tirto.id - Pemuda tampan itu akhirnya terseret dalam gerakan buruh. Thomas Najoan, demikian nama panjangnya, adalah seorang buruh di kongsi dagang Lindeteves Stokvis. Ia memburuh di perusahaan itu hingga 1919.
Tapi Najoan bukan sembarang buruh. Dia berasal dari keluarga Minahasa yang peduli pendidikan modern. Sebelumnya, dia pernah kerja di dinas kesehatan kolonial, Burgerlijken Geneeskundigen Dienst (BGD). Sebetulnya dia bisa saja hidup mapan dan menghabiskan sisa waktu memburuhnya dengan dansa-dansi atau minum-minum. Tapi, dia tak mau senang sendiri.
Gara-gara aktivitasnya di gerakan buruh, dia dipecat. “Ia kehilangan pekerjaan lantaran membantu gerakan saudaranya,” tulis koran Sinar Hindia (09/12/1919). Maksudnya saudara sesama buruh di Lindeteves.
Setelah pemecatan itu, Najoan sering bersentuhan dengan organisasi buruh. Termasuk ikut serta dalam pemogokan. Dalam Di Bawah Lentera Merah: Riwayat Sarekat Islam Semarang, 1917–1920 (1999) Soe Hok Gie menegaskan, “Peristiwa‐peristiwa yang dialami Najoan (kemiskinan dan pemecatan) juga telah membawanya ke jalan sosialisme.”
Baca juga: H.O.S. Tjokroaminoto Memadukan Islam dan Sosialisme
Dia berkawan dengan tokoh-tokoh kiri macam Tan Malaka, Semaoen, juga raja mogok Soerjopranoto. Menurut Petrus Blumberger dalam De communistische beweging in Nederlandsch-Indië (1936), Najoan juga berhubungan dengan Henk Sneevliet di Shanghai.
Di awal 1920-an, Najoan jadi bahan pemberitaan media. De Indische Courant (22/10/1923) menyebut, dia adalah sosok yang getol mengkritik pemerintah. Bagi Najoan, pemerintah kolonial tak pernah punya uang untuk pendidikan dan guru, tapi mereka selalu punya uang untuk membeli peluru.
Setelah perginya Tan Malaka dan Semaoen dari Indonesia, sektiar 1923, Thomas Najoan tak banyak muncul dalam berita. Menurut Sutan Sjahrir, Najoan pernah absen dua tahun dari pergerakan nasional di Jawa. Nyatanya, dia tak sepenuhnya absen.
Najoan aktif di surat kabar Oetoesan Minahasa. Di situ, dia sempat mengumpulkan dana pendidikan bagi siswa tak mampu yang bersekolah di Schakelschool (sekolah sambungan setelah Sekolah rakyat tiga tahun) di Romboken. Dia bahkan sempat ikut pemilihan Minahasa Raad, tapi gagal. Wakil yang terpilih adalah N. Mogot, satu marga dengan pahlawan Tangerang Daan Mogot.
Baca juga: Si Tampan Daan Mogot
Semasa pulang kampung itu, Najoan sempat jadi pokrol bambu—semacam kuasa hukum amatir—yang mirip dengan zaakwaarnemer (pengurus persoalan atau perkara untuk sementara). Dia tak lama di kampungnya. Menurut Sudijono Djojoprajitno dalam P.K.I. SIBAR contra Tan Malaka: Pemberontakan 1926 & ‘Kambing Hitam’ Tan Malaka (1962), Najoan adalah salah satu peserta Konferensi Prambanan 25 Desember 1925 yang mencetuskan Pemberontakan PKI 1926. Dalam buku itu juga disebutkan, selain Najoan, hadir pula pentolan-pentolan gerakan kiri seperti Sardjono, Budisutjitro, Abdulmuntalib, dan Marco Kartodikromo.
Di mata Tan Malaka, yang menganggap pemberontakan bersenjata akan sia-sia karena belum siap, orang-orang itu adalah mereka yang frustasi dalam pergerakan. Benar saja, dalam waktu cepat polisi kolonial bersama KNIL menggulung pemberontakan tersebut. Tentu saja orang-orang PKI ditangkapi. Najoan bahkan sudah tertangkap sejak Oktober 1926. Menurut Sjahrir, ketika ditangkap itu, Najoan hendak menikah di Manado.
Baca juga: Sebelum PKI Berdiri: Lingkaran Kaum Sosialis di Surabaya
Awal tahun berikutnya dia sudah dikapalkan ke Boven Digoel, selatan Papua. Menurut data dari koleksi Arsip Boven Digoel di Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI), dia dapat nomor tahanan 150. Pekerjaannya di Boven Digoel adalah tukang foto. Dia tinggal di Kampung B dan sempat jadi kepala kampung. Digoel adalah tempat yang sepi. Di tempat penuh nyamuk malaria itu, bukan para penjaga yang ganas, tapi alam Papua dan kesunyiannya. Tak heran jika di tahun-tahun pertamanya dia mencoba melarikan diri.
Baca juga:Digoel Tempat Pembuangan Para Pembangkang
Pelarian pertamanya cukup spektakuler. Pada 1929, dia naik perahu bersama beberapa kawannya menyusuri sungai-sungai di Papua selatan. Dari sebuah muara sungai, ia lalu melintasi lautan dan akhirnya sampai di Pulau Thursday, Australia. “Najoan telah membuat prestasi yang luar biasa! Akan tetapi karena pemerintah Hindia-Belanda mempunyai perjanjian ekstradisi dengan Australia, maka Najoan harus dikirim kembali ketempat interniran!” tulis adik Agus Salim, Chalid Salim, dalam Lima Belas Tahun Digul, Kamp Konsentrasi di Nieuw Guinea, Tempat Persemaian Kemerdekaan Indonesia (1977).
