tirto.id - Lagu-lagu Nazi mengalun dari bilik jeruji besi milik Irma Grese di Penjara Hamelin, sebuah lembaga pemasyarakatan di barat laut Jerman yang dibangun pada tahun 1698.
Malam itu, 12 Desember 1945, ia bersama Juana Bormann dan Elisabeth Volkenrath sedang menikmati waktu-waktu terakhir sebelum dieksekusi oleh tentara Sekutu yang dipimpin pasukan Inggris. Mereka bernyanyi sampai dini hari ditemani beberapa porsi sosis, roti gulung, dan kopi.
Irma Grese divonis hukuman mati bersama 10 petinggi dan fungsionaris Schutzstaffel (SS), organisasi keamanan militer Nazi, dalam Persidangan Belsen pada tanggal 17 November 1945.
Persidangan Belsen berlangsung dari tanggal 17 September sampai 17 November 1945 sebagai bagian dari upaya pembebasan Sekutu dari cengkeraman Nazi di Eropa. Secara keseluruhan, persidangan di bawah hukum Inggris ini merujuk pada dakwaan dari hasil Konvensi Jenewa 1929 mengenai perlakuan kepada tahanan perang.
Selama 54 hari, Persidangan Belsen mendakwa 45 tersangka, 19 di antaranya adalah perempuan, atas kejahatan perang yang dilakukan di kamp-kamp tahanan milik Nazi.
Irma Grece dikenal sebagai penjaga kamp yang bengis dan punya kepuasan tersendiri ketika menyiksa tahanannya. Ia dijuluki “The Beautiful Beast”, “The Grey Mouse”, “The Beast of Belsen”, atau “Die Hyane von Auschwitz” oleh wartawan dan para narapidana yang berhasil lolos dari kamp.
Keretakan Rumah Tangga Orang tua
Daniel Patrick Brown dalam The Beautiful Beast: The Life & Crimes of SS -Aufseherin Irma Grese (1996) menulis latar belakang keluarga Irma Grece adalah keluarga buruh tani. Ia lahir di Wrechen, kota di Mecklenburg-Vorpommern yang berjarak 95 km dari Berlin, dengan nama Irma Ilse Ida Grese pada 7 Oktober 1923. Ia adalah anak ketiga dari lima bersaudara hasil pernikahan Alfred Anton Grese dan Bertha Wilhelmine Winter.
Alfred, ayahnya, merupakan seorang buruh di perkebunan keluarga Gutshof Wrechen. Meski pekerjaan utamanya adalah memerah sapi, seringkali ia mendapatkan pekerjaan tambahan untuk menjaga kebun dan peternakan keluarga. Dibanding buruh tani lainnya, penghasilannya tergolong cukup untuk memenuhi kebutuhan harian membesarkan lima anak.
Akhir tahun 1935, Alfred memiliki kebiasaan buruk minum bir di pub setempat. Kabar perselingkuhan dengan putri pemilik pub tersebut kemudian tersiar membuat rumah tangganya mulai mengalami masa sulit. Anak-anaknya kerap menjadi pelampiasan kekerasan dengan alasan untuk kedisiplinan.
Ibunya, Bertha, digambarkan sebagai sosok ibu yang kesulitan dalam mengatur waktu untuk mengelola kebutuhan keluarga.
Ketika Irma menginjak usia 12 tahun, Bertha menyuruh Irma dan saudara-saudaranya untuk membersihkan rumah sepanjang hari. Setelah selesai, ia menyuruh mereka ke pub untuk menanyakan keberadaan ayah mereka.
Berta sendiri lantas pergi ke kamar dan melakukan percobaan bunuh diri dengan menenggak asam klorida yang baru digunakan untuk membersihkan rumah. Ketika ditemukan tergeletak di kamar tidurnya, ia langsung dilarikan ke rumah sakit dan akhirnya meninggal pada bulan Januari 1936.
Perselingkuhan ayahnya diduga menjadi motif mengapa ibunya melakukan bunuh diri.
