tirto.id - Kriminalitas jalanan dan kejahatan konvensional mampu menjadi pembuka tindak kejahatan berikutnya. Tindakan menyimpang ini tidak hadir dari ruang hampa. Ia bisa dirunut hulunya dari masalah ekonomi.
Kelesuan ekonomi telah meresap ke setiap lapisan masyarakat, terutama di kota metropolitan yang padat penduduk. Itu diperparah badai pemutusan hubungan kerja (PHK) dan minimnya lapangan pekerjaan. Dalam situasi seperti ini, tekanan emosional imbas kegagalan mencapai harapan ekonomi akan mendorong sebagian individu mencari pelarian lewat tindakan kriminal.
Ketika kebijakan ekonomi tidak berpihak kepada masyarakat kelas menengah ke bawah, tekanan itu menjadi pemicu kecenderungan menyimpang. Rasa frustrasi yang menggerogoti harapan hidup akhirnya berubah menjadi aksi kriminal yang merayap di sudut-sudut jalanan.
Baru-baru ini, misalnya, seorang pria berinisial APS menjadi korban begal saat pulang dari Kafe Live House di kawasan Kemang, Jakarta Selatan, Jumat (14/3/2025) pekan lalu. APS dibegal di muka kafe oleh sekelompok orang tidak dikenal yang mengendarai tiga sepeda motor berjenis Nmax.
Para pelaku memberhentikan APS, lalu menodongnya dengan celurit dan juga senjata api. Setelah itu, pelaku lantas membawa paksa sepeda motor Honda Stylo warna hitam milik APS. Korban kemudian melaporkan pembegalan itu ke Polres Metro Jakarta Selatan.
Di Depok, Selasa (18/3/2025) lalu, Polda Metro Jaya menangkap pelaku perampokan dengan kekerasan, yakni pemerkosaan, di daerah Pancoran Mas. Kabid Humas Polda Metro Jaya, Kombes Pol. Ade Ary Syam Indradi, menyatakan bahwa polisi telah membekuk dua pelaku kejahatan ini: RR (29) dan HH (24).
Seturut pemberitaan Antara, Ade menjelaskan bahwa kejadian tersebut terjadi pada Jumat (14/3/2025) pekan lalu ketika korban berinisial Y ingin beristirahat di kamarnya. Korban kaget mengetahui para pelaku secara tiba-tiba sudah berada di dalam kamarnya.
Mereka mengancam Y menggunakan kapak. Ade menyebut bahwa pelaku RR lantas memerkosa korban dan mengambil ponselnya. Mereka lantas kabur setelah menyuruh korban ke kamar mandi.
Keduanya dijerat dengan pasal tindak pidana pencurian dengan kekerasan dan atau pemerkosaan, yaitu Pasal 365 KUHP atau Pasal 285 KUHP, dengan ancaman hukuman maksimal 12 tahun penjara. Kemudian, untuk penadahan diancam dengan Pasal 480 KUHP dengan hukuman maksimal empat tahun penjara.
Peristiwa kriminal lain yang menjadi sorotan adalah tindakan kekerasan dan penganiayaan yang menimpa dua satpam di SMA Negeri 9 Kabupaten Tangerang, Senin (17/3/2025). Akibat kejadian itu, korban bernama Karyono mengalami luka serius di bagian kepala akibat senjata tajam, sedangkan korban Sunarto luka di wajah dan memar di hidung karena dipukul.
Pelakunya adalah dua anggota LSM yang diduga meminta THR ke sekolah. Namun, kedua pelaku menganiaya korban karena tidak terima ditegur.
Menurut catatan Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya, kasus kriminal di jalanan serta kejahatan konvensional memang tergolong marak jelang Ramadhan. Pada periode Januari-Februari 2025 (jelang Ramadhan), Polda Metro Jaya telah mengungkap sebanyak 103 kasus kriminal. Dari jumlah itu, kepolisian menangkap sebanyak 220 tersangka.
