Azis meletus pada 5 April 1950, Soumokil mengundang Andi Azis ke rumahnya di Makassar pada malam hari 4 April 1950. Malam itu, beberapa KNIL asal Ambon sudah siap tempur menghalau pasukan dari Jawa. Keesokan harinya, pasukan yang dipimpin Andi Azis bergerak menyerang kantor staf kwartier dan asrama CPM di Jalan Walter Mongisidi. Pertempuran tidak terhindarkan

Ketika Makassar rusuh, Soumokil masih di dalam kota. Namun pada 12 April 1950, dengan pesawat militer Belanda, Soumokil terbang ke Ambon dengan lebih dulu singgah di Manado. Sebelum terbang, ia masih sempat bertemu Andi Azis. Dalam pertemuan itu, seperti ditulis Rosihan Anwar, dalam Sejarah Kecil: La Petite Histoire Indonesia (2004), ia berkata kepada Andi Azis: “Jika ose (Anda) mati, beta akan berjuang sampai titik darah penghabisan.”

Dua hari setelahnya, Andi Azis yang sudah hancur reputasinya di mata pemerintah pusat dan petinggi APRIS karena peristiwa 5 April 1950 itu, terbang ke Jakarta. Dia hendak melaporkan diri dan mempertanggungjawabkan apa yang dilakukan pasukannya. Begitu mendarat di Bandara Kemayoran, Andi Azis langsung dibekuk dan kemudian ditahan.

Sementara Soumokil sendiri tiba di Ambon pada 13 April 1950. Suasana di Ambon saat itu sudah cukup panas. Bekas KNIL, terutama dari pasukan khusus baret hijau dan baret merah KNIL, saat itu menjadi penguasa kota. Bersama pasukan itulah, Soumokil mengajak para tokoh di Ambon untuk memproklamasikan RMS pada 25 April 1950.

Menurut Syaramanual, seperti dicatat buku Soumokil dan Hantjurnja RMS (1964), “Proklamasi RMS itu benar-benar hasil tekanan dan paksaan bayonet belaka.”

Soumokil yang baru tiba di Ambon, meski dia otak penting dari RMS dan Ambon, tak serta-merta langsung menjadi presiden. Semula ia menjadi Menteri Luar Negeri. Setelah 3 Mei, barulah dia menjadi Presiden RMS selama bertahun-tahun, baik saat masih berada di Kota Ambon maupun saat bergerilya. Sampai akhirnya ia tertangkap pada 2 Desember 1963.

Dekat dengan Pihak Belanda

Soumokil sebenarnya tidak lahir di Ambon. Dia lahir di Surabaya pada 13 Oktober 1905. Ayahnya adalah pejabat rendah di Kantor Pos di Semarang. Soumokil beruntung bisa menikmati belajar sekolah elit Hogere Burger School (HBS) Kristen di Surabaya. Menurut De Telegraph (05/09/1964), setamat HBS Soumokil kemudian berangkat ke Belanda.

Menurut Richard Chauvel, dalam Nationalist, Soldiers and Separatist: Ambonese Island from Colonialism and Revolt 1880-1950, (1990), mulanya ia berusaha masuk ke fakultas kedokteran, namun mundur di tengah jalan. Tak lama kemudian ia masuk fakultas hukum hingga mendapatkan gelar doktor. Dia lulus pada 1934 dan menjadi seorang ahli Yurisprudensi.

Menurut Ratno Lukito, dalam Hukum Sakral dan Hukum Sekuler: Studi tentang Konflik dan Resolusi dalam Sistem Hukum di Indonesia (2008), bersama Kusumaatmatmaja dan Soepomo, Soumokil tergolong orang-orang pertama yang belajar hukum di Universitas Leiden.

Menurut De Telegraph (05/09/1964), ketika kuliah di Negeri Belanda, Soumokil pernah ikut serta dalam wajib militer Belanda. Dia ditempatkan dalam artileri medan. Sebagai pengikut Kristus, Soumokil adalah pengikut Gereja Reformis.

Begitu pun kembali ke Hindia Belanda, tak sulit bagi Soumokil untuk meniti karier. Di Hindia Belanda dia kemudian menjadi seorang Jaksa.

Status hukum dirinya dipersamakan dengan orang-orang Belanda. Dia tidak dekat dengan orang-orang Ambon pergerakan macam Alexander Jacob Patty. Dia tak seperti Johannes Leimana yang ikut Kongres Pemuda II 28 Oktober 1928. Menurut Richard Zakariaz Leirissa, dalam Pemberontakan Republik Maluku Selatan di Prisma (07/08/1978), ketika namanya dicalonkan menjadi anggota Dewan Rakyat (Volksraad) muncul penentangan dari orang-orang Ambon-Maluku lainnya pada 1938.

Jelang masuknya Jepang, Soumokil tetap setia kepada Ratu Belanda. Bersama orang-orang Belanda, Soumokil juga ditawan. Sebagai tawanan Jepang, dia dikirim ke Siam untuk ikut dalam kerja paksa membuat jalan kereta api di sana. Setelah Perang Pasifik selesai, barulah dia dibebaskan.

