tirto.id - Bicara kehidupan orang Tionghoa di Indonesia, yang terbayang dalam benak banyak orang tak lain hanya: dagang. Di penjuru Indonesia, orang-orang Tionghoa dikenal sebagai pemilik toko. Terutama kelontong. Mereka dikenal lihai berdagang.
Bahkan tanah pembuangan di tengah rimba Papua bernama Boven Digoel, setelah 1927, sudah diisi oleh sebuah toko milik orang Tionghoa. Toko ini dicatat dengan baik oleh orang-orang buangan di Digoel yang terlibat perlawanan bersenjata terhadap Belanda yang diinisiasi oleh PKI pada 1926.
Toko Tan Tui adalah satu-satunya toko orang Tionghoa di Digoel,” tulis Trikoyo Ramidjo dalam buku Kisah-kisah dari Tanah Merah (2009). Sejak bayi, Trikoyo sudah tinggal di sana. Menurut catatan Takashi Shiraishi dalam bukunya Hantu Digoel (2001), nama Tan Tui disebut juga:
“Jika kita berjalan di atas jalan lebar berbatu yang asli ke arah utara dari persimpangan yang ada rumah penginapan dan stasuiun tenaga listrik, kita akan sampai pada sebuah toko kelontong Tionghoa yang lengkap. Pemilik pertamanya, Tan Tui, seorang penjaga toko di Ambon, mendapat izin dari pemerintah untuk membuka dua buah toko, satu di wilayah administratif dan satu di kamp pembuangan.”
Menurut Trikoyo, “Ada juga toko-toko orang buangan, misalnya warungnya Oom Tambi, Oom Yahya Malik Nasution, Oom Wongso (pembuatroti), dan toko-toko lainnya, toko-toko kecil yang isi tokonya tidak selengkap Toko Tan Tui.”
Orang-orang yang disebut memiliki toko tadi adalah orang-orang buangan, yang tak boleh keluar dari Boven Digoel atau Tanah Merah. Sudah tentu mereka tak sebebas Tan Tui. Sulit bagi pemilik toko yang berstatus orang buangan itu, mencari barang dari luar Digoel.
Di awal sejarah kamp pembuangan Boven Digoel hingga Mei 1930, menurut Takashi Shiraishi, terdapat 1.308 orang buangan. Bisa dibayangkan, hanya ada dua toko dan keduanya milik Tan Tui. Kata Takashi: “Ia mendapatkan keuntungan dari monopoli perdagangan di Digoel dan kemudian ke Ambon.”
Setelah kepergian Tan Tui, dua pedagang Tionghoa diundang untuk meramaikan ekonomi Boven Digoel. Salah satu dari dua pedagang itu bernama Tan Tjo. Dialah yang menduduki toko bekas Tan Tui. Tan Tjo membuat hal baru di Boven Digoel: membuka sebuah restoran modern dengan sebuah meja bar dan menghidangkan bir dengan es batu.
Orang Tionghoa dan Ideologi Kiri Pergerakan Nasional
Namun di Digoel tak hanya hidup orang-orang Tionghoa yang datang untuk berdagang. Beberapa orang Tionghoa itu bahkan dipaksa datang ke Digoel oleh pemerintah kolonial.
Paul Tickell, Indonesianis asal Australia, pernah menelusuri beberapa orang-orang Tionghoa yang tinggal di Boven Digoel. Paul Tickel mencatat nama Tjoe Tong Hin, Liem King Hien, Lie Tiang Pik, Tjan Tok Gwan, Tan Thoan Kie, Pwa Tjing Hwie, Tan Bing Bo, Sie Glimbong alias Sie Tjwan Liat. Yang paling terkenal di antara mereka belakangan adalah Liem Thaij Thjwan dan Lie Eng Hok. Nama keduanya tercatat dalam buku Tokoh-tokoh Etnis Tionghoa di Indonesia (2008) yang disusun Sam Setyautama.
