tirto.id - "Hukum berubah. Hati nurani tidak." --Sophie Scholl
23 Februari 1943, Elisabeth Scholl, duduk di sebuah kafe sembari menunggu kedatangan bus yang akan ia tumpangi. Surat kabar mingguan Völkischer Beobachter lantas menarik perhatian lewat headline yang menampilkan berita tak asing baginya.
Kakak dan adiknya, Hans Scholl dan Sophie Scholl, menurut judul berita tersebut telah dieksekusi mati kemarin sore karena dituduh melakukan pengkhianatan tingkat tinggi terhadap Jerman Nazi. Kepala keduanya, termasuk rekan mereka, Christoph Probst, dipenggal dengan guillotine. Beberapa hari kemudian, keluarganya juga ditangkap dan dijebloskan ke penjara.
“Empat hari lagi ulang tahun saya yang ke-23 dan saya merasa seluruh dunia saya telah hancur,” ujarnya mengenang peristiwa nahas itu dalam sebuah wawancara dengan Daily Mailpada pertengahan Januari 2014.
Saudara-saudara dan teman mereka yang dieksekusi merupakan anggota aktif kelompok perlawanan White Rose (Mawar Putih), yang menyebarkan selebaran, graffiti, hingga surat dan prangko anti-Nazi.
Adiknya, Sophie Scholl, seringkali dianggap punya pengaruh besar dalam menentukan keputusan penting arah gerakan White Rose.
Keluarga Penentang Nazi
Sophie Magdalena Scholl merupakan anak keempat dari lima bersaudara yang lahir pada 9 Mei 1921 dan bersama kakaknya, Hans, mendirikan kelompok perlawanan White Rose.
Ayahnya, Robert Scholl, merupakan seorang ahli administrasi sekaligus politikus di kota kelahirannya, Forchtenberg. Ia termasuk seorang pria yang religius dan memiliki keyakinan yang kuat terhadap nilai-nilai moral dan aktif sebagai anggota Partai Rakyat Jerman (Deutsche Volkspartei) yang moderat dan akhirnya menentang rezim Nazi.
Ayahnya mendidik Sophie dan saudara-saudaranya dengan semangat kebersamaan dan tanggung jawab akan lingkungan sekitarnya. Dia sering melibatkan mereka dalam diskusi tentang politik, etika, dan isu-isu sosial, sehingga mengembangkan keterampilan berpikir kritis mereka.
Ibunya, Magdalena Scholl, sangat percaya pada pentingnya pendidikan dan mendorong mereka untuk membaca secara luas dan mengeksplorasi berbagai topik. Dia juga mengajarkan nilai-nilai empati, kasih sayang, dan membela apa yang benar.
Kedua orangtua Sophie adalah anggota aktif Gereja Protestan, dan keyakinan mereka memainkan peran penting dalam membentuk pedoman moral Sophie. Mereka mengajarinya pentingnya kejujuran, integritas, dan pentingnya menjaga nurani.
Semua nilai ini membentuk karakter Sophie Scholl dan memengaruhi perjuangannya dalam gerakan perlawanan melawan rezim Nazi di Jerman.
Satu tahun sebelum Sophie lahir, ayahnya menjadi walikota Forchtenberg dan berhasil melakukan berbagai kemajuan kota, seperti pengembangan komunitas olahraga dan perluasan jalur kereta api.
Saat Sophie berusia sembilan tahun, jabatan ayahnya dicopot karena dianggap terlalu progresif terhadap langkah-langkah pemerintah. Keluarganya kemudian pindah ke Ludwigsburg di negara bagian Baden-Württemberg.
Warsa 1932, keluarganya pindah ke Ulm dan ayahnya menjadi konsultan pajak dan mulai membuka toko kelontong untuk menghidupi kebutuhan harian.
Bergabung dengan White Rose
Sophie mulai beranjak dewasa dan turut bergabung dengan Bund Deutscher Mädel (Liga Gadis Jerman) pada tahun 1933. Kakak dan adiknya; Inge, Hans, Elisabeth, dan Werner, termasuk anggota aktif dalam organisasi kepemudaan di bawah naungan Hitler Youth.
Awalnya, Sophie memiliki harapan besar akan cita-cita mulia organisasi yang diikutinya. Mereka mengampanyekan peran gender tradisional, kepatuhan pada otoritas, dan kesetiaan kepada Hitler dan Partai Nazi. Namun, ketika dia semakin terlibat dalam organisasi tersebut, dia mulai mempertanyakan prinsip-prinsip organisasi dan ideologi Nazi secara keseluruhan.
Dia mulai melihat kontradiksi antara propaganda yang diberikan kepadanya dan realitas tindakan rezim Nazi. Ia kemudian mengenal Friedrich Hartnagel, seorang prajurit Angkatan Darat, yang berteman baik dengan adiknya, Werner.
