tirto.id - Lima bulan sebelum malam berdarah yang menutup riwayat Partai Komunis Indonesia, delapan penulis menerbitkan kumpulan cerpen bertajuk Yang Tak Terpadamkan dalam rangka menyambut ulang tahun ke-45 partai.
Cerpen pertama berjudul Paman Martil, ditulis oleh Pramoedya Ananta Toer. Tujuh cerpen lain masing-masing ditulis oleh A. Kohar Ibrahim (Guruh), T. Iskandar AS (Komunis Pertama), Mara LP (Catatan Seorang Prajurit), Bambang Sukowati Dewantoro (Peristiwa 19 Desember 48), Sugiarti (Anak Desa), Hidayat Sastra Mulyana IW (Dia Seorang Lelaki), dan Zubir AA (Terkepung).
Lewat Paman Martil, Pram mengenang pemberontakan PKI 1926 dan hari-hari penuh ketegangan karena berseteru dengan Sarekat Hijau yang disponsori Belanda.
Orang-orang memanggilnya Paman Martil. Nama lahirnya tak diketahui. Martil menjadi perkakas andalan dalam pekerjaannya membetulkan sepatu rusak. Ia hidup bersama dua orang bocah yang tak jelas siapa orangtuanya.
Paman Martil dan kedua bocah tinggal di sebuah petak sewaan milik seorang janda. Si janda sendiri ditinggal mati oleh seorang singkek yang menikahinya selama 40 tahun.
Para pemuda penasaran dan menanyakan namanya. Dari sana mengalirlah kisah-kisah sedap.
Paman Martil mengaku ingin jadi tukang sepatu sejak dulu. Keterangannya cukup pragmatis. Menurutnya, ketika ia masih bocah, jarang ada orang yang mengenakan sepatu. Wedana saja cuma memakai selop. Sepatu kedudukannya hampir sama dengan payung mas sebagai lambang kekuasaan. Namun lebih dari itu, sepatu bersinonim dengan uang.
“Ada payung mas, ada kekuasaan. Ada sepatu, ada uang. Aku tidak butuh kekuasaan, aku butuh uang untuk makan. Jadi kupilih sepatu sajalah, jadi aku belajar bikin sepatu. Bercita-cita jadi tukang sepatu. Nyatanya 20 tahun jadi tukang sepatu, cuma martil saja yang aku punya. Barangkali dengan martil itu juga aku mati,” ungkapnya.
Kawan sekaligus tetangga Paman Martil bernama Mirjan, yang lebih suka menyebut dirinya "Mariana Proletar". Dibandingkan dengan Paman Martil yang meledak-ledak, Mariana Proletar lebih hati-hati menyikapi ketegangan dengan kaum anti-komunis yang didukung pemerintah kolonial Belanda.
Pada suatu malam, seseorang bersepatu serdadu menendang pintu petak Paman Martil hingga bolong. Sebelum kaki itu ditarik si empunya, martil mendarat di kaki sang 'serdadu' yang langsung meraung kesakitan. Tapi rupanya kaki itu bukan milik serdadu alih-alih seorang tetangga yang tergabung dalam Sarekat Hijau.
Keesokan harinya, istri Mariana Proletar menyampaikan pesan sang suami agar Paman Martil segera pindah. Paman Martil malah naik pitam.
“Pindah? Seluruh Sarekat Hijau boleh dituang kemari. Paling-paling aku mampus! Pemimpin-pemimpin kita sudah ajarkan: kita harus berjuang. Kita harus binasakan kapitalisme-imprealisme dan anjing-anjingnya. Kalau kita kalah, kita cuma kehilangan belenggu kita. Tak bakal rugi apa-apa!” ujarnya geram.
Tak lama setelah ia kembali dari kakus, tiga orang Sarekat Hijau telah datang menunggunya. Paman Martil babak belur dihajar. Martilnya tak ampuh untuk menangkis serangan.
Kira-kira sebulan kemudian, Mariana Proletar datang ke petak Paman Martil dan menyerahkan sepucuk senapan Vickers.
“Jadi,” bisik Mariana Proleter. “Kita jadi berontak.”
“Kalau di empat tempat, empat penjuru, malah hari, ada rumah terbakar, itulah tandanya. Aku akan datang membawa kau,” imbuh Mariana Proletar.
Malam yang dijanjikan pun tiba. Rumah-rumah terbakar. Paman Martil dan empat puluh orang sipil bersenjata menyerang kantor telepon. Dua bocah yang tinggal bersamanya turut serta. Empat jam kantor itu mereka kuasai sebelum akhirnya dikuasai serdadu kolonial.