Di antara kasus-kasus yang diungkap tersebut, terdapat 35 kasus pencurian dengan pemberatan (curat), disusul begal sebanyak 15 kasus, dan pencurian motor (curanmor) sebanyak 10 kasus. Polda Metro Jaya juga mengungkap 3 kasus pembunuhan, 2 pemerasan, dan 29 kasus kejahatan lainnya. Total korbannya sebanyak 101 orang.
Peneliti bidang sosial dari The Indonesian Institute (TII), Natasya Restu Dewi Pratiwi, menilai bahwa eskalasi kasus kriminalitas di wilayah metropolitan adalah konsekuensi dari ketidaksetaraan akses sumber daya dan kesempatan ekonomi. Hal itu lantas memicu terjadinya ketidakadilan sosial dan kemudian meningkatkan angka kriminalitas.
“Hal ini memicu peningkatan angka kriminalitas, terutama di daerah dengan kesenjangan ekonomi yang tinggi, seperti wilayah metropolitan,” ucap Natasnya kepada wartawan Tirto, Kamis (20/3/2025).
Masyarakat yang terjebak dalam kondisi kemiskinan dan termarginalisasi lebih rentan untuk terlibat dalam tindakan kriminal, seperti pencurian, perdagangan narkoba, hingga pembunuhan. Hal ini terjadi karena masyarakat dengan keterbatasan ekonomi memiliki kemampuan yang lebih rendah dalam mengakses pekerjaan yang layak.
Natasnya menilai bahwa tekanan finansial membuat mereka lebih rentan terjerumus dalam aktivitas kriminal guna bertahan dan mendukung kebutuhan hidup. Oleh karena itu, pemerintah seharusnya memberi perhatian lebih pada ketimpangan sosial dan kelesuan ekonomi yang dialami masyarakat.
Hal itu pun tidak cukup diatasi dengan kebijakan pengentasan kemiskinan dan peningkatan kesempatan kerja. Lebih dari itu, menurut Natasya, pemerintah perlu juga meningkatkan akses pendidikan yang inklusif, meningkatkan program pemberdayaan masyarakat, serta merehabilitasi pengguna narkoba.
“Untuk memutus kriminalitas secara berkelanjutan, pemerintah perlu melakukan identifikasi faktor sosial yang mendasari perilaku kejahatan. Sehingga, kebijakan yang disusun sesuai dengan kebutuhan masyarakat sasaran dan berdampak,” ungkap Natasnya.
Sementara itu, kriminolog dari Universitas Indonesia (UI), Adrianus Eliasta Meliala, menilai bahwa kebijakan ekonomi termasuk yang cepat sekali terasa getarannya sampai ke akar rumput. Oleh karena itu, pemerintah perlu menghadirkan kebijakan ekonomi yang baik untuk menekan kriminalitas.
Masalahnya, kata dia, kebijakan ekonomi idealnya tidak boleh berbeda arah dari kebijakan politik. Namun, Adrianus tidak yakin kelesuan ekonomi saat ini merupakan faktor eskalasi kasus kriminalitas.
“Pelakunya pasti orang lama, pemain karier, sementara pemain baru belum muncul karena secara umum orang Indonesia masih berduit. Kalaupun tidak berduit, ada keluarga besar yang bisa bantu,” ucap Adrianus kepada wartawan Tirto, Kamis.
Perilaku Bobrok Para Elite
Penurunan investasi berdampak terhadap ketahanan infrastruktur sosial, pendidikan, dan layanan publik. Hal itu kemudian turut melemahkan jaringan pengawasan informal yang menjadi tameng norma-norma kehidupan bermasyarakat. Tanpa solidaritas sosial yang kuat, lingkungan yang tadinya kental dengan nilai kebersamaan bisa berubah menjadi medan subur bagi aktivitas kriminal.
Situasi itu diperparah oleh perilaku elite politik dan ekonomi yang terkesan tidak peka terhadap kondisi riil rakyat akar rumput. Para pemimpin yang seharusnya menjadi anutan dalam membangun bangsa malah sibuk dengan kepentingan pribadi. Mereka mengabaikan jeritan hati rakyat yang merindukan keadilan dan pemerataan ekonomi.
