tirto.id - “Aku juga mencoba menelan dan mencerna gliserin, bersandar pada alasan sederhana bahwa sebagai hasil pecahan lemak, pastilah gliserin dalam beberapa hal harus dimetabolisme dan mengandung kalori. Mungkin memang ada kalorinya, tetapi ternyata efek sampingnya tak menyenangkan.”
– The Periodic Table, hlm. 144.
Begitulah salah satu upaya Primo Levi, seorang Italia di kamp konsentrasi Auschwitz, mencari apa pun untuk bisa mengganjal lapar selama ia ditahan pada 1944-1945. Tiga tahun sebelum ditangkap, Levi berhasil memperoleh gelar doktor kimia dari Turin Chemical Institute dengan susah payah. Pada 1941 itu, Italia berada di bawah pemerintahan fasis Benito Mussolini dan bom tak henti membombardir Turin, kota kelahirannya.
Aliansi Mussolini dengan Hitler pada 1940 mengubah sepenuhnya nasib Yahudi di Italia. Salah satunya adalah dilarangnya keturunan Yahudi belajar di universitas-universitas negeri. Kelulusan Levi disertai dengan sebuah catatan singkat: “keturunan Yahudi”.
Levi baru berusia 24 (ia dilahirkan pada 31 Juli 1919) ketika bergabung dalam gerakan La Resistenza Italiana. Gerakan ini menentang pendudukan tentara Nazi dan pembentukan negara boneka Italia di bawah Jerman pada akhir Perang Dunia II. Nasibnya mudah ditebak. Ia ditangkap Fascist Militia pada 13 Desember 1943. Pemuda Yahudi yang menentang Nazi ini dipastikan mengantongi tiket ke kamp konsentrasi. Levi diangkut ke Auschwitz pada 22 Februari 1944. Nomor tahanan sekaligus identitasnya dirajahkan di lengan kirinya: 174517. Sebelas bulan kemudian pada 27 Januari 1945, Levi dibebaskan.
Sebagai ahli kimia, Levi selamat dari kerja paksa. Ia dipekerjakan di laboratorium IG Farben yang memproduksi karet Buna—setidaknya ia berada di dalam ruangan, karena Auschwitz hanya menyediakan dingin yang tak tertanggungkan. Kemampuan berbahasa Jerman juga menyelamatkannya. Tahanan yang sama sekali tidak dapat berbahasa Jerman langsung dibunuh di pekan-pekan pertama.
Pada 22 Februari itu, ia diangkut ke Auschwitz bersama 650 orang. Dari jumlah tersebut, lebih dari 500 orang segera dibunuh. Sisanya, 69 laki-laki, termasuk dirinya, dan 29 perempuan, masuk ke lager—demikian Levi menyebut penjara dalam bahasa Jerman. Penghuni penjara dikelompokkan menjadi tiga, yaitu penjahat, tahanan politik, dan orang Yahudi. Semua memakai baju garis-garis dengan emblem segitiga hijau untuk penjahat dan segitiga merah untuk tahanan politik. Keturunan Yahudi, penghuni terbesar lager, memakai emblem dua segitiga merah dan kuning yang ditumpuk membentuk bintang David. “Dari 650 orang, tiga berhasil pulang.”
Auschwitz adalah neraka yang siap menyambar nyawa kapan pun, baik secara tiba-tiba dengan senjata maupun pelan-pelan karena dingin, sakit, dan kelaparan. Levi menjaga kewarasan dengan bekerja di laboratorium dan mencuri apa pun untuk ditukar dengan makanan sehingga dapat menyambung nyawanya.
Dengan jatuhnya perekonomian Jerman pada 1944, ransum makanan tahanan kian menipis. Seorang tahanan hanya menerima jatah 700 kalori per hari yang membuat mereka sulit bertahan di dinginnya Auschwitz. Pasar gelap memperebutkan makanan pun muncul. Sekerat roti “diperdagangkan” dengan barang apa pun yang dianggap berharga, dari pakaian hingga kancing baju atau sekadar mencuri makanan sesama tahanan. Sistem ini memaksa mereka dihadapkan pada dua pilihan sulit: melakukan tindakan-tindakan tak terpuji atau mati.
“Kalau kau tak pernah belajar mencuri sejak kecil, mencuri bukan perkara enteng. Aku butuh berbulan-bulan untuk menekan beban moral ini dan belajar menguasai teknik mencuri… Aku mencuri apa pun, kecuali roti kawanku,” tutur Levi, seorang doktor terpelajar lulusan universitas terhormat yang belajar mencuri demi sepotong roti.
Bagaimanapun, ilmu kimia tidak hanya membuatnya dipekerjakan di laboratorium yang relatif lebih nyaman, tetapi juga membuatnya mampu mengidentifikasi unsur dan elemen tiap benda yang sekiranya bernilai untuk dibarter dengan roti. Atau yang ia kenali berpotensi untuk dimakan, seperti yang ia lakukan pada gliserin.
Levi menggambarkan kelaparan para tahanan sebagai sesuatu yang tak ada bandingannya. Ia menyebutnya sebagai lapar yang mengakar, kebutuhan yang meronta-ronta dari tiap-tiap sel. Levi pun melakukan berbagai eksperimen. “Aku mencuri beberapa ratus gram asam lemak.. kumakan setengah, dan memang mengenyangkan, tapi rasanya sungguh tak enak… Aku juga mencoba membuat panekuk dengan wol katun, dengan cara menekannya menggunakan lempeng kompor listrik. Aku bisa mencium aroma gula gosong."