Melalui koran-koran lawas, seperti Kaoem Muda dan Pewarta Deli, Paul Tickell menemukan bahwa orang-orang Tionghoa ini, sebelum dibuang kebanyakan bermata-pencaharian sebagai pedagang. Kebanyakan dari nama yang ditelusurinya itu adalah anggota PKI di sekitar Cepu, Blora dan Bojonegoro. Di antara mereka, usia paling tua ketika di buang sekitar 43 tahun, yakni Pwa Tjing Hwie. Dia bekerja sebagai pedagang di Tumpang, dekat Malang, Jawa Timur. Paling muda adalah Tan Bing Bo. Umurnya 20 tahun ketika dibuang ke Digoel. Dia juga pedagang di Malang.
Hampir semuanya tercatat sebagai anggota PKI angkatan 1926. Merekalah angkatan PKI yang saat itu masih berkarib dengan orang-orang Islam, beberapa ulama lokal bahkan menjadi tokoh penggerak perlawanan bersenjata yang dihelat oleh PKI pada 1926. Masih jauh dari gambaran ateis, pembunuh brutal, dan sekian stereotipe lain yang dipropagandakan oleh Orde Baru.
Suka atau tidak suka, mereka secara nyata adalah bagian dari pergerakan nasional. Jauh sebelum orang-orang Orde Baru memegang kekuasaan, orang-orang PKI ini sudah berjuang melawan Belanda. Hingga harus menerima risiko pembuangan ke tempat terisolir bernama Boven Digoel.
Dari Liem Thay Tjwan Hingga Lie Eng Hok
Menurut data yang diperoleh Paul Tickell, Liem Thay Tjwan dibuang ke Digoel ketika berusia 36 tahun. Dia ditangkap aparat hukum kolonial di Surabaya. Dia ditangkap karena menjadi anggota dan propagandis PKI di Blitar. Sebelum menjadi orang buangan, dia pernah menjadi direktur di perusahaan dagang Javasch Handelmaatschappij di Surabaya.
Data lain dari Tokoh-tokoh Etnis Tionghoa di Indonesia menyebut Liem Thay Tjwan kelahiran 9 Januari 1891 di Peterongan, Jombang, Jawa Timur. Dia pernah belajar di sekolah khusus Tionghoa THHK Mojokerto dan Kediri. Selain itu dia aktif di beberapa perkumpulan seperti Soen Thian Hwee, Tiong Hoa Keng Kie Hwee dan Po Lam Hwee Yoe. Dia pernah tinggal di beberapa kota di Jawa.
Dia mulai mengenal komunisme sejak menetap di Surabaya. Jejaknya dalam perkembangan komunisme di Hindia Belanda dimulai sejak masuk perkumpulan Indische Sociaal-Democratische Vereeniging (ISDV). Ketika itu usianya baru 20an tahun. Setelah organisasi itu bubar, sebelum PKI resmi berdiri, dia terlebih dahulu masuk Sarekat Rakyat.
Liem dikenal sebagai propagandis PKI. Meski dia tak menyepakati Revolusi Bolsyevik seperti yang terjadi Rusia. Dia sempat vakum di PKI sejak 1923 dan tinggal di Blitar. Setelah November 1926 dia ditangkap dan dibuang ke Digoel.
Seperti banyak orang Tionghoa di Indonesia lainnya, Liem di pembuangan juga sempat berdagang. Dia juga sempat buka toko di sana. Sayangnya peruntungannya di tengah pulau Papua tak mujur. Dia bangkrut. Ketika ada pembebasan besar-besaran terhadap orang buangan di Boven Digoel pada 1932, Liem termasuk yang dibebaskan. Dia kembali ke Jawa. Sempat tinggal di Solo pada 1930an. Setelahnya tak ada lagi catatan tentangnya. Bahkan soal kematiannya.
Ada juga sosok Tionghoa Banten yang dibuang ke Digoel yang tidak kalah menarik yaitu Lie Eng Hok. Menurut Yunus Yahya, dalam buku Peranakan idealis: dari Lie Eng Hok sampai Teguh Karya (2002), dia dianggap sebagai otak pemberontakan PKI Banten. Lie Eng Hok, laki-laki kelahiran di Balaraja, Tangerang 7 Februari 1893 ini, setelah pemberontakan PKI di Banten berantakan akhirnya kabur ke Semarang bersama keluarganya. Sebelum ditangkap dia adalah pedagang buku di Pasar Johor. Dalam pelariannya itu dia menjadi kurir antar kaum pergerakan.
