Menuju konten utama

Cara Orang Jerman Mengajarkan Toleransi

Program yang bertujuan untuk menanamkan nilai-nilai toleransi sejak dini sangat penting bagi anak-anak.

Cara Orang Jerman Mengajarkan Toleransi
Warga Jerman keturunan Yahudi mengunjungi "Stolpersteine", yaitu penanda rumah korban holocaust pada zaman Nazi di kota Berlin, Jerman. FOTO/Tobias Schwarz/Reuters

tirto.id - Toleransi melalui proses yang panjang dan tak terbentuk secara instan. Orang tua perlu sadar pentingnya kecakapan sosial ini hanya bisa dikuasai lewat serangkaian proses panjang. Semakin dini toleransi diajarkan, semakin baik hasilnya. Di Jerman, beberapa inisiatif dan program yang bertujuan untuk menanamkan nilai-nilai toleransi kepada anak-anak telah dijalankan.

Pusat penitipan anak Wackelzahn, Düsseldorf, menanamkan nilai-nilai toleransi kepada anak-anaknya dengan membawa mereka mengunjungi rumah-rumah ibadah beragam keyakinan. Jika tidak sedang melakukan kunjungan ke masjid atau sinagoga, anak-anak Wackelzahn--yang berasal dari setidaknya 15 bangsa berbeda, saling bercerita mengenai adat budayanya masing-masing, sejauh yang mereka tahu saja.

Kegiatan-kegiatan tersebut merupakan bagian dari satu rangkaian panjang yang berlangsung selama berbulan-bulan. Rangkaian tersebut ditutup dengan acara makan bersama. Setiap anak, dengan bantuan orang tuanya, memasak sendiri dan menyajikan makanan khas bangsanya masing-masing.

“Prasangka yang berasal dari ketidakpedulian dapat dilawan sangat dini dengan tindakan semacam ini,” ujar Gülten Kunt, pimpinan pusat penitipan anak Wackelzahn. “Penting bagi anak-anak untuk belajar mengenai beragam budaya berbeda dan mendapati kesamaan, serta bersikap terbuka terhadap orang-orang dari budaya yang berbeda.”

Sementara itu pusat penitipan anak Dolli Einstein Haus mengajarkan hal yang berbeda, tapi memiliki tempat yang tidak kalah tinggi dalam masyarakat Jerman. Tujuan penitipan anak yang berlokasi di Pinneberg ini adalah mengajarkan demokrasi sejak dini.

Anak-anak Dolli Einstein Haus menentukan banyak hal, termasuk menu sarapan, lewat pemungutan suara. Mereka juga diajari untuk memahami hak-hak mereka. Salah satu dinding di Dolli Einstein Haus adalah ‘piagam’ yang berisi tujuh hak dasar: hak untuk tidur, hak untuk menentukan apa yang dimakan dan berapa banyak, hak untuk menentukan apa yang dimainkan, hak untuk memilih tempat duduk, hak untuk mengutarakan pendapat kapan saja, hak untuk berpelukan dengan siapa pun, dan hak untuk menentukan siapa yang mengganti popok.

Pia, salah satu anak, pernah menolak perintah tidur dari orang tuanya karena menurutnya “Aku dapat menentukan kapan aku tidur; itu hakku.”

“Demokrasi bukan hanya soal Pemilu,” ujar Ute Rodenwald, pimpinan pusat penitipan anak Dolli Einstein Haus. “Bagi kami ini adalah tentang menganggap serius masyarakat atau anak-anak, dan belajar untuk mengambil keputusan dengan cara yang tidak membuat satu orang pun tertinggal.”

Masih menurut Rodenwald, tujuan pendidikan demokrasi di pusat penitipan adalah lebih mengenai mengajarkan kepada orang dewasa untuk menerima keputusan anak, bukan sebaliknya. Pendidikan demokrasi di Dolli Einstein Haus adalah sebuah usaha untuk menciptakan alternatif.

Dengan terus meningkatnya jumlah keluarga yang kedua orang tuanya bekerja, yayasan prasekolah mendapat tekanan lebih besar untuk lebih aktif berperan dalam mendidik anak.

Di tingkat usia yang lebih lanjut, Jerman memiliki Pemimpin Muda, yang bertujuan memberdayakan remaja untuk melawan radikalisme di kalangan remaja. Berawal dari lima sekolah di Berlin dan Potsdam, Pemimpin Muda sekarang adalah program nasional.

Infografik Demokrasi Dini di jerman

Para remaja yang tergabung dalam Pemimpin Muda mendapat dua tahun pelatihan untuk menjadi mediator penyelesaian konflik dan, secara khusus, berbagi pengetahuan mengenai antisemit dengan sebayanya. Para Pemimpin Muda mempelajari fakta-fakta Holocaust, mengunjungi pusat komunitas Yahudi, serta berbicara dengan para korban selamat dan remaja Yahudi.

Semua itu membekali para Pemimpin Muda dengan argumen faktual untuk melawan gejolak dan kebohongan. Walau demikian, para Pemimpin Muda tetap remaja. “Kami ingin melakukan sesuatu mengenai keadaan ini,” ujar Yasmina, Pemimpin Muda berkebangsaan Jerman-Aljazair. “Kami pada dasarnya ingin mengekspos kebodohan mereka.”

Dengan beragam program dan pendidikan di beragam tingkatan, anak-anak Jerman mendapat bekal untuk menjadi pribadi yang toleran di negara yang demokratis. Sewajarnya demikian karena sekolah, seperti organisasi lain, harus dirancang untuk mendorong sikap dan tingkah laku toleran.

“Jika anak-anak dan remaja memiliki pengalaman bahwa keterlibatan, tindakan demokratis dan pengambilalihan tanggung jawab diakui sebagai hal yang penting di sekolah dan dalam pendidikan, mereka lebih sedikit rentan terhadap kekerasan dan ekstremis sayap kanan ketimbang masyarakat muda yang tidak mengalami hal tersebut,” menurut Wolfgang Edelstein dan Peter Fauser dalam Materi Perencanaan Pendidikan dan Dana Penelitian dari Komisi Negara Jerman untuk Perencanaan Pendidikan dan Dana Penelitian.

Walau demikian, dibanding program dan pendidikan, panutan lebih penting. Orang tua memainkan peran utama dalam proses panjang pembentukan pribadi toleran. Menurut Badan Negara untuk Pendidikan Politik, pemahaman sosial diperoleh tanpa disadari lewat contoh dan pengenalan. Prinsip dasar mengajarkan toleransi kepada anak-anak adalah dengan menjadi teladan, karena anak-anak belajar dengan meniru.

Baca juga artikel terkait TOLERANSI atau tulisan lainnya dari Taufiq Nur Shiddiq

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Taufiq Nur Shiddiq
Penulis: Taufiq Nur Shiddiq
Editor: Suhendra