Di rak laboratorium, Levi memperhatikan terdapat sebuah stoples berisi 20 batang silinder kecil berwarna abu-abu, keras, tanpa rasa. Tetapi stoples itu tanpa label dan itu sungguh ganjil mengingat ini adalah laboratorium Jerman. Orang Jerman tidak akan pernah lupa menempelkan label di laboratorium. Semua benda di laboratorium itu ditempeli label dengan penamaan yang rapi dan jelas, kecuali stoples itu.
Pada suatu malam, Levi mengambil 3 batang silinder dan menyembunyikan di kantongnya. Ia memperlihatkan hasil curiannya kepada kawannya, Alberto, yang kemudian mencoba menyerut benda keras itu. Terdengar bunyi gesekan dan muncul percik kekuningan. Segera Levi mengenalinya: ferrocerium, bahan yang digunakan sebagai geretan korek api. Tetapi Levi tak melihat benda itu cukup berharga untuk bisa ditukar dengan roti. Alberto melihat sebaliknya. Alberto jugalah yang memastikan supaya pikiran Levi tidak tercemar semesta keputusasaan yang menyelimuti kamp konsentrasi itu. Menurut Alberto, satu geretan untuk korek api nilainya setara dengan sepotong roti dan itu berarti hidup selama sehari.
“Jika aku mencuri paling tidak 40 batang, yang dari masing-masing batang bisa dibuat tiga geretan, maka akan ada total 120 geretan. Itu berarti roti selama dua bulan, masing-masing untukku dan Alberto. Dan dalam dua bulan itu, tentara Rusia akan datang membebaskan kami. Lalu pada akhirnya, cerium itulah yang menyelamatkan kami,” catat Levi.
Begitulah malam demi malam berlalu. Setelah semua tahanan tidur, di bawah lampu redup dan berselubung selimut tipis, mereka berdua bekerja diam-diam mengikis batang cerium setipis mungkin hingga menjadi geretan pemantik korek api. Risikonya besar: kebakaran di kamp atau digantung Nazi. Keduanya tak lagi menakutkan karena yang mereka idamkan hanyalah sekerat roti.
Suatu hari di awal 1945, Levi mengalami demam. Sup encer hasil barternya ternyata mengandung bakteri Streptococcus. Nazi memindahkannya ke rumah sakit. Di bulan Januari 1945, tentara Soviet sudah semakin dekat dan pembebasan Auschwitz kian di depan mata. Untuk menghilangkan bukti kejahatan kemanusiaan, tentara Nazi menggiring ratusan ribu tahanan menuju kamp lain di dalam wilayah Jerman (Auschwitz berada di wilayah Polandia). Para tahanan yang keadaannya sudah payah ini berjalan selama berhari-hari menembus salju. Sebagian besar mati di tengah jalan, ditembak, atau kelaparan dan kedinginan.
Levi tidak termasuk dalam barisan kematian ini. Tentara Nazi meninggalkannya di Auschwitz dan bermaksud membiarkannya mati di sana. Tetapi Levi bertahan hidup. Sahabatnya, Alberto, termasuk di antara mereka yang digiring menuju kematian.
Pada 11 April 1987, tepat hari ini 34 tahun lalu, Primo Levi menyusul Alberto. Ia bunuh diri, melompat dari lantai tiga apartemennya. Pada batu nisannya terukir nomor tahanannya: 174517.
The Periodic Table: Buku Sains Terbaik di Dunia
Pada 2006, Royal Institution London menobatkan buku Primo Levi, The Periodic Table, sebagai buku sains terbaik yang pernah ditulis. The Periodic Table mengalahkan The Selfish Gene karya Richard Dawkins dan Voyage of the Beagle milik Charles Darwin.
The Periodic Table (pertama kali terbit pada 1975 dalam bahasa Italia, Il Sistema Periodico) adalah sebuah autobiografi Primo Levi dalam 21 cerita pendek, yang tiap cerita diberi judul nama-nama unsur dalam tabel periodik, dan menjadikan bukunya serupa petualangan kimia.
Ia mengawali kisahnya dengan gas Argon untuk mengolok leluhur dan para kerabatnya, yang mengutip sifat Argon: mulia, langka, dan lembam. Kisah-kisah selanjutnya adalah masa kecil dan masa remajanya yang ia beri judul “Hydrogen” dan “Zinc”. Tepat di tengah bab, yang juga tepat di tengah perjalanan hidupnya, Levi mengisahkan pengalamannya di Auschwitz dengan judul “Cerium”, yang secara kimiawi bersifat reaktif dan ulet. Buku itu ditutup dengan “Carbon”, unsur dasar segala kehidupan di Bumi.
Levi mengutip peribahasa Yiddish—bahasa Yahudi perantauan di Eropa—di lembar pertama The Periodic Table, ”Masalah yang berhasil diatasi adalah cerita yang bagus untuk dikisahkan”. Dan demikianlah Primo Levi, seorang ahli kimia, setidaknya telah menuliskan 18 buku tentang elemen-elemen kehidupannya serta eksperimen-eksperimen bertahan hidup yang telah ia lakukan.
Sejak 2005, hari pembebasan Primo Levi dan jutaan korban kamp konsentrasi lainnya itu diperingati sebagai Hari Internasional Peringatan Holokaus.
Editor: Ivan Aulia Ahsan