tirto.id - Menjelang Minggu, 19 Desember 1948, setelah berbulan-bulan merencanakan pemusnahan Tentara Nasional Indonesia, Letjen Simon Hendrik Spoor sebagai panglima tertinggi tentara Belanda di Indonesia menginstruksikan seluruh tentara Belanda di Jawa dan SumatEra untuk memulai penyerangan ke Yogyakarta, ibukota Republik saat itu. Langkah ini, demikian tulis Batara Hutagalung dalam Serangan Umum 1 Maret 1949 (2009), disebut sebagai Kraii Operatie alias Operasi Gagak.
Sabtu malam, didampingi Panglima Divisi C Mayjen Engels, Spoor menghampiri pasukan para (penerjun) di satu hanggar landasan udara Andir, Bandung. Pasukan itu tak melulu orang Belanda. Banyak dari keturunan Indonesia. Dan mereka adalah pasukan terpilih.
Seperti ditulis Julius Pour dalam Doorstoot naar Djokja (2009), Spoor berkata bahwa Operasi Gagak adalah operasi pamungkas, dan pasukan baret merah ini akan diterjunkan ke Maguwo, sebuah daerah pinggiran kota yang memiliki pangkalan udara. “Tugas kalian,” kata Spoor, “membebaskan Yogyakarta dari tangan ekstremis serta menangkap Sukarno bersama pengikutnya.”
Spoor percaya penuh pada pasukannya. Dia bahkan ikut menyaksikan para serdadunya melakukan latihan terjun payung di sekitar Bandung, yang dipimpin Kapten Eekhout. Pasukan ini punya dua kompi bermarkas di Batujajar, berjumlah sekitar 200 personil.
“Semoga Tuhan melindungi dan membimbingmu dalam hari-hari mendatang,” kata Spoor berdoa, yang mengagendakan pembersihan ibukota rampung sebelum Natal.
Pukul 4:20 pagi, setelah pasukan itu menaiki pesawat-pesawat angkut Dakota—jenis pesawat yang banyak dipakai dalam peperangan modern saat itu, para awak serdadu langsung bergerak ke arah Yogyakarta. Mereka lantas menuju titik penerjunan usai menerima laporan dari pesawat pemburu Belanda yang menembaki kota terlebih dulu.
Pukul 6:45, pasukan baret merah mulai melompat dari pesawat. Menurut Jaap de Moor dalam Westerling's oorlog (1999), sekompi pasukan penerjun itu dalam waktu 25 menit berhasil melumpuhkan 150 prajurit TNI—128 di antaranya tewas—yang menjaga lapangan terbang Maguwo. Setelah bandara dibersihkan, sejak pukul 9 pagi, pesawat-pesawat Dakota pun mendarat. Tak ada korban satu pun dari pasukan penerjun Belanda.
Di titik yang sama, pesawat yang mengangkut pasukan baret hijau dari Semarang juga mendarat. Pasukan ini, yang dulunya dipimpin Kapten Raymond Westerling yang dikenal brutal, terlatih dalam strategi perang anti-gerilya dan perang kota. Baik pasukan baret merah maupun baret hijau, yang ditugaskan untuk merebut Yogya, dipimpin Letnan Kolonel van Beek. Jumlahnya sekitar 432 personel.
Meski dalam kondisi kurang prima, pasukan itu segera memasuki kota. Mereka mendapat sokongan pasukan Brigade Tijger pimpinan Kolonel van Langen. Dengan didudukinya Maguwo, maka kunci merebut Yogyakarta sudah di tangan. Tugas Kapten Eekhout dan pasukan penerjun pun selesai. Dan giliran Kolonel van Langen yang pegang komando.
Jika kedua pasukan itu digabung, menurut AH Nasution dalam Memenuhi Panggilan Tugas Jilid II (1983), jumlahnya lebih dari satu batalyon. Selain itu, kata Nasutuon, masih ada dua batalyon infanteri dari Brigade Tijger dengan perlengkapan unit tempur seperti lapis baja, meriam, medis dan sebagainya.
Dalam Yogyakarta, 19 Desember 1948 (2006), Himawan Soetanto yang saat itu telah bertugas di ketentaraan Indonesia menggambarkan bahwa moral pasukan Belanda dipenuhi optimisme tinggi. Mereka menembus pertahanan darat TNI di garis demarkasi yang dipasangi rintangan berat oleh Divisi II Gunungjati.
Brigade Tijger, terutama Korps Speciale Troepen alias korps pasukan khusus militer Belanda, bergerak di sisi selatan rel keretaapi dan dalam Operasi Gagak itu, mereka menyusun serangan dengan membagi tiga kolone. “Kolone-kolone itu memakai taktik pasukan komando dalam kelompok-kelompok kecil, membawa banyak persenjataan otomatis serta komunikasi yang baik,” kata Himawan.