Doktrin Nazi di Sekolah
Irma Grese berusia 10 tahun ketika doktrin Nazi mulai menggerogoti jiwa dan pikirannya. Di Jerman, Nazisme mulai didapatkan anak-anak usia sekolah dasar dan menjadi sebuah kewajiban yang harus diimplementasikan ke dalam kurikulum mulai tanggal 23 Maret 1933 melalui undang-undang yang dikenal dengan Enabling Act.
Undang-undang yang disahkan Reichstag--parlemen berstempel karet—ini mendukung penuh upaya kediktatoran Adolf Hitler yang naik menjadi kanselir pada 30 Januari 1933.
Nazisme secara garis besar merupakan gabungan ideologi nasionalis konservatif dengan doktrin radikal sosial. Pemahaman ini menjadikan Nazisme sebagai gerakan yang revolusioner--sebagian besar negatif--dan ekstrem, baik secara ide maupun praktik. Nazisme lebih bertumpu pada dominasi naluriah dan perlunya kepatuhan buta kepada pemimpin yang ditunjuk dari atas.
Hitler cukup piawai mengeksploitasi ketakutan yang ada di Jerman dengan membangun narasi Revolusi Bolshevik yang melahirkan rezim Soviet. Hal yang menurutnya tak jauh beda dengan kaum Yahudi, kaum Gipsi, homoseksual, orang-orang komunis, dan orang-orang cacat, yang harus didiskriminasi bukan menurut agama tetapi lebih sebagai sebuah ras yang berpaham Bolshevisme.
Di usia remajanya, Irma Grese mulai mencari identitas bagaimana caranya mengabdi pada negara dan ide-ide Adolf Hitler. Ia menyimpan motivasi bahwa Nazi adalah satu-satunya harapan dan masa depan Jerman.
Pada usia 14 tahun ia keluar dari sekolah dan mulai bergabung dengan perkumpulan remaja Liga Gadis Jerman, Bund Deutscher Madchen. Organisasi ini menyasar perempuan-perempuan muda dengan menekankan pada dua tujuan utama, yakni membentuk anggotanya menjadi Nasionalis Sosialis, lalu melahirkan perawat-perawat di lapangan sebagai pembela tanah air.
Ayahnya yang sempat bergabung dengan Partai Nazi pada tahun 1937 melarang ia maupun saudara-saudaranya untuk bergabung dengan kelompok nazi manapun. Irma bersikeras menentang ayahnya dan kabur meninggalkan rumah.
Seperti diungkapkan adiknya, Helena Grese, dalam kesaksiannya di Persidangan Belsen, masa remaja Irma setelah kabur dari rumah banyak dihabiskan untuk bekerja menjadi buruh ternak sebelum akhirnya menjadi penjaga toko di Lycen selama enam bulan.
Tahun 1939 hingga pertengahan 1941, Irma bekerja sebagai asisten perawat di Sanotarium Hohenlycen, salah satu layanan medis milik SS hingga usianya mencapai 18 tahun.
Semula, Irma berkeinginan menjadi perawat sebagaimana pengalamannya bergabung dengan Liga Gadis Jerman. Namun dua kali usahanya selalu gagal mendapatkan legalitas karena penyalur yang memberinya pekerjaan selalu tidak pernah mengizinkan.
Hal tersebut membuat ia kembali bekerja menjadi asisten toko susu Gerloff di Fusrtenberg.
Penjaga Kamp yang Ditakuti
Pada bulan Juli 1942, Irma dikirim untuk bekerja di kamp konsentrasi di Ravensbruck. Ia merespons iklan surat kabar mengenai lowongan pekerjaan sebagai Aufseherin--penjaga kamp-- untuk perempuan dan anak-anak. Lowongan tersebut menjanjikan gaji dan tunjangan menarik. Saat itu usianya menginjak 19 tahun. Ia lolos seleksi setelah mendapat pelatihan dan ujian medis yang cukup ketat.
Menurut Daniel Patrick Brown dalam The Beautiful Beast: The Life & Crimes of SS-Aufseherin Irma Grese (1996 hlm.71), sebelum tahun 1944 metode seleksi penjaga kamp dilakukan dengan hati-hati. Calon sipir harus memiliki fisik yang mumpuni dan tidak memiliki catatan kriminal.
