tirto.id - Coco Chanel awalnya hanya ingin mendesain busana yang bisa dipakai oleh segmen pasar seluas mungkin kala memperkenalkan Little Black Dress (LBD) di pasaran seabad silam.
Dan dia berhasil.
Vogue edisi Oktober 1926 menyebut LBD sebagai “Chanel’s Ford”—merujuk pada merk mobil sejuta umat produksi Henry Ford—yang bisa dikenakan kaum perempuan dari segala kelas sosial dengan beragam selera.
Lebih dari itu, gaun hitam berpotongan sederhana dengan lengan sempit yang dibubuhi sedikit aksesoris untaian mutiara ini dianggap sebagai kreasi Chanel yang revolusioner.
LBD disebut sebagai pernyataan sikap yang jelas dari desainnya yang sederhana sekaligus pilihan warnanya. Kain warna hitam kala itu identik dengan duka dan kesedihan lantaran digunakan sehari-hari oleh janda Prancis yang ditinggal suaminya akibat Perang Dunia I atau pandemi flu 1918.
Colin Bissett pada artikel berjudul “Why Chanel’s little black dress has never gone out of fashion” di ABC News menulis, Chanel seolah memiliki kemampuan khusus untuk mengubah gagasan yang sebelumnya tak mudah diterima menjadi bisa diterima oleh khalayak banyak.
Kelak, LBD terus berevolusi dan dikenakan oleh bintang Hollywood, termasuk aktris legendaris Audrey Hepburn di film Breakfast at Tiffany’s (1961).
“Di balik keseluruhan fesyen yang dibawa Little Black Dress (LBD,) tersimpan gagasan Chanel tentang wanita mandiri yang tahu dan mengenal pemikirannya sendiri,” tulis Bissett.
Filosofi di balik LBD sekilas mencerminkan kehidupan Chanel yang dibalut keterbatasan dan kerja keras.
Lahir dengan nama Gabrielle Bonheur Chanel di Saumur, Prancis, pada 19 Agustus 1883, Chanel dibesarkan oleh bapak yang seorang pedagang baju keliling dan ibu buruh cuci.
Ketika Chanel berumur 12, Ibunya meninggal dunia. Bapaknya lantas menitipkan Chanel bersama kedua saudara perempuannya ke panti asuhan. Di sanalah Chanel belajar menjahit dari seorang suster.
Chanel kemudian bekerja sebagai penyanyi di kafe. Nama panggilan “Coco” didapatnya dari pengunjung laki-laki saat pementasan di Vichy dan Moulins—yang diduga dipetik dari satu lagu yang biasa ia lantunkan.
Seiring itu, lingkungan kerja di kafe membantu Chanel berkenalan dengan orang-orang kaya. Beberapa ingin mengencaninya, seperti Etienne Balsan, yang mendukungnya membuka toko topi di Paris. Namun Chanel malah meninggalkannya untuk laki-laki lain yang lebih kaya, Arthur “Boy” Capel.
Terlepas drama di baliknya, kedua pria inilah yang berperan penting dalam fajar karier Chanel di ranah mode.
Label Mode Chanel yang Revolusioner
Toko pertama Chanel berdiri di Paris pada 1910, “Chanel Modes”, yang khusus menjual topi. Lokasinya di rue Cambon, hanya sekitar 15 menit jalan kaki dari Museum Louvre.
Saat itu, Chanel menganggap pembuatan baju perempuan sangatlah sulit, makanya dia hanya menjual topi. Namun, tak lama kemudian, dengan bantuan Capel, Chanel mendirikan butik di Deauville (1913) dan Biarritz (1915). Di sanalah Chanel mulai mendesain dan menjual pakaian.
Sebelum LBD, busana pertama yang didesain Chanel sudah dilirik banyak orang dan dianggap merevolusi industri fesyen.
Hal itu terkait dengan jenis kain untuk produk-produknya: jersey. Bahan yang umumnya untuk pakaian dalam laki-laki ini harganya murah—opsi masuk akal bagi Chanel yang kondisi keuangannya terbatas.
Tak butuh waktu lama bagi Chanel untuk mendapatkan untung besar dari label modenya. Pada 1919, ia membeli seluruh gedung di 31 rue Cambon yang sampai sekarang masih jadi markas pusat label busana premiumnya, Chanel. Ia juga berhasil melunasi pinjaman modal dari Capel.
Chanel terus melebarkan sayap di industri mode. Pada 1925, ia memperkenalkan setelan atasan jaket tanpa kerah yang elegan dipasangkan rok berpotongan pendek, “Chanel Suits”.