Paman Martil berhasil lolos. Tapi tak lama kemudian, serdadu-serdadu itu mendatangi rumahnya. Dua bocah selamat, sementara Paman Martil kian terdesak. Senapan Vickersnya sudah tak berfungsi. Ia sempat lari melalui kamar mandi, tapi akhirnya terkurung di bawah sebatang pohon durian.
Pelor serdadu berhamburan menghancurkan dadanya. Paman Martil menjelempah. ia tak bergerak lagi.
“Waktu sebuah durian jatuh di dekat kepalanya ia pun tiada berbuat sesuatu apa pun. Di sebelah sana menggeletak Vickersnya yang basah dalamnya. Di bawah tubuhnya menongol tangkai martilnya. Tapi seluruh tubuhnya berselimutkan bendera merah palu-arit, dan darahnya sendiri,” tulis Pram.
Di bawah cerpennya, Pram menulis catatan: “Ditulis berdasarkan berita-berita dari Sin Po 1926-27, dan beberapa individu, tanpa mengurangi jasa pimpinan penyerbuan, yang terdiri dari Idris, Rais, dan Nur.”
Sarekat Hijau Menyerang Kaum Pergerakan
Ada pemandangan agresivitas Sarekat Hijau terhadap kaum komunis dan pemberontakan yang gagal. Latar peristiwa yang ditulis Pram pada cerpen tersebut merupakan satu babak dalam riwayat pergerakan nasional.
Menurut M.C. Ricklefs dalam Sejarah Indonesia Modern 1200-2008 (2008), pemerintah kolonial melakukan represi besar-besaran terhadap kaum pergerakan pada 1924. Mereka mendukung kelompok-kelompok masyarakat yang bukan saja menyerang PKI, tapi juga Sarekat Islam. Kelompok inilah yang bernama Sarekat Hijau. Mereka sangat kuat di daerah Priangan.
“Kelompok-kelompok tersebut merupakan gerombolan-gerombolan penjahat, para anggota polisi, dan para kiai yang mendapat dukungan pemerintah Belanda dan pejabat-pejabat priayi. Pada awal tahun 1925, sekitar 20.000 orang anggotanya menyerang rapat-rapat PKI dan SI serta mengancam para anggota mereka. Pengawasan pemerintah semakin diperketat, dan pimpinan PKI yang tersisa sering ditahan,” tulisnya.
Keterangan lain disampaikan oleh Ruth T. McVey dalam Kemunculan Komunisme Indonesia (2010). Menurut McVey, karena pada paruh kedua tahun 1924 komunisme berkembang pesat di daerah Priangan, khususnya di Sumedang, pemerintah kolonial mendukung pembentukan "paguyuban tolong-menolong" yang berhaluan anti-komunis.
Paguyuban yang hadir di setiap desa ini didukung oleh Bupati Sumedang dan pejabat lainnya. McVey menambahkan, paguyuban ini telah menjalar ke sejumlah daerah lain di Pulau Jawa sejak awal 1925, misalnya di Bogor, Cirebon, Kediri, Ngawi, Madiun, dan Jepara.
“Perkumpulan Tolong-Menolong, Kaum Pamitran di Priangan, Sarekat Hitam dan Sarekat Kematren Cirebon, dan Anti-Komunisme di Bogor—mereka dikenal luas dengan nama Kelompok Sumedang, Sarekat Hijau,” terangnya.
Massa paguyuban yang menurut Ricklefs secara keseluruhan berjumlah sekitar 20.000 orang ini kerap mengacaukan pertemuan PKI dan Sarekat Rakyat (SR), mengganggu sekolah-sekolah SR, menghajar pengikut komunis, menghancurkan harta benda milik orang komunis, dan mengusir pengikut PKI dari desa mereka.
Berbeda dengan Ricklefs, McVey tak memperkirakan jumlah massa yang menurutnya “masih misteri”. Namun yang pasti, ia mencatat jumlahnya cukup besar di Priangan. Sejumlah surat kabat memang pernah mengabarkan insiden penyerangan oleh ratusan anggota Sarekat Hijau.
Situasi saat itu kacau. Bentrok, sebagaimana dikisahkan Pram dalam cerita Paman Martil memang kerap terjadi. Masih dalam buku yang sama, Ruth T. McVey menyebutkan PKI membentuk sistem penjagaan lingkungan terutama karena para pemimpin mereka menjadi target penyerangan.