Setelah ia bebas, yang hampir bersamaan dengan juga merdekanya Indonesia, posisi keberpihakannya tetap tak jauh dari Belanda. Menurut Syaramanual, “Soumokil terkenal sebagai reaksioner dan musuh gerakan nasional di Sulawesi Selatan.”

src="//mmc.tirto.id/image/2017/04/23/HL-Soumokil.jpg" width="860" alt="INFOGRAFIK HL RMS" /

Jalan Tengah Federalisme

Namun, menyebutnya semata pengkhianat tidaklah memberikan gambaran terhadap kompleksitas pasca-kemerdekaan. Memang ada orang-orang yang ingin Belanda sepenuhnya kembali berkuasa. Namun jauh lebih banyak lagi yang menyadari zaman telah berubah dan kemerdekaan bangsa-bangsa jajahan sudah tak terhindarkan. Termasuk orang-orang yang di masa kolonial bekerja pada pemerintahan Hindia Belanda pun banyak yang menyadari zaman telah berganti.

Bagaimana kemerdekaan itu dilaksanakan dan diisi, itulah pokok pertanyaan yang kerap melahirkan perdebatan panjang. Federalisme merupakan salah satu opsi yang banyak dibicarakan dan didiskusikan, bahkan sejak dalam sidang-sidang BPUPKI pada Mei-Juni 1945. Bung Hatta salah satu orang yang pernah menyebut bentuk negara federal dalam sidang BPUPKI.

Federalisme mendapatkan cap buruk karena, terutama, pernah dipakai oleh Belanda pasca kemerdekaan untuk mempertahankan status quo. Sejak 1946, satu per satu bermunculan proklamasi kemerdekaan negara-negara di lingkungan Republik Indonesia. Salah satu pemicunya adalah Konferensi Malino yang berlangsung pada Juli 1946. Dari sanalah muncul Negara Borneo dan Negara Indonesia Timur. Selanjutnya muncul, misalnya, Negara Pasundan, Negara Madura hingga Negara Jawa Timur.

Federalisme bahkan sempat menjadi resmi pasca Konferensi Meja Bundar pada Desember 1949. Dari akhir 1949 hingga 1950, tepatnya Agustus 1950, berdiri Republik Indonesia Serikat (RIS). Republik Indonesia (RI) hanyalah satu dari sekian negara bagian di lingkungan RIS. Namun eksperimen yang dipicu perundingan KMB itu gagal prematur. Pada 17 Agustus 1950, RIS bubar dengan sendirinya karena satu per satu negara-negara bagian itu memutuskan bergabung dengan RI.

Soumokil yang memang punya riwayat kedekatan dengan Belanda menganggap federalisme sebagai jalan tengah yang layak dicoba. Ditambah kecurigaan terhadap dominasi Jawa, federalisme memang memikat banyak kalangan. Soumokil bukan satu-satunya orang yang tertarik dengan gagasan federalisme. Lagi pula, bukan hanya orang-orang yang pernah dekat dengan Belanda saja yang terbuka dengan federalisme. Bahkan Tan Malaka, yang seluruh hidupnya dikejar-kejar polisi kolonial, meyakini konsep Federasi Aslia yang cakupannya merentang dari Asia Tenggara hingga Australia.

Namun, eksperimen bersejarah itu memang harus tertelan oleh realisme politik yang lebih berpihak pada gagasan negara kesatuan. Segala yang berbau kolonialisme, di negara-negara pasca-kolonial, dengan mudah diidentifikasi sebagai musuh. Identifikasi yang sampai batas tertentu, punya alasan psikis yang tidak bisa diremehkan: trauma kepada kolonialisme.

Soumokil sendiri menjadi Menteri Kehakiman lalu Jaksa Agung di Negara Indonesia Timur (NIT). Menurut A.H. Nasution, Sekitar Perang Kemerdekaan Jilid 11: Periode Konferensi Meja Bundar (1977), ketika berlangsung gencatan senjata antara Indonesia dengan Belanda, Soumokil pernah menjabat wakil perdana Menteri NIT juga. Soumokil termasuk orang yang menolak kehadiran pasukan APRIS dari Jawa.

Dalam statusnya sebagai jaksa itulah ia terlibat dalam persidangan Wolter Mongisidi. Dia menuntut hukuman mati Wolter, dan dikabulkan. Wolter dieksekusi pada 5 September 1949. Ironisnya, Soumokil di kemudian hari juga tewas dalam eksekusi hukuman mati. Soumokil dieksekusi di Pulau Obi, Halmahera Selatan, pada 12 April 1966.

Baca juga artikel terkait SEJARAH INDONESIA atau tulisan lainnya dari Petrik Matanasi

tirto.id - Indepth
Reporter: Petrik Matanasi
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Zen RS
-->