Mereka yang akhirnya terpilih juga terbagi ke dalam dua jalur seleksi, yakni melalui wajib militer dan atas kemauan sendiri atau sukarela. Ini menjadi menarik bagi Irma Grese karena ia lolos seleksi dari kedua jalur.
Setelah tahun 1944, perpindahan penjaga kamp dari satu tempat ke tempat lain mulai dipengaruhi penilaian bagaimana penjaga kamp memperlakukan tahanan. Hertha Ehlert, salah satu terdakwa Pengadilan Belsen yang dihukum 15 tahun penjara, mengatakan bahwa ia dikirim ke Ravensbruck karena dianggap terlalu lunak kepada tahanan di kamp Arbeitslager, tempat ia bekerja sebelumnya.
Di kamp Ravensbruck, Irma Grese dilatih oleh Dorothea Binz, salah satu senior SS perempuan paling sadis, selama tiga minggu. Ia diajari dasar-dasar pengaturan kamp, menyiasati sabotase tahanan, juga bagaimana menerapkan berbagai metode hukuman yang pantas didapatkan oleh tahanan.
Dalam waktu singkat, sosoknya menjadi pusat perhatian karena tindak tanduknya dalam memperlakukan tahanan. Seringkali ia memukul dan menyiksa tanpa alasan mendasar. Di kamp ini juga ia mulai berhubungan bebas dengan para petugas laki-laki.
Satu tahun kemudian, tepatnya bulan Maret 1943, ia dikirim ke kamp konsentrasi Auschwitz-Birkenau di Polandia bagian selatan yang saat itu diduduki Nazi. Jabatannya saat itu adalah operator telepon. Di bawah komandan Rudolf Höss, mulanya kamp ini hanya sebagai pusat tahanan politik, terutama warga Polandia yang tertangkap.
Kamp Auschwitz-Birkenau terbagi ke dalam 3 area. Kamp utama, Auschwitz I, mampu menampung 15.000 hingga 20.000 tahanan. Kamp Auschwitz II, letaknya di Birkenau, banyak mengoperasikan krematorium dan kamar gas, mampu menampung 90.000 tahanan.
Korban kematian selama era anti-semit banyak terjadi di kamp kedua ini. Terakhir, Kamp Auschwitz III difasilitasi kamp untuk kerja paksa mampu menampung 10.000 tahanan.
Lokasi kamp yang tergolong strategis, dekat dengan jalur kereta, memungkinkan Nazi menyalurkan dan memindahkan tahanan dari satu kamp ke kamp lainnya.
Irma Grese disebut sebagai Aufseherin termuda yang mendapat jabatan Rapportführerin atau pelapor pada tahun 1944. Jabatan ini masuk ke dalam ranah tertinggi kedua dalam struktur keperwiraan pasukan SS wanita. Dengan jabatannya ini, ia bertanggung jawab penuh terhadap kamp tahanan Auschwitz-Birkenau yang menampung tiga puluh ribu tahanan wanita.
Saat itu, ia sudah dibekali dua anjing pembunuh yang bebas ia gunakan untuk memperlakukan tahanan. Dia akan melepaskan kedua anjingnya ketika menggiring tahanan yang terlihat lemah.
Irma menikmati bagaimana tahanan dicabik-cabik oleh kedua anjingnya. Penampilannya yang mencolok dengan seragam SS bersepatu bot tinggi, pistol di pinggang, dan cambuk yang dia buat sendiri membuat para tahanan bergidik.
Juni 1944, kamp Auschwitz-Birkenau dihuni oleh sebagian besar tahanan perempuan Yahudi dari Hungaria. Dia mulai memiliki kebiasaannya sebelum menyiksa tahanan dengan melakukan absensi secara acak melalui kode panggilan “Appell”.
Di lapangan terbuka yang kemudian disebut Appellplatz, para tahanan berbaris setiap pagi dan malam. Absensi ini tak memedulikan kondisi cuaca dan harus terus dilakukan sepanjang waktu.
Menurut Tyler Gibson dalam Irma Grese–“The Beast of Belsen” & Other Twisted Female Guards of Concentration Camps (2017), kode “Appel” untuk pemilihan korban umumnya dilakukan dengen menyeleksi tahanan yang sehat atau sakit.