Sistem ini mereka buat karena birokrasi dan penegak hukum sudah tak bisa diandalkan. Polisi bahkan menjadi aparat pengawas aktivitas komunis yang dibantu oleh kelompok-kelompok anti-komunis.
Penangkapan dan penyerangan terhadap para pemimpin PKI ini disinggung juga dalam lakon Paman Martil. Koran-koran yang dibaca Paman Martil mengabarkan tentang salah seorang pemimpin PKI yang baru pulang dari Singapura dan ditangkap di daerah Meester Cornelis, lalu dijebloskan ke penjara di Pekalongan.
Kabar susulan datang dari Mariana Proletar. Menurutnya, pemimpin yang ditangkap itu telah dibunuh oleh PID (Politieke Inlichtingen Dienst) alias Dinas Intelijen Politik Hindia Belanda wilayah Semarang dengan cara dihancurkan kemaluannya dengan martil.
“Satu demi satu pimpinan kita ditangkap, dibunuh. Di desa-desa kawan-kawan kisa disiksa, dianiaya, dirampok, digantung, ditembak…,” ujar Paman Martil kepada dua bocah yang tinggal bersamanya dan ia didik untuk jadi kader komunis.
Eksekusi Para Pemberontak
Kisah tentang gagalnya pemberontakan PKI pada 1926 yang ditulis Pram lewat cerita Paman Martil, Mariana Proletar, dan kawan-kawannya, ditulis juga oleh A. Kohar Ibrahim dalam Guruh.
Jika Paman Martil menuturkan latar pemberontakan dan situasi di sekitar kejadian itu, maka Guruh langsung ke jantung peristiwa.
Kisah dimulai dengan kemunculan senandika Soleh, seorang yang ditahan Belanda setelah pemberontakan dipadamkan. Ia gelisah, menebak-nebak waktu, kapan kiranya eksekusi akan mengakhiri hayatnya. Ia lalu mengenang malam 12 November, saat aksi dijalankan.
“Kawan-kawan, bertindaklah dengan serentak. Pimpin regu masing-masing dengan baik. Kita dan semua Rakyat yang kita pimpin harus yakin akan kemenangan—kemenangan buat hari depan kita—Rakyat yang tertindas. Kemenangan kaum yang lapar. Batavia adalah pusat kekuasaan kolonial, oleh sebab itu kita mendapat tugas besar untuk menumbangkan dan merebut kekuasaan dari tangan Belanda,” tutur seorang pimpinannya pada malam itu.
Pasukan bergerak menuju kantor telepon dan menguasainya. Setelah itu mereka berencana menuju penjara Glodok. Namun, sebelum sampai ke sana, mereka keburu terkepung dan dicokok aparat kolonial.
Kini Soleh dan kawan-kawannya mendekam di penjara: menunggu maut menjemput. Saat ia duduk terpejam, aparat kepolisian menyeret tahanan baru dan menjebloskannya ke sel Soleh.
“Akan kalian rasakan pada gilirannya nanti!” ujar polisi.
Manusia-manusia kalah itu terkejut saat terdengar letusan senapan. Selang beberapa saat letusan terdengar lagi. Kawan-kawannya telah dieksekusi. Polisi datang dan memanggil Soleh. Kini saatnya ia dimangsa peluru.
Sebelum benar-benar menjauhi sel, Soleh dan kawannya terlibat percakapan: saling menguatkan, saling mengingatkan bahwa kemenangan suatu saat akan memihak kepada mereka.
“Sudah, sudah, jangan banyak cakap, anjing merah!” gertak polisi yang membawanya.
Di lapangan tempat eksekusi, Soleh menolak matanya ditutup. Ia tatap algojo yang akan menghabisi jiwanya. Setelah peluru pertama mengoyak dadanya, ia berteriak:
“Tembaklah! Tembaklah sampai peluru kalian habis untuk mengoyakkan tubuhku! Tapi komunisme tidak bisa kalian koyakkan dan kalian bunuh…!”
Rentetan peluru berikutnya menghancurkan tulang rusuk dan memecahkan jantungnya. Soleh tak berkutik lagi. Kisah pun usai.
Pemberontakan PKI di Jawa yang terjadi pada 12 November 1926 memang mudah dipatahkan. Pasukan Belanda kembali merebut Batavia sehari setelah kejadian. Sementara pemberontakan di Banten dan Priangan dipadamkan pada Desember. Tak hanya di Jawa, pemberontakan pun terjadi di Sumatra. Meski lebih sengit, tapi para pemberontak Sumatra juga cepat dibabat Belanda.