Ternyata, Lie Eng Hok adalah kawan satu suratkabar dengan penggubah lagu Indonesia Raya Wage Rudolf Supratman di Sin Po, sebuah koran Melayu-Tionghoa. Menurut Yunus Yahya, dari Supratman-lah Lie akhirnya menjadi seorang nasionalis.
Setelah ditangkap di Semarang dia dibuang ke Boven Digoel. Seperti orang-orang Tionghoa lain, Lie Eng Hok hanya lima tahun di Digoel dari 1927 hingga 1932. Selama di Boven Digoel, Lie menolak bekerja sama dengan pemerintah kolonial Belanda. Lie lebih memilih menjadi tukang sol sepatu. Setelah dibebaskan dari Digoel, Lie kembali ke Jawa. Dia menekuni kembali bisnis buku bekasnya.
Setelah Republik Indonesia berdiri, Lie Eng Hok juga ikut serta dalam revolusi kemerdekaan. Lie yang meninggal di Semarang, 27 Desember 1961, sebelum kematiannya sempat diakui sebagai Perintis Kemerdekaan Indonesia berdasarkan SK Menteri Sosial RI No. Pol. 111 PK tertanggal 22 Januari 1959. Status itu membuatnya berhak menerima tunjangan Rp 400 sebulan. Angka yang lumayan sebelum 1965.
Bahkan Angkatan Darat di Jawa Tengah, dalam hal ini KODAM IV Diponegoro, cukup menghormati Lie. Pihak Diponegoro, melalui Surat Pangdam IV Diponegoro No.B/678/X/1986, memindahkan kerangka Lie Eng Hok yang semula terbujur di pemakaman umum Semarang ke Taman Makam Pahlawan Giri Tunggal, Semarang.
Lie Tiong Pik dan Keterbukaan Partai Komunis
Seperti Lie Eng Hok, Lie Tiong Pik juga disemayamkan di Taman Makam Pahlawan di kota Blora. Pada hari pemakamannya, menurut catatan buku Tokoh-tokoh Etnis Tionghoa di Indonesia, sepuluh ribu orang datang melepas Lie Tiong Pik pada 22 Maret 1965. Peti matinya ditutup bendera merah putih. Laki-laki yang meninggal pada 19 Maret 1965 ini dimakamkan dengan upacara kemiliteran.
Lie Tiong Pik yang lahir pada 1888 ini hidup di Cepu sebelum dan sesudah pembuangannya ke Digoel. Dia hidup sebagai pemilik toko kecil. Ketika banyak orang Indonesia takut pada militer Jepang di masa pendudukan, laki-laki ini justru terlibat gerakan anti-Jepang. Hingga dirinya harus masuk bui di Semarang.
Ketika di bui, harta benda jerih payah dagangnya ludes dirampok. Laki-laki yang pada 1945 ini sudah berusia uzur ini juga ikut terlibat dalam revolusi kemerdekaan Indonesia. Tak heran jika orang-orang di Blora dan Cepu mengenalnya sebagai pejuang.
Ketika eks Digoelis ini enggan bersentuhan dengan komunisme dan PKI pasca 1930an, beberapa Tionghoa muda terpelajar justru menjadi anggota PKI ilegal.
Menurut Leo Suryadinata, dalam Etnis Tionghoa dan Nasionalisme Indonesia: Sebuah Bunga Rampai, 1965-2008 (2010), “PKI menarik sejumlah orang Tionghoa peranakan yang dikecewakan oleh partai-partai nasionalis yang tak mau menerima mereka sebagai anggota dan yang tertarik oleh pendekatannya yang radikal dan tidak berdasarkan ras.”
Barangkali, pernyataan Leo Suryadinata di atas bisa menjawab pertanyaan mengapa orang-orang Tionghoa ada yang bergabung dengan partai yang dianggap paling sesat se-Indonesia raya bernama PKI ini. Partai Tionghoa Indonesia, bagi sebagian orang Tionghoa itu, tidaklah memuaskan karena isinya yang homogen. Tidak ada pembauran. Sementara PKI membuka diri dan menawarkan pembauran kepada mereka, juga kepada siapa pun.
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Zen RS