Sampai ke Digoel, berarti dia harus bertemu lagi dengan mantri polisi bekas KNIL yang biasa dipanggil Om Bintang. “Australia tidak suka padaku, maka kembalilah ke Oom Bintang,” candanya dengan tangan dan kaki diborgol.
Dalam perjalanan pulang ke tempat pembuangan, Najoan bertemu Marco Kartodikromo. “Menilik roman mukanya Tuan Najoan, sedikit pun tidak berubah, badan tegap dan gemuk, seakan-akan tidak mengenal susah dan sedih hati hanya tersenyum simpul. Begitulah keadaan orang yang sedang ada dalam ketetapan imannya,” tulis Marco dalam artikelnya di Pewarta Deli (03/12/1931).
Marco juga ingat sebuah kejadian ketika seorang pejabat bertanya kepada Najoan, “Tuan akan melarikan diri lagi?” Najoan cuma menjawab singkat: “Memang, kalau perlu.”
Benar saja, Najoan mencoba pelarian berikutnya. Begitu bebas dari kurungan isolasi pada 1930, Najoan coba kabur lagi bersama sekelompok tawanan. Pengalaman Najoan dalam urusan kabur membuatnya dijadikan pemimpin misi melarikan diri tersebut.
Kali ini dia mencoba rute berbeda. Melalui tanah tinggi, lalu jalan kaki ke arah selatan, melintasi Sungai Fly. Setelah berhari-hari berjalan, para pelarian itu bertemu suku Bian. Mereka pun digiring dan menginap di kampung suku tersebut. Mereka dijaga dan tak dibiarkan pergi. Najoan tak lupa "menyogok" sang kepala suku dengan tembakau.
Namun, kepala suku itu bermain serong: diam-diam ia melapor ke Polisi Muting. Sial bagi Najoan dan kawan-kawannya, mereka digiring pulang ke Tanah Merah lagi. Dan Kepala Suku Bian pun dapat tembakau lagi, dari Belanda.
Baca juga: Kabur dari Digoel
Pelarian yang jauh dari gemilang ini membuat Najoan dongkol. Dia selalu enggan membicarakan pelarian yang konyol itu. Meski tidak sudi membicarakan perihal kegagalannya, Thomas Najoan adalah orang yang bisa belajar dari kesalahan. Tahun-tahun suram pun harus dilawannya di Boven Digoel dengan menghibur diri.
Disebutkan dalam laporan Rust en Orde Bewaarder 207 (koleksi Arsip Boven Digoel), suatu pagi tahun 1935, “di rumah Wentoe ada berkumpul Najoan dan Barani bermain seruling dengan lagu-lagu merah, yaitu Internationale Marsch, Darah Rakyat dan Marseillaise.” Dia juga sering mendengar gramofon di rumah Kandur.
Ada kala rasa frustasi Najoan memuncak pada 1936—masa di mana dia tidak lagi berangan-angan melarikan diri. Padahal dia dikenal sebagai sosok yang ceria dan penuh humor. Sepi dan tanpa mimpi tentu membuat hidup membosankan. Itulah yang dialami Najoan. Tanpa tujuan, hidup adalah kesia-siaan dan mati kerap jadi jalannya.
“Penghidupannya yang kasar itu terasa sangat berat baginya, tetapi penderitaan yang dirasakannya paling berat ialah karena ia tidak dimengerti oleh kawan-kawannya sendiri, dan karena ia sendiri pun merasa tidak mengerti orang-orang itu,” tulis Sutan Syahrir dalam Renungan dan Perjuangan (1990).
Najoan, yang oleh Syahrir biasa dipanggil Liantoe, “telah mencoba bunuh diri untuk mengakhiri penderitaannya” di Boven Digoel yang sunyi dengan memotong urat nadi pergelangan tangan. Usaha bunuh dirinya gagal karena keburu dibawa ke rumah sakit. Setelah sembuh, “agaknya ia takut melihat orang.” Butuh waktu untuk mengumpulkan lagi semangatnya.
Baca juga:
- Aliarcham Mati Muda di Boven Digoel
- Ulang Tahun Hatta di Boven Digoel
- Tionghoa yang Berdagang dan Berjuang hingga Boven Digoel
Akhirnya dia kabur hanya bersama Saleh Rais dan Mustajab. Beberapa hari setelah pelarian, Mustajab, yang asal Tegal itu, ditemukan tewas dengan organ hati yang hilang. Sementara Saleh Rais tak ada kabar. Begitu pula Najoan.
Apa yang dilakukan Najoan tampak konyol dan sia-sia bagi banyak orang. Berkali-kali mencoba lari, gagal, lalu ditertawakan. Namun, di mata Mohammad Bondan, seperti tertulis dalam Spanning A Revolution: Kisah Mohamad Bondan, Eks Digulis dan Pergerakan Nasional Indonesia (2008) yang ditulis Molly Bondan, Najoan punya prinsip yang tak bisa ditawar: “Tak ada perjuangan kemerdekaan hanya dengan berpangku tangan di Tanah Merah. Usaha lari adalah perjuangan.”
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Ivan Aulia Ahsan