Sekitar pukul 15:00, pasukan yang dipimpin Letkol van Beek tiba di depan Istana Gedung Agung, selatan Malioboro. Hanya ada Kompi II Corps Polisi Militer pimpinan Letnan Satu Susetio yang menjaga halaman Istana. Kalah jumlah dan tanpa bala bantuan, kondisi pasukan CPM kian terjepit dalam aksi tembak-menembak.
Letnan Dua Sukotjo Tjokroatmodjo, anggota Kompi II, mengusulkan kepada komandan kompi agar segera membawa pergi Presiden Sukarno dan jajaran sipil lain keluar Istana, sementara dia sendiri dan 30 personel CPM akan bertempur melawan serdadu Belanda. Susetio tak berani ambil keputusan atas saran Sukotjo. Dalam Bunga Rampai Perjuangan dan Pengorbanan (2004), Susetio membawa Sukotjo menghadap Mayor Sugandhi, ajudan pribadi presiden, untuk menyampaikan usulan itu. Hasilnya bukanlah instruksi, melainkan Sukotjo dibawa langsung menemui Sukarno.
Sesudah diam sejenak, Presiden Sukarno dengan tegas berkata kepada Sukotjo: “Begini ya, Co. Merah-Putih tidak menyerah, tetapi kita serahkan rumah ini, istana ini, kepada Belanda.”
Sukotjo terdiam. Pistol dan kelewang yang disandangnya dijatuhkan di depan Presiden. Dia hendak menangis sambil berlalu dari muka Presiden dan berkata, “Sudah empat tahun berjuang kok menyerah.”
Presiden bahkan memberi perintah kepada Letnan Susetio untuk berhenti menembak, sambil menunggu kedatangan komandan militer Belanda di depan Istana. Sukarno ketika itu didampingi Kepala Staf Angkatan Udara Soerjadi Soerjadarma, Sekretaris Negara Mohammad Ichsan, dan Menteri Luar Negeri Agus Salim.
Letkol van Beek lantas menemui Sukarno. Setelah memberi hormat, dia berkata: “Anda sekarang dalam tahanan rumah.”
Sang Letkol melanjutkan: “Tuan Sukarno, saya mendesak kepada Tuan supaya Tuan memerintahkan kepada pasukan-pasukan Tuan agar menyerah. Jika tidak melakukannya, saya jamin kepada Tuan bahwa seluruh tentara Tuan akan dihancurkan dalam satu minggu.”
Ancaman van Beek bisa saja terbukti. Dalam catatan wartawan Rosihan Anwar lewat Musim Berganti (1985), militer Belanda telah menusuk ke jantung kota. “Dan mereka tahu betul bagian-bagian yang penting karena sudah berminggu-minggu sebelumnya mereka telah mempelajari peta kota,” tulis Rosihan. Serangan di hari Minggu itu melicinkan militer Belanda menguasai kantor telepon pada pukul 11 siang dan satu jam kemudian merebut gedung Radio Republik Indonesia. Pukul 15:30 seluruh kota telah dikuasai pasukan Belanda.
“Riwayat Tuan dan Negeri Tuan sudah tamat,” ujar Mayjen Meijer, panglima militer Belanda di Jawa Tengah, menegaskan. “Sebagaimana Tuan lihat, kami dengan persis menandai semua pasukan Tuan di peta-peta kami. Kami tahu persis posisi mereka. Tuan tidak punya suatu harapan pun. Supaya mencegah pertempuran darah tidak perlu, saya menasihatkan kepada Tuan memberi perintah kepada tentara Tuan agar menyerah.”
“Jenderal,” kata Sukarno, “Itu tergantung dari apakah saya di sini sebagai tawanan atau sebagai presiden. Kalau sebagai presiden, saya dapat berunding. Sebaliknya, kalau saya tawanan, saya tidak dapat memberikan perintah itu.”
Sukarno memandang posisinya telah jadi tawanan kota, begitupun istana dan jajaran pemerintahannya. Dengan kondisi membiarkan diri tertawan, yang nantinya mencerminkan kepiawaian Sukarno dalam proses diplomasi kedaulatan Indonesia, sang presiden tidak bisa memerintahkan agar tentara Republik menyerah.
Bersama Wakil Presiden Mohammad Hatta dan para pejabat tinggi lain di Yogyakarta, Sukarno dibawa tentara Belanda dan diasingkan ke Sumatra. Sementara Soedirman dan sekelompok tentara plus dokter pribadinya memilih bergerilya di luar kota. Belakangan penyerbuan atas Yogyakarta pada 19 Desember 1948 ini diingat sebagai Clash II atau Agresi Militer Belanda II, sementara pihak Belanda menyebutnya Aksi Polisionil II.
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Zen RS