tirto.id - Perang Dunia I (1914-1918) punya andil dalam membentuk keadaan politik dunia menjadi seperti sekarang. Perundingan pascaperang yang dimulai pada awal 1919 dan berakhir pada awal 1920 tidak berhasil menghasilkan solusi perdamaian yang diharapkan. Sebaliknya, perundingan yang dijuluki Paris Peace Conference itu malah membuka era baru politik yang lebih sengit.
Paris Peace Conference yang dihadiri ratusan perwakilan dari 32 negara dan bangsa (termasuk wilayah bekas jajahan Inggris) menghasilkan berbagai macam perjanjian damai. Konferensi ditutup dengan acara inaugurasi Dewan Umum Liga Bangsa-Bangsa yang diselenggarakan pada 21 Januari 1920, tepat hari ini 100 tahun silam.
Alih-alih menjaga dunia tetap dalam keadaan damai, Paris Peace Conference justru melahirkan konflik baru. Perjanjian damai terpenting, Perjanjian Versailles, dianggap berhasil memicu kebangkitan ideologi ultranasionalis Jerman yang melahirkan Partai Nazi. Dari sini, pintu menuju Perang Dunia II pun terbuka lebar.
Pertemuan Antar-Pemenang
Perang Dunia I menimbulkan banyak permasalahan di ranah sosial dan politik. Apalagi tingkat kesejahteraan penduduk juga menurun tajam. Selain itu batas-batas wilayah, hubungan diplomatik, dan iklim politik negara-negara Eropa beralih menjadi bertolak belakang dengan kondisi sebelum perang.
Menurut catatan History, perang besar pertama itu telah membunuh lebih dari 9 juta tentara dan melukai 21 juta orang lainnya. Tidak kurang dari 10 juta rakyat sipil kehilangan nyawa, rumah, dan harta benda. Perang Dunia I diperkirakan menguras biaya 200 miliar dolar AS (setara dengan 5 triliun dolar di tahun 2019).
Gencatan senjata antara pihak Sekutu dengan Jerman pada 11 November 1918 secara resmi mengakhiri Perang Dunia I. Di saat yang sama, tercetus gagasan untuk mengadakan perundingan pascaperang antara kedua belah pihak demi membuka fase perdamaian dunia sekaligus mencari solusi dampak perang. Presiden Amerika Serikat, Woodrow Wilson, menyebutnya sebagai “perdamaian tanpa pemenang.”
Pada kenyataannya, perdamaian baru bisa dirumuskan ketika ada pemenang. Inggris dan Perancis, dua pemenang perang paling menonjol, menginginkan hasil perundingan yang sesuai dengan minat dan kepentingan masing-masing.
Britannicamenyebut penundaan pertemuan awalnya datang dari Perdana Menteri Inggris, David Lloyd George. Begitu Jerman menandatangani gencatan sejata, George memilih mengamankan posisinya dalam pemilihan umum tanggal 14 Desember 1918 terlebih dahulu sebelum mengadakan perundingan damai.
Presiden Perancis Raymond Poincaré tidak ketinggalan mendesak agar pertemuan diadakan di Paris pada 18 Januari 1919. Majalah TIME mencatat tempat dan tanggal hasil usulan Poincaré menandai peristiwa kekalahan memalukan Perancis yang melahirkan kekaisaran Jerman 48 tahun sebelumnya. Perancis tampaknya berusaha memanfaatkan kekalahannya di masa lalu untuk mempermalukan Jerman dalam tatanan dunia yang baru.
“Anda semua sedang memegang masa depan dunia,” kata Presiden Poincaré saat membuka konferensi di Gedung Kementerian Luar Negeri Perancis di Quai d'Orsay.
Paris Peace Conference pada akhirnya berubah menjadi ajang perdebatan antar-pemenang perang dalam merumuskan arti perdamaian. Pertemuan tidak lagi ditujukan untuk mencari solusi, namun lebih kepada mencari kambing hitam yang tidak lain adalah Jerman dan sekutunya.
Perumusan traktat perdamaian yang terjadi sepanjang 1919 sampai awal 1920 justru didominasi oleh pertemuan-pertemuan tertutup antara Inggris, Perancis, Italia, dan Amerika Serikat sebagai perwakilan pasukan Sekutu. Jerman dan negara-negara blok sentral yang kalah perang, seperti Austria, Hungaria, Bulgaria, dan Turki, tidak pernah dilibatkan dalam perundingan secara langsung.
Janji Damai Amerika
Menurut catatan History, keputusan pemerintah Jerman untuk menerima gencatan senjata dengan Sekutu dilandasi atas janji Presiden Amerika Serikat, Woodrow Wilson, yang menjamin bahwa akan ada perlakuan adil dalam pembayaran ganti rugi dan demiliterisasi bagi seluruh negara yang terlibat perang, menang atau kalah.
Rencana Wilson sebenarnya sudah diutarakan sejak awal 1918, satu tahun sebelum pembukaan Paris Peace Conference. Melalui pidatonya yang terkenal dengan judul "Empat Belas Poin", Wilson menjelaskan 14 strategi yang dapat menjamin keamanan nasional di Eropa dan perdamaian dunia. Rencana ini juga menandai langkah pertama Amerika Serikat dalam upaya menjadi “penjaga perdamaian dunia.”
