tirto.id - Ukiran wajah Adolf Hitler berwarna perak mengkilap itu berdiri dengan tegak. Berukuran kurang dari satu meter, tak nampak goresan sedikit pun. Namun bersama benda-benda lainnya, patung tersebut terpaksa disita petugas keamanan Argentina.
Pada 20 Juni 2017, kepolisian Argentina dan Interpol menemukan koleksi artefak Nazi yang disimpan secara rahasia di sebuah rumah milik seorang kolektor di kawasan Beccar, dekat Buenos Aires. Menurut keterangan Komisaris Kepolisian Federal untuk Perlindungan Warisan Budaya Marcelo El Haibe, benda-benda itu disembunyikan di ruangan di balik rak buku.
Seperti dilansirThe Guardian, pihak berwenang menemukan total 75 barang yang diyakini milik anggota Nazi selama masa Perang Dunia II. Bentuknya pun macam-macam. Ada patung Hitler, pisau berlambang swastika, gelas kaca, hingga peralatan medis. Selain itu polisi juga menemukan berbagai mainan dan alat musik, termasuk satu kotak harmonika berhiaskan simbol Nazi.
Baca juga:Usai Jerman Hitler Kalah, Ke Mana Perginya Mantan SS-NAZI?
“Benda-benda Nazi ini dimainkan anak-anak. Tapi sebetulnya, ini semua alat propaganda partai,” jelas Komisioner Polisi El Haibe. “Ada juga puzzle dan potongan-potongan kayu kecil untuk membangun rumah-rumahan dengan simbol dan gambar Nazi.”
Sementara Menteri Keamanan Argentina Patricia Bullrich seperti dikutipThe Associated Press menjelaskan barang-barang yang ditemukan berdasarkan hasil investigasi tersebut merupakan barang asli. Bullrich menambahkan, “Ini cara untuk jualan Nazi, yang menunjukkan mereka sudah terbiasa sang Fuhrer [Hitler].”
Baca juga:Industri yang Menghamba pada NAZI dan Hitler
Upaya pihak berwenang menahan barang-barang Nazi berangkat dari kabar tentang koleksi karya seni yang mencurigakan di sebuah galeri di Buenos Aires. Tak lama kemudian, pada 8 Juni, dengan surat izin dari pengadilan, aparat berwenang menggerebek rumah milik kolektor. Namun saat itu kolektor tidak berada di rumah dan tidak dikenakan tuntutan hukum.
Argentina yang Membuka Diri Pada Nazi
Keberadaan benda-benda warisan Nazi di Argentina tak bisa dilepaskan dari kedatangan mereka di Argentina setelah Perang Dunia II. Argentina sebetulnya bukan menjadi negara pertama Amerika Latin yang dituju para pelarian Nazi. Sebelumnya, mereka telah menyeberang ke Brazil dan Paraguay.
Argentina saat itu dipimpin oleh rezim populis Juan Domingo Peron yang jadi garda terdepan penyambut eks-Nazi. Pemerintahan Peron berusaha keras membawa orang-orang Nazi ke Argentina. Misalnya dengan mengirim agen ke Eropa guna memudahkan perjalanan sampai membantu pengurusan dokumen-dokumen perjalanan.
Di antara eks-Nazi yang hendak dijemput Peron, terdapat nama-nama penjahat perang seperti Ante Pavelic (pembantai ratusan ribu orang Serbia, Yahudi, dan Gipsi), Josef Mengele (ilmuwan Nazi yang kerap melakukan percobaan kejam terhadap orang cacat), serta Adolf Eichmann (arsitek Holocaust). Dari sini lantas muncul pertanyaan: mengapa Argentina membuka pintu untuk para penjahat perang?
Menurut Gerald Steinacher dalam Nazis on the Run: How Hitler's Henchmen Fled Justice (2011), pada dasarnya Peron memiliki kebijakan imigrasi terbuka yang tidak peduli dengan latarbelakang para imigran. Jumlah pengungsi asal Jerman yang diterima Peron mencapai 240 ribu orang. Akan tetapi, khusus untuk eks-Nazi, Peron mempunyai motivasi lain. Ia menginginkan hal-hal yang pernah dimiliki Jerman, misalnya kekuatan militer, kemegahan parade di ibukota, sampai ilmuwan dan teknisi untuk memperbaiki industri dalam negeri. Peron menginginkan semua itu secara terbuka dan tidak berusaha menyembunyikannya.
Dalam memoarnya Peron menulis, "Adakah tawaran lebih baik lagi dari Argentina selain memboyong para ilmuwan dan teknisi (Nazi) ke sini? Kami tinggal mengongkosi tiket pesawat mereka. Di samping itu, Peron mengagumi pengungsi dari Jerman yang dianggapnya mempunyai "kejujuran serta pengabdian tak kenal lelah untuk bekerja."
Untuk melancarkan misinya membawa orang-orang Nazi ke Argentina, Peron bekerja tak sendirian. Uki Goni dalam bukunya The Real Odessa: Smuggling the Nazis to Peron's Argentina (2002) menuturkan, Peron dibantu oleh Gereja Katolik Roma memasukkan orang-orang Nazi ke Argentina.