Keduanya lantas menjalin hubungan dekat dan sering berbagi pemikiran lewat surat-surat. Meski Friedrich setia kepada Adolf Hitler, ia juga mulai terpengaruh oleh pandangan Sophie saat menyaksikan penganiayaan terhadap orang Yahudi, penindasan terhadap kebebasan individu, dan kengerian perang.
Pengalaman itu ia ceritakan kepada Sophie yang membuatnya mempertanyakan moralitas dan etika Nazi.
Pemikiran Sophie berangsur beralih ke arah oposisi terhadap Hitler dan kebijakannya. Dia mulai melakukan aksi perlawanan dengan bergabung bersama White Rose. Dia bahkan menyatakan kesediaannya untuk menembak Hitler jika diberi kesempatan.
Pada 1937, ia dan ketiga saudaranya: Inge, Hans, dan Werner ditangkap polisi rahasia Gestapo karena terlibat dalam kegiatan ilegal di luar program Hitler Youth. Sophie masih berusia 16 tahun sehingga dibebaskan dan kembali diizinkan pulang.
“Dia tampak terlalu muda dan kekanak-kanakan untuk menjadi ancaman bagi negara, namun dengan melepaskannya, Gestapo telah mengabaikan musuh potensial yang nantinya harus mereka perhitungkan dalam situasi yang jauh lebih serius,” kata Richard F. Hanser dalam A Noble Treason: The Story of Sophie Scholl (1979:69).
Saudaranya yang lain, Inge dan Wener ditahan seminggu, sedangkan Hans dikurung tiga minggu setelah mendapat kebijakan pengampunan karena pernah berperilaku baik selama mengikuti layanan wajib perburuhan beberapa bulan sebelumnya.
Selebaran dan Perlawanan Kata-kata
Bulan Mei 1942, Sophie mendaftarkan diri sebagai mahasiswa Univeristy of Munich mengambil jurusan biologi dan filsafat. Sementara Hans ditugaskan ke Front Timur sebagai tenaga medis.
Sekitar bulan November, setelah Hans kembali dari medan perang, mereka terlibat lebih jauh dalam mengembangkan kelompok perlawanan White Rose, termasuk mengajak mahasiswa lain yang memiliki idealisme serupa.
Inge Scholl dalam bukunya, The White Rose: Munich, 1942-1943 (1983:31) menyebutkan nama-nama seperti Alexander Shmorer, Christop Probst, dan Wili Graf yang akhirnya bergabung dengan White Rose. Dibantu seorang profesor filsafat, Kurt Huber, gerakan bawah tanah ini melakukan perlawanan gerilya lewat kata-kata secara masif.
Di tahun itu pula, ayahnya dijebloskan ke penjara karena menyebut Adolf Hitler sebagai “momok Tuhan”.
Gerakan White Rose terinspirasi dari khotbah-khotbah seorang uskup di Gereja St. Lambert di Münster yang mengecam kebijakan Nazi seperti teror Gestapo, euthanasia, sterilisasi paksa, dan kamp konsentrasi.
Sementara itu, Sophie menjalin hubungan erat dengan Friedrich Hartnagel yang juga sedang bertugas di Front Timur. Ceritanya lewat surat membantunya menuangkan gambaran kekejaman Jerman, termasuk informasi kekalahan Wehrmacht, pasukan militer Jerman, di Pertempuran Stalingrad pada tahun 1942.
Anggota White Rose menerbitkan enam selebaran yang mengkritik rezim Nazi. Setiap edisi selebaran mengusung tema sendiri sesuai dengan kondisi terakhir. Misalnya selebaran pertama yang didistribusikan akhir Juni 1942 yang mengangkat praktik-praktik kejahatan Nazi dan masa depan Jerman jika masih dipimpin oleh Adolf Hitler.
Selebaran kedua mengangkat isu anti-semit, selabaran ketiga tentang kediktatoran Hitler dan kejahatannya, selebaran keempat menyinggung keseriusan White Rose dalam melakukan perlawanan terhadap Nazi, dan selebaran kelima menyoroti akan segera berakhirnya perang dan kekalahan Nazi yang sudah di depan mata.
Selebaran-selebaran tersebut didistribusikan secara diam-diam di berbagai kota di Jerman, termasuk Munich, Cologne, Berlin, Stuttgart, dan Wina. Selebaran juga kerap ditinggalkan di tempat-tempat umum, seperti universitas, pertokoan, dan bilik telepon. Tak hanya itu, kelompok ini juga melukis slogan-slogan anti-Nazi di dinding dan bangunan.
Jumlah selebaran yang dibagikan secara pasti tidak diketahui, tetapi diperkirakan mencapai puluhan ribu hingga ratusan ribu eksemplar. Mereka mendorong rakyat Jerman untuk berani berbicara dan bertindak melawan kejahatan yang dilakukan oleh rezim Nazi.
