tirto.id - Kippenheim, 1938. Di desa yang terletak di bagian barat daya Jerman dekat Black Forest itu tinggallah sebuah keluarga Yahudi yang berbahagia. Mereka adalah pasangan Berthold dan Regina Auerbacher beserta anak tunggal mereka yang baru berusia empat tahun, Inge Auerbacher.
Berthold adalah seorang pengusaha tekstil yang sukses. Dari kesuksesannya tersebut ia dapat memiliki rumah besar dengan 17 kamar yang ditinggali pula oleh sanak famili lain dan beberapa orang asisten rumah tangga. Semestinya hal ini bukan suatu masalah. Namun, bagi Nazi yang kala itu masif melancarkan propaganda anti-semitisme, sebuah keluarga Yahudi, terutama yang makmur secara ekonomi, adalah parasit yang harus segera diberantas.
Dan itulah yang mereka lakukan pada 10 November 1938. Inge, yang kini berusia 76 tahun, memberikan kesaksiannya:
“Ketika itu orang-orang jahat melempari rumah kami sehingga semua jendela rumah hancur. Kami berkumpul di ruang tamu, kaca-kaca berserakan di seluruh lantai. Ada satu (orang berpotongan seperti--red) preman melihat melalui jendela yang pecah. Ia lantas berteriak: ‘Oh, lampu gantung masih menggantung’.”
Preman tersebut kemudian melemparkan lebih banyak batu lagi ke rumah mereka dan diikuti segerombolan orang lainnya. Inge dan keluarganya lalu bersembunyi di gudang belakang sebelum akhirnya mereka ketahuan. Ayah dan kakeknya lantas digelandang ke kamp konsentrasi di Dachau. Namun beberapa pekan setelahnya mereka dilepaskan.
Keluarga Inge kemudian pindah ke Jebenhausen, pedesaan terpencil yang terletak di Württemberg (sekarang disebut Baden-Württemberg), perbatasan antara Jerman dan Perancis. Di sana, selain kakeknya meninggal, kehidupan mereka juga tak lantas pulih seperti semula. Para tetangga menjauhi mereka, kendati anak-anak seusia Inge masih suka bermain bersamanya. Untuk sekolah, Inge pun harus naik kereta khusus anak-anak Yahudi dengan waktu tempuh sekitar satu jam.
Pada malam yang sama, 10 November 1938, seorang anak perempuan lain berusia 10 tahun beserta keluarganya juga merasakan kengerian serupa di Berlin. Rumah-rumah dihancurkan, toko-toko dijarah, orang-orang menjerit ketakutan. Nama anak itu adalah Ruth Winkelmann. Ayahnya bernama Hermann Jacks, seorang Yahudi tulen. Ibunya, Elly, adalah seorang Protestan yang kemudian memeluk Yahudi karena menikah dengan Jacks.
Ketika sekeluarga itu ditangkap, Jacks segera dikirim ke Kamp Konsentrasi, sedang istrinya dilepaskan. Dosa Elly masih dimaafkan oleh Nazi sebab ia masih termasuk ras Arya. Sementara untuk Ruth dan adiknya, Eddi, kasusnya menjadi lebih pelik.
Hukum rasial Nazi menganggap anak-anak yang lahir dari perpaduan genetika orangtua seperti mereka termasuk ke dalam golongan “tingkat pertama ras campuran”. Mereka dapat dilepaskan jika tidak terdaftar ke dalam komunitas Yahudi. Nahasnya, di dalam akta lahir Ruth dan Eddi, mereka tercatat sebagai Yahudi.
Dari situasi tersebut, kedua kakak beradik itu termasuk ke dalam “Geltungsjude”: istilah tak resmi yang dipopulerkan Nazi berdasar pada Undang-Undang Rasial Nuremberg, diperuntukkan kepada mereka yang dianggap Yahudi kendati tidak murni secara genetik.
Untuk menyelamatkan kedua anak mereka, Jacks dan Elly akhirnya bercerai. Ini artinya, Jacks akan segera dikirim ke Kamp Konsentrasi di Auschwitz dan tidak mungkin bisa selamat karena hanya dia seorang Yahudi murni dalam keluarga tersebut.
Sejak berada di kamp hingga tahun 1943, Jacks sempat mengirim empat pucuk surat kepada keluarganya. Satu surat terakhir ditujukan khusus untuk Ruth. Ketika diwawancara BBC (10/11/2018), ia sempat membacakannya:
“Kesayanganku, ayah baik-baik saja. Kamu bagaimana? Paket kalian yang berisi roti, kue, dan tembakau sudah ayah terima. Terima kasih banyak, ya, ayah senang sekali. Kalau itu tidak ada, rasanya hampa betul. Ayah doakan yang terbaik untuk ulang tahun ibumu. Cinta dan cium dari ayahmu.”
Ruth kini telah berusia 90 tahun dan sepanjang itu pula ia tak pernah tahu di mana (mayat) ayahnya.