“Setelah pemberontakan di Jawa benar-benar ditumpas, meletus pemberontakan di Sumatra pada tanggal 1 Januari 1927. Pertempuran di sini lebih berat, tetapi pemberontakan itu dapat dipadamkan pada tanggal 4 Januari. Seorang Eropa lainnya terbunuh oleh kaum pemberontak,” tulis M.C. Ricklefs dalam Sejarah Indonesia Modern 1200-2008 (2008).
Pemberontakan pertama PKI di Nusantara itu kiranya amat menarik perhatian dua penulis di atas, yakni Pramoedya Ananta Toer dan A. Kohar Ibrahim. Atau karena memang Yang Tak Terpadamkan diterbitkan untuk menyambut ulang tahun PKI ke-45, jadi peristiwa itu sengaja diangkat untuk mengobarkan semangat heroisme, menyanjung partai lewat narasi kepahlawanan kader zaman baheula.
Pergulatan dalam Keluarga
Agak berbeda dengan narasi Pramoedya Ananta Toer dan A. Kohar Ibrahim—meski tetap memuja-muja PKI—T. Iskandar A.S. lewat Komunis Pertama menceritakan pergolakan di dalam keluarga Islam yang taat yang salah seorang anaknya masuk PKI.
Kisah ini sedikit mirip dengan satu fragmen Atheis (1949) karya Achdiat K. Mihardja, ketika Hasan bersilang pendapat dan bertengkar dengan bapaknya.
Ismet, nama sang tokoh, telah menjadi anggota PKI ketika pulang kampung untuk menengok ibu dan pamannya. Mula-mula percakapan Ismet dan pamannya baik-baik saja. Namun, saat ia mengaku bahwa telah menjadi seorang komunis dan anggota PKI, nada bicara sang paman langsung meninggi.
“Bukan kebiasaan turunan kita, paman, untuk menelan air ludah yang sudah diludahkan,” ucap Ismet di pengujung percakapannya.
Esoknya, Ismet menjelaskan panjang lebar alasan dan motivasinya masuk PKI. Ia yang masih kecil saat ditinggal mati ayahnya, berpindah dari satu rumah saudara ke rumah saudara lainnya: dititipkan, kurang perhatian, dan kurang kasih sayang. Setelah dewasa dan merantau, Ismet berkenalan dengan orang-orang komunis yang ternyata memberikan hampir semua yang tak ia terima sejak kecil.
Kisah panjang yang Ismet tuturkan rupanya mengharu-biru pamannya, hingga orang tua itu luluh, tak lagi keras terhadap seorang komunis yang ada di hadapannya.
“Kau tak salah. Kamilah yang salah, karena kami tidak memahami penderitaanmu. Terlebih-lebih karena tidak memahami perkembangan yang terus berjalan tanpa stop. Kamilah yang salah, yang terlambat pada masa lampau yang kuno,” ucap pamannya.
Hari berikutnya Ismet pamit kepada ibu, paman, dan keluarganya yang lain. Sang bunda meminta maaf kepada Ismet karena kurang memerhatikannya.
“Telah kutimbang, telah kupikir-pikir tadi malam semalam suntuk. ‘Anakku seorang kominis’. Aku menangis, kemudian menimbang-nimbang. Menangis lagi dan menimbang-nimbang lagi. Ketika fajar barulah pikiranku terbuka, barulah aku bisa mengambil suatu keputusan. Kuserahkan segalanya kepada Tuhan Yang Maha Tahu dan Maha Adil. Kuserahkan segalanya kepada Tuhan. Tuhanlah yang berhak mengadilimu, bukan aku, sekalipun aku ibumu,” ucap ibunya.
Ismet lalu pergi melangkah meninggalkan keluarganya. Tiba-tiba terdengar lagi suara ibunya: “Kominis pun kau, Ismet, jangan tinggalkan sembahyangmu.”
Cuplikan tiga cerpen pertama dalam Yang Tak Terpadamkan (1965), beberapa bulan sebelum PKI digulung militer dan sipil bersenjata, masih menunjukkan semangat yang menyala-nyala. Kisah pemberontakan dan 'penaklukan' hati orangtua disusun sedemikian rupa.
Keberlimpahan penulis dalam organ-organ kebudayaannya, membuat PKI tak kesulitan menyusun buku kumpulan cerpen untuk merayakan ulang tahunnya yang ke-45. Dan itulah perayaannya yang terakhir.
Editor: Windu Jusuf