Kelak dikenakan oleh ikon fesyen Jackie Kennedy, Putri Diana, Brigitte Bardor hingga Barbara Walters, setelan ini disebut sebagai representasi perempuan yang bebas.
Gagasan awal “Chanel Suits” berangkat dari keinginan Chanel menciptakan pakaian yang membebaskan perempuan dari korset dan rok panjang.
Dia ingin perempuan dapat mengenakan setelan yang elegan namun masih bisa bergerak bebas. Inspirasinya datang dari baju olahraga dan pakaian laki-laki yang lebih nyaman dan praktis ketika digunakan. Pendeknya, “Chanel Suits” lahir dari pertemuan sisi maskulin dan feminin.
Chanel No. 5
Sukses dengan busana, Chanel mulai mengeksplorasi aksesoris, perhiasan, hingga parfum. Kesuksesan utama datang dari parfum pertamanya, Chanel No. 5, yang diklaim Vogue sebagai tiga terobosan terbesar Coco Chanel.
Chanel No.5 adalah parfum pertama yang diberi nama dari desainernya sendiri, sekaligus parfum pertama yang dikemas dalam botol mewah mengkilap. Lalu, kenapa tersemat angka lima? Ah, ternyata itulah nomor keberuntungan Chanel.
Kehadiran parfum ini tak lepas dari Ernest Beaux, pembuat parfum kenamaan Prancis kelahiran Rusia.
Pada 1920-an, Chanel meminta Beaux membuatkan wewangian untuknya dengan campuran bahan sintetis baru alih-alih murni minyak esensial bunga yang marak di pasaran.
Tak sampai setahun bekerja, Beaux menyajikan 10 botol wewangian dengan nomor satu sampai lima, dan 20 sampai 24.
Tanpa pikir panjang, sang desainer memilih botol kelima yang berbau bunga melati dengan campuran bunga-bungaan lain. Aromanya terkesan kompleks dan misterius dibandingkan parfum beraroma tunggal yang tengah merajai pasar.
“Aku menampilkan koleksi busana pertamaku pada tanggal lima di bulan lima. Karena itulah aku akan memilih botol [parfum] No. 5 dan tetap menggunakan nama yang sudah ia miliki, No. 5. Semoga hal ini akan membawa keberuntungan,” aku Chanel kepada Beaux.
Lagi-lagi, apa yang diungkapkan Chanel jadi kenyataan.
Intelijen Nazi
Ketika Perang Dunia II meletus, Chanel menutup seluruh gerai toko dan memecat 4.000 karyawan. Alih-alih mengasingkan diri dari Prancis sebagaimana desainer lainnya, Chanel memutuskan menetap di Hotel Ritz Paris yang juga merupakan markas besar militer Jerman.
Menurut desas-desus, Chanel punya relasi khusus dengan prajurit Jerman Hans Guther von Dincklage. Ia pun disebut-sebut berafiliasi dengan Nazi.
Forbes mencatat, relasi Chanel dengan Dincklage pada era perang terdokumentasikan dengan rapi. Beragam bukti bahkan mengindikasikan Chanel tak hanya menjadi kekasih Dincklage, melainkan juga intelijen Nazi.
Buku yang ditulis oleh jurnalis investigatif Hal Vaughan, Sleeping with The Enemy: Coco Chanel’s Secret War (2011) mengonfirmasi bukti-bukti keterlibatan Chanel di berbagai misi Nazi. Chanel diisukan memiliki nomor agen (F-7124) dan kode nama “Westminster”, diambil dari hubungan romantis dengan kekasih sebelumnya, Duke of Westminster.
Setelah perang berakhir, Chanel sempat ditangkap dan diinterogasi oleh pengadilan Prancis mengenai hubungannya dengan Dincklage. Namun Chanel berhasil lolos dari tuduhan sebagai kaki tangan Nazi. Diduga, ia selamat berkat bantuan sang kawan, Winston Churchill.
Dalam bukunya, Vaughan juga membahas alasan mengapa keluarga kaya Prancis, Wertheimer, bersedia mendanai kembalinya Chanel ke industri fesyen pada 1954.
Dan karenanya, kita masih bisa melihat kejayaan label Chanel sampai saat ini.
*Artikel ini pernah tayang di tirto.id dan kini telah diubah sesuai dengan kebutuhan redaksional diajeng.
Editor: Windu Jusuf & Sekar Kinasih