tirto.id - Hanya dua pekan setelah kesepakatan, pemimpin tertinggi Uni Soviet, Josef Stalin, meradang. Ia meminta perwakilan Komunis Internasional (Komintern) dan petinggi Partai Komunis Indonesia (PKI), Semaoen, untuk membatalkannya.
Kesepakatan itu ditandatangani Semaoen dan Mohammad Hatta pada 5 Desember 1926 dan bubar pada 19 Desember 1926.
Dalam memoarnya, Hatta menyebut Semaoen dipanggil, dimarahi, dan diminta menyampaikan pembatalan di depan pers. Dalam pernyataannya, Semaoen mengaku khilaf lantaran meletakkan gerakan komunis di bawah kendali kaum nasionalis. Semaoen bertindak sendiri, tidak berkonsultasi dengan Moskwa.
Komintern merupakan asosiasi partai-partai komunis sedunia dengan Uni Soviet sebagai pengendali tunggal. Disemprot pemimpin bengis seperti Stalin tentu sebuah mimpi buruk.
Sebagai ketua Perhimpunan Indonesia, Hatta sesungguhnya juga mengambil keputusan sendiri. Tapi, di atas sang kutu buku tersebut nihil sosok semacam Stalin.
"Hanya Abdul Madjid Djojodiningrat (Sekretaris Perhimpunan Indonesia) yang mengetahui konvensi tersebut. Ia sangat gembira bahwa Perhimpunan Indonesia akan memperoleh peranan penting dalam pergerakan nasional Indonesia berkat konvensi itu," tulis Hatta dalam memoarnya.
Apa yang sebenarnya terjadi? Apa inti kesepakatan?
Pemberontakan PKI meletus pada November 1926 di Banten. Kejadian ini menjadi bahan perbincangan para aktivis mahasiswa di Belanda. Hatta berpendapat, pemberontakan itu merupakan langkah bodoh karena tidak ada faktor obyektif yang layak digunakan sebagai alasan.
"Tetapi, kepada dunia luar termasuk pers Belanda, kami mengatakan pemberontakan PKI merupakan akibat politik pemerintah Hindia Belanda yang reaksioner," tulis Hatta dalam memoarnya.
Pada Desember 1926, Semaoen berangkat dari Moskwa hendak menemui Hatta di Den Haag. Mereka membahas pemberontakan yang nyungsep tersebut.
Semaoen menceritakan hal-hal yang tidak diketahui orang non-PKI. Misalnya, sebelum pemberontakan meletus, Stalin memerintahkan dua pimpinan PKI yang datang ke Moskwa, Alimin dan Musso, untuk segera pulang dan membatalkan pemberontakan.
Butuh berbulan-bulan untuk tiba di Tanah Air. Saat mendarat di Singapura, Alimin dan Musso mendengar pemberontakan telanjur meletus dan kandas. PKI dihabisi dan para anggotanya dibuang ke Boven-Digoel.
Semaoen lebih dulu dibuang ke Eropa pada September 1923 terkait pemogokan buruh kereta api di Semarang dan Surabaya. Ia tiba di Amsterdam dan disambut gegap gempita kaum komunis. Bersama Henk Sneevliet dan Pieter Bergsma, Semaoen membuat majalah Pandoe Merah untuk orang-orang Indonesia di Belanda dan kaum komunis di kampung halaman.
Perihal Hatta, ia menjadi ketua Perhimpunan Indonesia pada Januari 1926 atau belum lima tahun setelah mendarat di Belanda untuk belajar ekonomi di Rotterdamse Handelshogeschool. Kita mafhum, Hatta kelak memproklamasikan kemerdekaan bersama Sukarno.
Cikal bakal Perhimpunan Indonesia, yaitu Indische Vereeniging, berdiri 1908. Indische Vereeniging semula hanya merupakan ajang kumpul-kumpul mahasiswa Hindia Belanda.
Pada 1924, Indische Vereeniging berubah nama menjadi Indonesische Vereeniging atau Perhimpunan Indonesia. Wataknya semakin politis. Jurnal mereka bersalin nama, semula Hindia Poetra menjadi Indonesia Merdeka. Polisi Belanda semakin ketat pasang mata dan telinga.
Usul dari Nasionalis yang Menyamar
Percakapan Semaoen dan Hatta tiba pada apa yang mesti dilakukan. Mereka sepakat harus dibentuk partai nasional baru di Hindia Belanda untuk memastikan perjuangan berlanjut.
Hatta menyambar kesempatan ini dengan menyatakan Perhimpunan Indonesia akan berada di depan, menjadi tulang punggung dan penggerak utama roda partai nasional baru. Alumnus organisasi itu sudah banyak yang pulang kampung setelah kelar studi di Belanda.
Semaoen setuju PKI berada "di bawah kendali" kaum nasionalis yang diwakili Perhimpunan Indonesia. Juga berkomitmen tidak akan beroposisi sejauh Perhimpunan Indonesia setia pada perjuangan kemerdekaan. Terakhir, mengizinkan penggunaan alat cetak milik PKI untuk kerja-kerja politik. Demikianlah tiga hal yang menjadi inti kesepakatan.