Pernyataan Goni didasarkan pada catatan-catatan pertemuan antara kardinal Argentina Antonio Caggiano dan kardinal Perancis bernama Eugene Tisserant yang berafiliasi dengan Vatikan pada Maret 1949. Keduanya membahas kedatangan kloter pertama para bekas Nazi di Argentina. Tak hanya Gereja Katolik Roma, Peron juga didukung oleh penasihatnya yang keturunan Jerman-Argentina, Rodolfo Freude dalam memuluskan rencananya. Seketika Nazisme menjadi populer di kalangan Jerman di Argentina yang bahkan sempat disebut-sebut sebagai koloni Nazi kecil.
Baca juga:Cara Jerman Mencegah Kebangkitan Nazi
Meski demikian, setelah pemerintahan Peron jatuh pada 1955, orang-orang Nazi mulai gelisah. Mereka menduga, pemerintahan baru Argentina akan memulangkan mereka ke Eropa. Ketakutan itu menjadi kenyataan tatkala Adolf Eichmann ditangkap di jalanan Buenos Aires oleh agen Mossad yang langsung membawanya ke Israel.
Seiring waktu, kehadiran orang-orang Nazi jadi aib bagi Argentina. Pada 1992, presiden Carlos Saul Menem (yang berasal dari partai yang sama seperti Peron) memerintahkan agar dokumen tentang hubungan pemerintah Argentina dan para bekas Nazi dibuka. Sikap tersebut turut mempengaruhi sebagian besar buronan Nazi yang terbuka penyamarannya setelah puluhan tahun. Beberapa dari mereka—seperti Josef Schwammberger, Dinko Sakic, serta Erich Priebke—akhirnya dilacak dan dideportasi ke Eropa untuk menjalani pengadilan.
Dari Timur Tengah Sampai Amerika
Argentina bukan satu-satunya negara yang menerima kehadiran orang-orang Nazi. Kendati jumlah buronan Nazi tak sebanyak di Argentina, ada sejumlah negara yang menampung ilmuwan dan perwira militer Nazi.
Menurut Efraim Zuroff, Direktur Simon Wiesenthal Center Israel, Suriah diduga kuat merekrut Alois Brunner (seorang letnan Nazi) untuk menjadi penasihat militer dan intelijen Suriah. Brunner tinggal di Suriah sejak 1950 dan berganti nama jadi Georg Fischer. Tinggalnya Brunner di Suriah menepis anggapan bahwa ia kabur ke Amerika Latin.
Suriah tak hanya merangkul Brunner. Ada pula Walter Rauff (salah satu sosok yang mengembangkan senjata gas Nazi) dan Franz Stangl (pemimpin kamp Sobibor) yang direkrut untuk dijadikan penasihat militer dan intelijen Suriah. Setelah kedatangan Brunner, terdapat belasan Nazi yang menyusul. Total, lebih dari 50 eks-Nazi diketahui masuk ke Suriah.
Nasib serupa dialami ilmuwan Nazi Aribert Heim. Berdasarkan penyelidikan New York Times, Heim ditemukan telah melarikan diri ke Mesir. Ia kemudian masuk Islam, mengganti namanya, dan menjalani hari-harinya di lingkungan kelas pekerja Kairo. Sedangkan petinggi militer Nazi Letnan Jenderal Arthur Schmitt direkrut koalisi Arab guna membentuk kekuatan tempur yang efektif melawan Israel pada 1948.
Amerika Serikat pun tak mau ketinggalan Amerika Serikat. Ketika Jerman kalah Perang Dunia II, pasukan AS menyisir pedesaan di wilayah Eropa untuk mencari senjata Nazi yang disembunyikan dan menemukan mesin perang yang tidak pernah mereka duga sebelumnya, misalnya senjata biologi dan gas syaraf. Annie Jacobsen dalam Operation Paperclip: The Secret Intelligence Program That Brought Nazi Scientist To America (2014) mengatakan bahwa begitu senjata rahasia itu ditemukan, para petinggi Pentagon lantas menyadari bahwa AS memerlukan senjata tersebut.
Akhirnya sekitar 88 ilmuwan Nazi direkrut Paman Sam guna memperkuat militer. Di bawah komando AS, mereka bekerja dalam proyek bernama "Operasi Paperclip." Sosok ilmuwan Nazi yang dikenal dalam program ini ialah Wernher von Braun. Braun, selain menjadi otak program roket V-2 juga pernah bekerja untuk kamp konsentrasi Buchenwald.
Geraldine Schwarz, sutradara film dokumenter The Nazi Exiles: The Promise of Orient (2014) menyatakan bahwa para bekas Nazi mempunyai pengaruh tak sedikit untuk negara-negara yang merekrut mereka pasca Perang Dunia II. "Dunia hari ini dibentuk setelah Perang Dunia II. Era 1950an adalah era yang sangat penting," kata Schwarz seperti dilansirThe New York Times. "Orang-orang Jerman jadi penasehat militer, dinas rahasia, maupun polisi ketika negeri-negeri ini sedang dibangun."
Penulis: M Faisal Reza Irfan
Editor: Windu Jusuf