Tak dapat dimungkiri bahwa praktik korupsi yang merajalela di kalangan elite turut memperburuk kondisi tersebut. Ketika figur-figur terkemuka menggunakan kekuasaannya untuk memperkaya diri sendiri, citra negara yang adil dan berintegritas kian surut.
Perilaku semacam itu pun tidak hanya menciptakan kegelisahan psikologis di masyarakat, tetapi juga mengikis kepercayaan publik terhadap institusi negara.
Peneliti psikologi sosial dari Universitas Indonesia (UI), Wawan Kurniawan, menilai bahwa perilaku amoral elite politik dan ekonomi mampu memantik tindakan permisif di kalangan masyarakat. Dalam psikologi sosial, hal itu dikenal sebagai social modeling. Masyarakat belajar dari apa yang mereka lihat dari figur otoritas atau penguasa.
Ketika menyaksikan elite hingga pejabat negara berbuat korup, hidup mewah, tidak transparan, dan sewenang-wenang, masyarakat membentuk dua jenis persepsi sosial yang membenarkan tindakan jahat tersebut. Pertama, pemikiran bahwa individu juga bisa melakukan hal serupa. Kedua, merasa sistem tidak adil sehingga tak ada salahnya melakukan pelanggaran hukum.
“Terutama, jika sanksi terhadap elite juga terasa tidak adil atau ringan. Maka muncullah efek psikologis yang disebut “moral disengagement”—yaitu justifikasi pribadi untuk melakukan kejahatan karena merasa sistem sudah bobrok,” kata Wawan kepada wartawan Tirto, Kamis.
Menurut Wawan, untuk meredam peningkatan tindak kejahatan di akar rumput yang sering dipicu oleh tekanan ekonomi, dibutuhkan pendekatan yang bersifat holistik dan menyentuh akar persoalan sosial. Negara seharusnya menghadirkan kebijakan ekonomi yang adil dan berpihak pada kelompok rentan.
Hal itu dilakukan sembari memperkuat jaringan perlindungan sosial agar masyarakat tidak merasa putus asa atau kehilangan harapan. Namun, itu harus lebih dari sekadar bantuan materi. Masyarakat membutuhkan ruang-ruang sosial yang menghidupkan solidaritas, rasa memiliki, dan kepercayaan terhadap sistem.
“Keteladanan moral dari para elite sangat penting—sebab keadilan tidak hanya dirasakan melalui hukuman terhadap pelaku kecil, tapi juga melalui komitmen etik yang nyata dari mereka yang berada di puncak kekuasaan,” terang Wawan.
Sementara itu, doktor bidang kriminologi, Erni Rahmawati, menilai bahwa kebijakan ekonomi yang baik dan terukur akan membantu dalam mencegah munculnya kemarahan masyarakat yang paling terdampak kondisi kemiskinan. Sebab, kejahatan karena kondisi ekonomi berpotensi meningkatkan kriminalitas jalanan (street crime). Kejahatan jenis ini banyak dilakukan oleh masyarakat di kelas marjinal.
Kebijakan ekonomi, kata Erni, akan jadi alat pencegahan makro atau bersifat nasional. Namun, kalau masih banyak unsur-unsur koruptif dan nepotisme, akan sangat sulit bagi kita menyatakan bahwa sekadar kebijakan saja sudah efektif mencegah kriminalitas.
Maka wajar ada kemarahan kolektif di kalangan menengah ke bawah yang terdampak kondisi negara yang sedang bermasalah. Mengacu teori Marx, jelas Erni, masyarakat ini, yang juga diwakili oleh para mahasiswa, emosinya sudah berada di ubun-ubun. Di balik itu semua, perilaku KKN seharusnya diperkuat pencegahan dan penanganannya.
Kebijakan juga harus terbuka. Kebijakan harus mengacu pada literatur akademis dan melibatkan pengawasan rakyat, mahasiswa, hingga media massa.
“Makanya, dalam menangani dan mencegah kejahatan, semua unsur harus terintegrasi agar bisa benar-benar efektif,” ucap Erni kepada wartawan Tirto, Kamis.
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Fadrik Aziz Firdausi