Sebelum itu, Semaoen sempat mengusulkan, partai baru punya dua kerja. Pada kerja legal, partai aktif dalam bidang pendidikan dan sosial. Namun, pada saat bersamaan, ada kerja-kerja ilegal yang bertujuan menggulingkan kekuasaan kolonial dengan kekerasan.
"Hatta menolak. Ia tak menghendaki persiapan bawah tanah untuk revolusi; ia percaya bahwa pendidikan dan emansipasi yang akan mematangkan massa untuk menyambut kemerdekaan," tulis sejarawan Harry Poeze dalam Di Negeri Penjajah: Orang Indonesia di Negeri Belanda 1600-1950.
Dalam imajinasi Hatta, partai baru itu dibayangkan tidak terlalu radikal demi menghindari reaksi brutal rezim kolonial. Namun, tetap berdasar pada prinsip non-kooperasi, sama seperti Perhimpunan Indonesia.
Dalam studi tentang Perhimpunan Indonesia, sejarawan John Ingleson menyebut anak-anak muda itu memang terkesan dengan PKI karena merupakan partai anti-Belanda di garis terdepan. Dalam sejumlah tulisan di Indonesia Merdeka, pujian untuk PKI terbaca.
Menurut Deliar Noer dalam Mohammad Hatta: Biografi Politik, pandangan Hatta saat itu terhadap orang-orang komunis tidak negatif. Dalam anggapan anak Minang tersebut, mereka adalah verkapte nasionalisten atau nasionalis yang menyamar, bisa diandalkan sebagai kolega perjuangan kemerdekaan bangsa, bukan sekadar para kamerad Stalin untuk agenda global perjuangan kelas.
Polisi Bergerak
Konvensi yang sebentar itu juga berdampak kepada Hatta. Proposal Semaoen didengar polisi Belanda dan diyakini sebagai pedoman kerja Perhimpunan Indonesia. Ini memperkuat keyakinan bahwa Hatta dan teman-temannya dipengaruhi kaum komunis.
Pada Juli 1927, sejumlah rumah yang ditinggali anggota Perhimpunan Indonesia disatroni polisi. Misalnya, rumah Ali Sastroamidjojo di Leiden. Mereka masuk tanpa membunyikan bel, langsung mendobrak pintu dengan senjata di tangan. Para polisi lalu menggeledah seisi rumah.
"…kemudian kami tahu bahwa mereka mencari berkas perjanjian Semaoen-Hatta… Penggeledahan juga dilakukan di rumah teman-teman kami di Den Haag, termasuk di rumah Bung Hatta. Tetapi penggeledahan itu rupanya tidak berhasil karena dokumen Semaoen-Hatta tidak ditemukan," kenang Ali dalam Empat Mahasiswa Indonesia di Negeri Belanda Tahun 1927.
Dua bulan kemudian, Hatta, Ali, Nazir Datuk Pamuntjak, dan Abdul Madjid Djojodiningrat dijebloskan ke tahanan dan diseret ke pengadilan. Pada awalnya, kenang Ali, belum terlalu jelas tuduhan untuk mereka.
Tapi, dari pertanyaan para interogator, terbit kesimpulan bahwa Perhimpunan Indonesia terutama diincar karena diyakini bakal melanjutkan haluan kekerasan kaum komunis di Hindia Belanda.
Dalam pleidoinya yang termasyhur, Hatta menjatahkan satu bab untuk menangkis tudingan visi kekerasan. Ia tegas menyatakan Perhimpunan Indonesia tak menganut asas kekerasan. Namun, Hatta tak menampik bahwa upaya memerdekakan bangsa bisa juga menyempal dari jalan damai.
Hatta mengutip satu tulisan di jurnal Indonesia Merdeka, beberapa tahun sebelumnya. Bahwa cepat atau lambat, setiap bangsa yang ditindas akan merebut kembali kemerdekaan. Soal cara yang ditempuh, ya tergantung sikap sang penjajah.
"…kondisi di mana berlangsung gerakan kemerdekaan juga ikut ditentukan oleh sikap mereka yang mempunyai kekuasaan di tangannya. Tergantung dari mereka, apakah kelahiran kemerdekaan itu akan bersamaan dengan darah dan air mata, atau proses itu berlangsung damai," kutip Hatta dalam pleidoinya.
Pengadilan di Den Haag menyatakan Hatta dan tiga rekannya tidak bersalah. Tidak terbukti mau menggulingkan pemerintahan Kerajaan Belanda, mereka pun bebas.
Seiring masa, hubungan Hatta dengan kaum komunis tak pernah lagi sama. Ia membesarkan PNI Baru setelah pulang ke Hindia Belanda, terus melakoni kerja-kerja politik. Pembuangan akhirnya menjadi ganjaran.
Pada 1938, dari tempat pembuangan di Banda Neira, Hatta menulis esai "Budak Stalin Mencari Trotsky di Indonesia". Esai itu merupakan respons atas tulisan di koran Partai Komunis Belanda yang menuding kaum nasionalis teperdaya oleh fasisme Jepang yang mulai naik daun.
Penulis: Yus Ariyanto
Editor: Irfan Teguh Pribadi