Selebaran keenam diterbitkan pada tanggal 21 Februari 1943, ditulis oleh Kurt Huber menyoroti kekalahan pasukan Jerman di Stalingrad. Meskipun selebaran ketujuh sudah memiliki draf, namun selebaran ini akhirnya menjadi pesan terakhir perlawanan White Rose.
Selebaran Keenam dan Terakhir
Pagi itu, 18 Februari 1943, Hans dan Sophie, tiba lebih awal di gedung universitas dengan tas yang berisi ratusan selebaran. Mereka berjalan dengan hati-hati dan mencoba untuk tidak menarik perhatian siapa pun di sekitar mereka.
Mereka naik ke lantai atas dan mulai menyebarkan selebaran di depan ruang kelas dan lorong-lorong. Mereka meletakkan selebaran tersebut di tempat-tempat strategis seperti tangga, koridor, dan aula. Mereka ingin memastikan bahwa pamflet dapat ditemukan oleh orang sebanyak mungkin.
Bel masuk lantas berbunyi, Sophie membalikan badannya dan melirik tumpukan selebaran, lalu menjatuhkannya lewat satu sentuhan. Selebaran itu berterbangan di atrium bersamaan dengan mahasiswa lain yang telah masuk. Mereka memungut dan membacanya.
Saat mereka mendekati tangga menuju lantas bawah, seorang penjaga yang dikenal sebagai Jakob Schmid menghentikan langkah mereka. Dia segera menghampiri dan menanyakan apa yang mereka lakukan. Hans dan Sophie terkejut dan panik, tetapi mereka berusaha untuk tetap tenang.
Hans mencoba untuk mengalihkan perhatian Jakob sementara Sophie menyembunyikan selebaran yang masih tersisa di dalam tas. Mereka berbicara dengan Jakob dan mencoba meyakinkannya bahwa mereka tidak melakukan apa-apa yang mencurigakan.
Namun, Jakob tidak terkecoh. Dia segera memerintahkan mereka untuk mengikuti dia ke ruang keamanan. Hans dan Sophie tahu bahwa mereka dalam bahaya besar. Mereka menyadari bahwa jika selebaran yang tersisa ditemukan, mereka akan dianggap sebagai musuh negara dan mungkin dihukum mati.
Saat mereka berjalan ke ruang keamanan, Hans dan Sophie saling bertatapan. Mereka tahu bahwa mereka mungkin tidak akan bisa melanjutkan perjuangan lagi. Namun, mereka tidak menyesal dengan tindakan mereka. Mereka yakin bahwa apa yang mereka lakukan adalah benar dan penting.
Setelah tiba di ruang keamanan, Jakob menemukan selebaran yang tersisa di dalam tas Sophie. Mereka ditangkap dan dibawa ke kantor Gestapo untuk diinterogasi oleh detektif senior, Robert Mohr.
“Dengan ini saya mengakui bahwa saudara laki-laki saya dan saya membawa selebaran ini ke universitas dalam koper yang disita atas penangkapan kami. Kami juga menyebarkan selebaran. Menurut perkiraan saya, ada sekitar 1.500-1.800 selebaran," ujar Sophie dalam pengakuan interogasi keduanya.
Selama interogasi, ia berbagi ruangan satu sel dengan narapidana politik lainnya, Else Gebel, yang simpati akan keberanian gadis berusia 21 tahun itu.
Empat hari kemudian, jam 10 pagi pada tanggal 22 Februari 1943, Hans, Sophie, dan Christoph Probst, diadili di pengadilan Nazi yang dipimpin hakim fanatik Hitler, Roland Freisler.
Pengadilan ini tidak mencerminkan sebuah peradilan yang bersih dan adil. Terdakwa tidak diberi kesempatan apapun untuk menjelaskan kronologi dan penyebab kejadian.
Mereka dinyatakan bersalah atas pengkhianatan tingkat tinggi dan dijatuhi hukuman mati. Sekitar jam 2 siang, mereka digiring ke penjara Stadelheim Munich dan jam 5 sore, mereka dieksekusi dengan guillotine.
Dalam adegan film Sophie Scholl - The Final Days (2005) digambarkan bagaimana petugas penjara mengizinkan mereka bertiga untuk merokok sebelum dieksekusi.
“Silahkan, cepat!” ujar petugas itu sembari menawarkan sebatang rokok dan pemantik kepada Sophie.
Sementara tokoh White Rose lainnya, Alexander Schmorell, Kurt Huber, dan Willi Graf ditangkap pada bulan April 1943. Schmorell dan Huber dieksekusi pada bulan Juli, dan Graf dieksekusi akhir tahun itu.
Selebaran keenam kemudian diselundupkan keluar Jerman dan diterima oleh pasukan sekutu di Inggris. Salinannya dicetak jutaan eksemplar dengan judul “Selebaran Jerman: Manifesto Mahasiswa Munich” dan disebarkan kembali lewat pesawat udara ke seluruh Jerman sepanjang tahun 1943.
Penulis: Ali Zaenal
Editor: Nuran Wibisono