Mereka yang dianggap ringkih akan langsung digiring ke kamar gas. Irma sendiri yang kemudian mengeksekusi mereka. Ia juga akan menendang tahanan yang berteriak histeris dengan sepatu botnya. Di kesempatan lain, ia menyiksa tahanan yang dianggap lebih bugar darinya dengan cambuk.
Menurut para saksi dan korban yang selamat, setiap hari Irma Grese biasanya memukul, menendang, atau mencambuk 30 tahanan wanita sampai mati. Korban yang terluka biasanya akan dibiarkannya tidak mendapat perawatan medis sampai pendarahan berhenti sendiri hingga infeksi menjalar.
Kekejaman Irma Grese lainnya adalah pelecehan dan nafsu seksualnya yang tak terbendung, baik kepada tahanan pria maupun wanita. Ia juga menjalin hubungan dengan dokter kamp, Josef Mangele, dan komandan Birkenau, Josef Kramer.
Tahanan-tahanan biasanya dijadikan eksperimen Mangele sebelum dikirim ke kamar gas. Irma akan merayu mereka sebelum melakukan hubungan seksual. Jika tahanan menolak atau Irma sudah bosan, mereka akan disiksa hingga mati.
Sejak saat itu Irma Grese mulai mendapat julukan “Beautiful Beast”.
Evakuasi dan Hukuman Mati
Pada 27 Januari 1945, pasukan Rusia menguasai Auschwitz, Birkenau, dan Monowitz. Mereka membebaskan sekitar 7.000 tahanan di kamp Auschwitz. Pasukan Nazi terlebih dahulu melakukan evakuasi, termasuk menggiring para tahanan dan menghancurkan bukti-bukti penyiksaan di kamp. Banyak di antara tahanan yang meninggal selama evakuasi ini.
Irma Grese dan beberapa fungsionaris sudah berada di kamp Ravensbruck sejak 19 Januari. Mereka dievakuasi melalui kereta api. Mengingat situasi Nazi yang mulai terjepit pasukan Sekutu, dua bulan berikutnya mereka dipindahkan kembali ke kamp Berger-Belsen, kamp yang cukup terkenal karena Anne Frank meninggal di lokasi ini.
Julukan “The Beast of Belsen” didapatkannya di kamp ini. Kekejamannya semakin brutal terhadap tahanan. Hobinya adalah memaksa tahanan untuk berdiri di bawah cuaca dingin. Ketika diketahui duduk atau bersandar, ia akan memukul mereka hingga mati.
Irma Grese ditangkap tanggal 18 April 1945 ketika pasukan Inggris tiba dan dipindahkan ke Penjara Celle di Niedersachsen sebulan kemudian.
Selama Persidangan Belsen, Irma Grese masih menjadi pusat perhatian 200 wartawan dari berbagai negara yang meliput. Ketika sebagian besar terdakwa terlihat lusuh, ia tetap tampil bugar dengan gaya rambut memikat dan seragam yang selalu rapi.
Dalam pernyataannya, ia merasa telah melakukan hal yang benar dan menolak segala tuduhan saksi-saksi yang ditujukan kepadanya. Ia beralasan karena saat itu adalah kondisi perang dan merasa semua siksaan kepada tahanan adalah bagian dari upaya membela diri, membela kehormatan tanah airnya.
Tanggal 22 November 1945, Irma Grese mengajukan banding atas putusan hakim empat hari sebelumnya yang mendakwa ia hukuman mati dengan cara digantung.
Eksekutor senior Inggris, Albert Pierrepoint, ditunjuk sebagai algojo pada tanggal 13 Desember 1945. Setelah menaiki tujuh anak tangga, Irma mencium kalung salib pemberian pendeta ketika di dalam sel. Albert lantas menutup wajahnya dengan tudung putih dan memasang tali di lehernya.
“Schnell (cepat lakukan)!” ujar Irma.
“The Beast of Belsen” itu dinyatakan meninggal dalam usia 22 tahun, menjadikannya penjahat perang termuda yang dieksekusi secara resmi.
Penulis: Ali Zaenal
Editor: Irfan Teguh Pribadi