tirto.id - “Pihak Republik sebetulnya sudah memperhitungkan akan adanya serangan dari pihak Belanda lagi, tetapi tidak memperkirakan pendudukan Yogyakarta yang dilakukan dari udara,” tulis Rosihan Anwar dalam Musim Berganti (1985).
Tapi sayang, Letnan Kolonel Latief Hendraningrat tak diberi komando pasukan yang memadai untuk memberikan perlawanan. Dalam kesaksian Tahi Bonar Simatupang, “Letkol Latief hanya diberi jabatan yang terlihat penting, yakni Komandan Militer Kota Yogyakarta, tapi tanpa pasukan.”
Pagi-pagi buta, sebelum pasukan payung militer Belanda mendarat dan mengusai bandara Maguwo, Jenderal Soedirman mendatangi Sukarno. “Saya minta dengan sangat agar Bung Karno turut menyingkir. Rencana saya akan meninggalkan kota ini dan masuk hutan.” Saat itu Sukarno tengah berpakaian.
Soedirman memohon: “Bung, pergilah bersama saya.”
“Engkau seorang prajurit,” kata Sukarno dalam autobiografi Penyambung Lidah Rakyat (2007). “Tempatmu di medan pertempuran dengan anak buahmu. Dan tempatmu bukan pelarian untukku. Aku harus tinggal di sini sehingga memungkinkan aku untuk berunding dan memimpin rakyat kita semua.”
“Apakah ada instruksi terakhir sebelum saya berangkat?” tanya Soedirman.
“Jangan adakan pertempuran di jalanan dalam kota. Kita tidak mungkin menang. Tetapi pindahkanlah tentaramu ke luar kota, Dirman. Dan berjuanglah sampai mati. Aku perintahkan kepadamu untuk menyebar tentara ke desa-desa.”
Menurut Asvi Warman Adam dalam Menguak Misteri Sejarah (2010), Soedirman kecewa terhadap sang presiden karena pernah berjanji ikut gerilya. Namun, keputusan kabinet mengharuskan Bung Karno bertahan di Yogyakarta, meski risikonya tertangkap Belanda.
T.B. Simatupang selaku petinggi tentara justru memaklumi Sukarno tak ikut Soedirman. “Jika Sukarno-Hatta ikut, diperlukan banyak pengawal untuk menjaga keselamatannya. Mungkin sampai satu batalyon dan kita tidak memiliki batalyon pengawal,” kata Simatupang dalam Laporan dari Banaran.
Ada keyakinan jika Bung Karno bergerilya, militer Belanda akan menangkapnya, cepat atau lambat.
Belakangan, Sukarno sering disalahkan pihak militer karena enggan bergerilya dan membiarkan dirinya ditawan pada 19 Desember 1948. Menurut para perwira yang ikut revolusi tapi tak memahami politik tingkat tinggi, “Sukarno yang berjanji memimpin gerilya kalau Yogyakarta diserang akhirnya memilih menyerah kepada Belanda,” tulis Salim Said dalam Gestapu 65: PKI, Aidit, Soekarno dan Soeharto (2015).
A.H. Nasution menerima laporan mengenai situasi itu: “Kabinet mengambil keputusan untuk tidak meninggalkan kota dan bertahan di dalam kota. Tidak ikut bergerilya karena tidak cukup kekuatan pengawalan militer atas keselamatan-keselamatan pimpinan negara.”
Soeharto mengklaim dalam autobiografinya bahwa dia memberi kesempatan kepada pemerintah di Kota Yogyakarta supaya mengungsi dan melakukan bumi hangus. “Tetapi ternyata yang mau mengungsi adalah Pak Dirman dalam keadaan sakit. … Bung Karno dan Bung Hatta memutuskan untuk tinggal di tempat. Nyatanya mereka ditawan Belanda.”
Nasution yang agak sinis dengan Sukarno juga menulis: “Memang cukup mengecewakan berita-berita yang masuk ke daerah gerilya, terutama tentang kejadian di Istana dan lain-lain di tempat resmi. … Pembesar Republik yang tertinggi keluar dengan pembawa bendera putih dan kemudian ditawan Belanda. … Sukarno minta dijamin keselamatan dirinya, anggota-anggota kabinet, dan keluarganya, serta pembantu-pembantunya, dan berjanji tidak akan meninggalkan Istana.”
Sejarawan George McTurnan Kahin berada di Yogyakarta ketika agresi militer 19 Desember 1948. Kahin adalah saksi kritis betapa lemah kekuatan militer Republik yang menjaga ibukota Yogyakarta. Dalam memoar Southeast Asia: A Testament (2003), Kahin tampaknya geli pada opini sinis Soeharto dan Nasution terhadap para pemimpin sipil yang menyerahkan diri sebagai tawanan. Menurut sumber militer, mereka akan melindungi Sukarno dan pejabat lain jika ikut bergerilya.
“Perlindungan apa?” tanya Kahin.
Tiada perlindungan yang memadai, tulisan Kahin, yang melihat baik Nasution dan Soeharto—yang punya komando—tidak memberikan perlawanan terbaik pada 19 Desember 1948. Bahkan Yogyakarta dengan mudah diduduki militer Belanda, dengan jumlah pasukan yang minim tapi efisien.
Menurut Asvi dan Simatupang, dengan Sukarno-Hatta ditawan pihak Belanda, sebaliknya peluang berunding lebih terbuka ketimbang jika pemimpin sipil itu ikut gerilya.
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Fahri Salam