tirto.id - Pada 1927, pemerintah kolonial Hindia Belanda membangun kamp Tanahmerah, Boven Digoel, untuk mengisolasi orang-orang pergerakan nasional. Kolonialis Belanda tentu menyadari lokasi ini punya daya rusak psikologis sehingga menjadikannya tanah pembuangan. Siksaan terbesar di Digoel bukan berasal dari para penjaganya, tapi alam Papua yang masih sunyi dan berbahaya.
Beberapa usaha pelarian lebih banyak gagal karena faktor alam. Tapi, berdiam lama di Boven Digoel juga bisa bikin frustrasi. Muhammad Hatta yang pernah menghuni kamp ini pada 1930-an berhasil mempertahankan kewarasannya dengan rutin membaca dan menulis.
Setelah bala tentara Jepang menduduki Hindia Belanda, para penghuni kamp Digoel—sebagian di antaranya sudah menghabiskan waktu 15 tahun di sana—lalu dipindahkan ke Australia. Secara bertahap, orang-orang buangan berikut keluarganya dipindahkan dengan pesawat amfibi lalu kapal.
Australia era Perang Pasifik kemudian membuat beberapa orang buangan berubah sikapnya. Sebagian mereka lantas bergabung ke organisasi Sinar Baroe (SIBAR), sementara sebagian lainnya bekerja untuk otoritas Belanda di Australia. Biasanya mereka ditempatkan pada bagian informasi, seperti di Netherlands Indies Government Information Services (NIGIS).
Sejak 1944, otoritas Belanda merekrut pula orang-orang Indonesia di Australia untuk masuk Koninklijk Nederlandsch Indische Leger (KNIL). Di antara para rekrutan itu, terdapat orang-orang yang usianya di atas 40 tahun.
Seturut Arsip Muhammad Bondan Nomor 427 (koleksi ANRI), di antara para rekrutan baru itu ada Moestedjo (52 tahun), Sastroprawiro, (52) Moesirin (45), Sontani (42), Moch. Gaos (40), Wirjodihardjo (52), Soekarnaatmadja (55), Soedjadi (42), Soeratman (47), dan Johannes Woworoentoe (49 tahun).
Koesalah Toer dalam Tanah Merah yang Merah: Sebuah Catatan Sejarah (2010) mencatat keterangan kecil dari beberapa digulis yang direkrut KNIL itu. Gaos disebut berasal dari Semarang dan kemudian tinggal di Purwokerto, Moesirin pernah ditempatkan di Tanahtinggi, dan Sontani berasal dari Yogyakarta.
Ada tiga kelompok di antara orang buangan di Tanah Tinggi, atas Boven Digoel. Takashi Shiraishi dalam Hantu Digoel (2015, hlm. 39) mencatat: kelompok pertama adalah para pendengar setia tokoh komunis Aliarcham, kelompok kedua adalah anak buah Sardjono, Winanta, dan Ngadiman dari PKI, dan kelompok ketiga adalah mereka yang dipimpin oleh tiga “Haji Moskow”.
“Mereka adalah orang-orang Asia yang diundang ke Bolshevik Rusia. Mereka muncul dalam dokumen kamp dan mereka dengan bangga menggambarkan diri mereka sebagai “Grup-Moskow di Boven Digoel,” tulis Rudolf Mrazek dalam The Complete Lives of Camp People: Colonialism, Fascism, Concentrated Modernity (2020, hlm. 172).
Para Haji Moskow itu berasal dari Sulawesi Utara (dulu Keresidenan Manado) dan mereka adalah: Clementi Wentoek, Johannes Waworoentoe, dan Daniel Kamoe. Siapa nyana, ketiga Haji Moskow yang pernah berlawanan dengan pemerintah kolonial ini lantas jadi serdadu Belanda di tengah kecamuk Perang Pasifik.
Surat kabar De Locomotief (15/03/1929) menyebut Clemens Wentoek adalah seorang petani kelahiran Telawaan yang pada 1929 berusia 30 tahun. Sementara itu Johannes Waworoentoe adalah seorang montir kelahiran Langowan yang pada 1929 berusia 32 tahun.
Pada 1924, Clemens dan Johannes pergi ke Eropa dengan menyamar sebagai pelaut. Mereka menuju Moskow dan kemudian berhubungan dengan orang komunis. Mereka kembali ke Hindia Belanda pada April 1928. Setelah ditangkap aparat kolonial, dua orang itu sempat dibuang ke Muting, dekat Boven Digoel.
Koran Bataviaasch Nieuwsblad (04/03/1930) menyebut Daniel Kamoe berusia 24 tahun pada 1930. Seperti halnya Johannes, Daniel adalah kelahiran Langowan, Sulawesi Utara. Dia pernah menjadi petani lalu bekerja di perusahaan pelayaran Koninklijke Paketvaart Maatschappij (KPM), buruh langsir kereta api di Staat Spoorwagen (SS) di Jatinegara, dan buruh di sebuah kapal yang melayari rute Belanda-Amerika. Setelah Pemberontakan PKI 1926, Daniel sempat mendekam lebih dulu di rumah tahanan Glodok.
Setelah 1944, nama Johannes Waworoentoe tercatat sebagai prajurit milisi KNIL dengan nomor stamboek 26240. Dia termasuk serdadu yang enggan bertugas di bawah komandan Belanda lagi jelang kemerdekaan Indonesia.
Di Australia pada 1945, banyak juga serdadu KNIL berdarah Indonesia yang mengundurkan diri karena alasan serupa. Mereka tidak mau jika harus berperang melawan Republik Indonesia yang baru saja berdiri.
Nama Wentoek muncul dalam Arsip Muhammad Bondan nomor 580. Dia disebut sebagai prajurit milisi dengan nomor stamboek 1735/A. Dia sempat jadi anggota Batalyon Teknik KNIL sebelum memutuskan mengundurkan diri kala Indonesia merdeka. Wentoek dan 27 milisi KNIL mantan digulis lainnya menandatangani pernyataan mengundurkan diri pada 18 Oktober 1945.
Bersama Wentoek terdapat nama Datoek Batoeah. Di Boven Digoel, memang ada seorang ahli agama Islam dari Minangkabau dengan nama Datoek Batoeah.
Digulis lain yang sempat jadi serdadu KNIL selama Perang Dunia II kebanyakan adalah orang Jawa. Sebelum dibuang ke Digoel, kebanyakan mereka adalah buruh, baik di perusahaan kereta api atau bidang lainnya. Alasan mereka masuk KNIL sebenarnya pragmatis saja: supaya lebih bebas dan punya peluang kembali ke Indonesia setelah perang usai.
Rupert Lockwood dalam Armada Hitam (1983, hlm. 86) menyebut serdadu Indonesia dari Batalyon Teknik termasuk kelompok yang paling awal menunjukkan perlawanan terhadap upaya Belanda kembali ke Indonesia. Mereka kemudian ditahan oleh otoritas Belanda yang dibantu pemerintah Australia.
Para serdadu itu satu pandangan dengan pelaut Indonesia yang mogok mengangkut muatan amunisi milik Belanda. Mereka tahu amunisi itu akan digunakan untuk menyerang pihak Indonesia. Aksi serdadu dan pelaut Indonesia itu setidaknya telah mengganggu usaha Belanda menduduki kembali Indonesia.
Editor: Fadrik Aziz Firdausi