“[Empat belas strategi] dibuat agar sesuai dan aman untuk dilaksanakan, khususnya saat diterapkan di negara-negara yang cinta damai, yang ingin menjalani kehidupannya sendiri, menentukan institusinya sendiri, menjamin keadilan dan kesepakatan dengan bangsa-bangsa lain di dunia sebagai bentuk perlawanan terhadap kekuatan militer dan agresi sepihak,” kata Wilson.
Melengkapi tujuannya itu, Wilson mengusulkan agar dibentuk sebuah organisasi yang bertugas menjaga perdamaian dunia dengan nama Liga Bangsa-Bangsa. Guardian melaporkan, Georges Clémenceau selaku Perdana Menteri Perancis sekaligus Presiden Paris Peace Conference menerima rancangan perdamaian itu, namun di saat bersamaan juga menolak sebagian besar gagasan Wilson.
Menurut Clémenceau, Amerika Serikat bersikap terlalu idealis dan naif dalam menyikapi konflik di Eropa. Perancis, secara khusus, sangat menginginkan Jerman menanggung harga yang sangat tinggi, termasuk masalah pembagian wilayah, pelucutan senjata, dan pembayaran pampasan perang. Sementara itu Inggris menilai rencana Wilson sebagai ancaman atas supremasi mereka di Eropa.
Perdamaian yang Memunculkan Hilter
Keinginan masing-masing negara Sekutu mempertahankan kepentingan dalam negeri menimbulkan kerumitan dalam konferensi. Perancis menginginkan perlindungan penuh atas negaranya dengan jalan menjatuhkan sanksi seberat-beratnya kepada Jerman. Di lain pihak, Inggris berkehendak agar negara-negara Eropa bersedia membantu Jerman agar bisa dijadikan mitra dagang. Sementara itu, Italia berencana meningkatkan pengaruhnya melalui tuntutan atas teritori Jerman.
Perundingan yang berlangsung alot selama berbulan-bulan menghasilkan bermacam-macam perjanjian damai. Perjanjian yang pertama kali ditandatangani ialah Perjanjian Versailles pada 28 Juni 1919. Menyusul kemudian empat perjanjian damai lainnya yang ditujukan untuk memperlemah empat sekutu utama Jerman: Austria, Hungaria, Bulgaria, dan Kesultanan Ottoman (Turki).
Perjanjian Versailles pada dasarnya bukan solusi damai, melainkan sanksi perang sebagaimana dikehendai Perancis. Dalam Artikel 231 tentang klausa kesalahan perang termaktub bahwa Jerman wajib menyerahkan 10 persen teritori dan aset-aset mereka di luar negeri kepada Sekutu. Selain itu Jerman juga diharuskan membayar 132 miliar reichmarks atau setara dengan 32 miliar dolar AS sebagai ganti rugi kepada negara-negara terdampak perang.
Laporan BBC menyebut keputusan pemerintah Jerman menerima seluruh sanksi itu memicu kemarahan rakyat di dalam negeri. Kelompok oposisi bermunculan sambil menuduh para pejabat tinggi di Weimar telah lalai menjalankan pemerintahan setelah mundurnya Kaisar Wilhelm II.
“Pemerintah Weimar dikaitkan dengan kegagalan dalam Perang Dunia I karena telah menandatangani Perjanjian Versailles. Banyak nasionalis percaya bahwa pemerintah telah menjual Jerman kepada musuh-musuhnya dengan mengakhiri perang terlalu dini,” tulis BBC.
Di tengah suhu politik dalam negeri Jerman yang kian memanas, seorang mantan serdadu militer Bavaria bernama Adolf Hitler bangkit dari parit-parit medan perang menuju podium rapat umum Partai Nazi. Dalam pidatonya, Hitler berulang kali menyebut Pemerintah Weimar sebagai kelompok anti-patriotik yang bertanggung jawab atas kekalahan bangsa Jerman dalam Perang Dunia I.
Steven Woodbridge dalam artikel “World War I: is it right to blame the Treaty of Versailles for the rise of Hitler?” yang terbit di Conversation menyebut emosi rakyat Jerman yang meluap akibat Perjanjian Versailles kala itu berhasil dimanfaatkan dengan baik oleh Hitler demi keuntungan partai. Perlahan tapi pasti, Hitler memereteli isi perjanjian menggunakan berbagai cara untuk menarik simpati massa.
Orasi politik Hitler dianggap berhasil ketika rakyat percaya bahwa sifat menghukum yang terkandung di dalam butir-butir perjanjian membuat kondisi ekonomi Jerman terseok-seok. Mereka yakin bahwa Sekutu sengaja merampas sebagian besar wilayah industri dan melimpahkan utang yang bertumpuk agar bangsa Jerman sulit bangkit dari kemiskinan.
Kemarahan rakyat Jerman berhasil membalik kondisi buruk dalam kurun waktu kurang dari 20 tahun. Pada 1934 Hilter bersama Partai Nazi sudah berhasil memegang kendali di seluruh teritori Jerman. Ia bahkan scara sepihak membatalkan klausa-klausa militer dalam Perjanjian Versailles agar dapat menuntut balas atas penderitaan bangsa Jerman.
Editor: Ivan Aulia Ahsan