Kisah yang menimpa Inge dan Ruth “hanyalah” sedikit dari sekian banyaknya momen tragis yang menimpa kaum Yahudi pada masa ketika Nazi berjaya. Semua kekejaman itu dimulai sejak 9-10 November 1938. Satu hari jahanam yang kelak disebut Kristallnacht.
Gladi Resik Pemusnahan Yahudi oleh Nazi
Secara harfiah, Kristallnacht berarti "Malam Kristal”, Jika diterjemahkan ke bahasa Inggris, istilah tersebut menjadi “Night of Broken Glass” alias "Malam Kaca Pecah".
Sebagaimana sudah disinggung melalui dua contoh di atas, Kristallnacht mengacu kepada pogrom anti-Yahudi yang dilaksanakan pada 9-10 November 1938 dan terjadi di seluruh wilayah Jerman Reich yang kala itu meliputi Austria hingga wilayah Sudetenland (istilah untuk menyebut daerah selatan, utara, dan barat Cekoslowakia). Nazi mengerahkan pasukan Sturmabteilung, ormas paramiliter bentukan langsung Adolf Hitler, untuk melakukan pogrom ini.
Teror dimulai dengan merusak seluruh properti yang (diduga) merupakan milik atau bersangkutan dengan kaum Yahudi. Toko, rumah, sekolah, rumah sakit, hingga sinagoga sebagai tempat ibadah dirusak. Salah satu sinagoga di Ober-Ramstadt, nama desa di distrik Darmstadt-Dieburg, Hessen, bahkan sengaja didiamkan oleh pemadam kebakaran hingga ludes terbakar. Mereka hanya diperintah untuk mencegah agar api tidak menyebar ke bangunan sekitar.
Laporan awal menyebut 267 sinagoga hancur, lebih dari 7000 toko dirusak, dan 91 orang tewas dalam penyerangan Kristallnacht. Namun sejarawan Richard Evans menyebut jumlah korban mencapai ratusan orang. Ia menghitung dari korban yang tewas akibat dianiaya pasca penangkapan dan yang bunuh diri.
Selain karena pogrom utama Nazi memang didorong oleh kebencian terhadap Yahudi, serangan Kristallnacht dimaknai pula sebagai misi balas dendam atas pembunuhan diplomat Nazi, Ernst vom Rath, yang dilakukan oleh Herschel Grynszpan, seorang Yahudi-Polandia kelahiran Jerman berusia 17 tahun dan tinggal di Paris kala itu, dua hari sebelumnya.
Sekitar 30.000 kaum Yahudi kemudian dibawa ke kamp konsentrasi Dachau, Buchenwald, dan Sachsenhausen usai terjadinya Kristallnacht. Pada 12 November 1938 atau tiga hari berselang, sekitar 100 anggota Nazi dan para pimpinan tinggi seperti Joseph Goebbels, Reinhard Heydrich, dan Hermann Göring, mengadakan pertemuan untuk memutuskan apa tindakan selanjutnya.
Heydrich mengusulkan agar segera dibuat undang-undang baru yang melarang siapapun kaum Yahudi melakukan kontak sosial dengan orang Jerman, juga melarang mereka menggunakan transportasi publik, sekolah, juga rumah sakit. Pada dasarnya, Heydrich hanya ingin mengenyahkan kaum Yahudi dari Jerman dengan mempersempit pilihan hidup mereka: pergi ke luar negeri atau mati.
Sementara Goebbels mengajukan ide yang lebih absurd: bahwa Yahudi harus membersihkan puing-puing dari sinagoga yang terbakar lalu mengubahnya menjadi tempat parkir. Mereka juga menyepakati agar kaum Yahudi tidak boleh memiliki andil dalam keseluruhan kehidupan ekonomi di Jerman. Seluruh hak milik mereka, termasuk perusahaan dan unit bisnis apapun, akan dipindahkan ke orang-orang non-Yahudi. Ganti rugi diberikan kepada Yahudi hanya dalam bentuk surat obligasi Jerman.
Göring juga menyatakan bahwa kerusakan ekonomi akibat Kristallnacht harus ditanggung sendiri oleh kaum Yahudi. Tak hanya itu, setiap uang dari klaim asuransi yang dibayarkan akan disita oleh pemerintah Jerman. Göring kemudian menutup pertemuan tersebut dengan mengatakan:
"Aku akan menutup pertemuan dengan kata-kata ini: sebagai hukuman atas kejahatan mereka yang buruk sekali dan lainnya, Yahudi Jerman harus membayar kontribusi sebesar satu milyar mark. Keputusan ini akan berjalan. Babi-babi itu tidak akan melakukan pembunuhan lagi."
Setelah pertemuan ini, setelah “Malam Ketika Kaca-Kaca Dipecahkan” berlangsung, kita tahu yang terjadi selanjutnya: enam juta kaum Yahudi dihabisi oleh Nazi.
Editor: Windu Jusuf