Menuju konten utama

Fenomena "Gadis Siput" Muncul, Gen Z Gagal jadi CEO. Benarkah?

Gen Z selalu berada di antara keinginan menerima manfaat dari kerja penuh waktu dan dari mana saja, namun juga enggan menerima dampak batasan ekspresi diri.

Fenomena
Header Diajeng Kerja Jarak Jauh Gen Z. tirto.id/Quita

tirto.id - Survey Delloite 2023 tentang Generasi Z dan milenial, yang diikuti 22.856 responden di 44 negara menyatakan, Gen Z dan milenial sedang memikirkan ulang peran pekerjaan dalam kehidupan mereka.

Sebanyak 49% Gen Z dan 62% milenial mengatakan pekerjaan adalah inti dari identitas mereka. Meski demikian, mereka masih memperjuangkan keseimbangan hidup (work-life balance).

Generasi Z dan milenial secara jelas menghargai pekerjaan jarak jauh dan hybrid jika melihat manfaatnya.

Sebanyak 3 dari 4 responden yang saat ini bekerja jarak jauh atau hibrida akan mempertimbangkan untuk mencari pekerjaan baru jika bos meminta untuk bekerja penuh waktu di lokasi.

Sikap Gen Z yang mulai menghindari hustle culture ini bermula dari tren di Tiktok mengenai snail girl.

Ini adalah sebuah gaya hidup antitesis budaya gila kerja, tren ini mendorong perempuan untuk bekerja lebih santai, meminimalkan stres, dan mengambil jeda kapan pun mereka butuh untuk keseimbangan hidup.

Feny (24) merasa bekerja penuh selama 8 jam di kantor sangat melelahkan dan menguras energinya. Sebagai generasi Z yang baru bekerja saat pandemi, ia ingin merasakan kembali bekerja dari rumah.

Saat ini, kebijakan kantor sudah mewajibkan karyawan bekerja penuh di kantor, dan ia berencana mencari pekerjaan lain yang lebih fleksibel jam kerjanya.

Header Diajeng Kerja Jarak Jauh Gen Z

Header Diajeng Kerja Jarak Jauh Gen Z. foto/IStockphoto

Meski lebih nyaman, tetapi bagi Gen Z tidak selalu menguntungkan.

Karyawan Gen Z yang baru memulai menapaki karier, bekerja jarak jauh kurang bagus untuk mereka. Berkolaborasi secara tatap muka dengan rekan kerja di kantor barangkali menjadi cara yang lebih baik dalam mengembangkan karier mereka.

Suzy Welch, profesor di Stern of Business, New York University mengatakan, “Kaum muda yang memilih bekerja jarak jauh— ke kantor satu atau dua hari dalam seminggu atau sepenuhnya kerja jarak jauh—mereka mungkin memiliki versi kesuksesan tersendiri, berbeda dari versi kesuksesan kita,” kata Suzy

Suzy menambahkan, hal itu terkait bagaimana mereka mendefinisikan kesuksesan.

“Generasi Z yang bekerja jarak jauh bisa jadi tidak akan menjadi CEO, tapi mungkin itu bukanlah yang mereka inginkan.”

Ia mengingatkan, mereka yang bekerja jarak jauh, tidak akan mendapatkan “imbalan finansial” yang sama seperti rekan mereka yang bekerja keras di kantor. Saya melihat keajaiban saat orang bekerja secara bersama-sama,” ujarnya.

Komentar Suzy hampir serupa dengan profesor marketing NYU, Scott Galloway, yang mengatakan bahwa kaum muda tidak boleh selalu berada di rumah, jika mereka mencari kesuksesan profesional.

“Anak muda jangan di rumah. Rumah hanya untuk tidur 7 jam saja. Waktu yang kamu habiskan di rumah berbanding terbalik dengan kesuksesan yang akan kamu peroleh, baik profesional maupun kehidupan romantis,”

Galloway telah lama menganjurkan kaum muda untuk kerja kantoran dan menghindari kebiasaan kerja jarak jauh karena menghambat kemampuan mereka untuk membangun suatu hubungan dan jaringan kerja (netwoking).

Senada dengan Galloway, Elon Musk, sangat menentang konsep bekerja jarak jauh. CEO Tesla ini mengatakan, “Bekerja jarak jauh salah secara moral.”

Ia membandingkan, pekerja yang membuat mobil tetap pergi ke pabrik untuk bekerja, begitu pula pekerja pengantar makanan atau pekerja yang memperbaiki rumah. “Apakah mereka bisa bekerja dari rumah dan makanan sampai di mejamu?”

Selama awal pandemi, Tesla mengadopsi kebijakan kerja jarak jauh untuk pekerja kantoran, namun pekerja pabrik masih diharuskan datang ke pabrik untuk melakukan pekerjaan mereka.

Header Diajeng Kerja Jarak Jauh Gen Z

Header Diajeng Kerja Jarak Jauh Gen Z. foto/istockphoto

Berbeda dengan pemikiran Suzy Welch dan Galloway, Psikolog dan Career Coach, Patricia Yuanila, M.Psi, mengatakan, “Saat ini era remote working, ada perusahaan yang memang mengizinkan WFO dan Work From Anywhere, pasti karyawan termasuk Gen Z memilih yang paling nyaman yaitu WFA.”

Ia menambahkan, Gen Z yang memilih remote working punya kesempatan yang sama dengan mereka yang bekerja dari kantor untuk menjadi CEO.

“Tergantung orangnya, jika ia dibekali pendidikan bagus, memiliki leadership dan dapat mengatur semuanya, punya ide baru dan menawarkan solusi atau perubahan yang lebih baik, Gen Z pun bisa jadi CEO,” jelas Lala.

Meski demikian, ia menjelaskan, bekerja jarak jauh tidak bisa diterapkan di semua pekerjaan. Ada pekerjaan-pekerjaan yang tetap membutuhkan kehadiran fisik atau hasil yang optimal dengan tatap muka langsung.

“Contohnya, dokter, pekerjaan konsultasi, pekerjaan yang berbasis jasa, tidak bisa dikerjakan secara daring,” jelas Lala.

Meski banyak yang memilih WFA, sebenarnya pekerja jarak jauh lebih rentan terimbas PHK, karena beberapa perusahaan mulai mengalihdayakan suatu pekerjaan ke negara lain.

Misalnya saja, perusahaan Australia kini sudah banyak mengalihdayakan pekerjaan seperti IT, keuangan dan staf support kepada pekerja di India yang dibayar lebih murah. Pekerja India mempunyai kelebihan fasih berbahasa Inggris dan perusahaan hanya membayar 10%-15% dari gaji pekerja Australia.

Gen Z yang memilih bekerja jarak jauh, juga harus memahami adanya kedekatan bias, kecenderungan perusahaan untuk lebih mengutamakan mereka yang bekerja di kantor secara fisik.

Sulit untuk mengatasi bias ini ketika bicara penilaian kinerja, promosi dan bahkan pemutusan hubungan kerja.

Hal yang tak kalah penting, yang dilewatkan Gen Z saat memilih bekerja jarak jauh adalah kesempatan mentoring secara langsung dari para ahli yang telah berpengalaman. Bimbingan ini dapat mereka dapatkan saat bekerja di kantor. Mentor sangat penting bagi karier mereka.

Tanpa memiliki mentor, karyawan pemula akan menghadapi tujuan karier yang tidak pasti.

“Gen Z sangat ingin tahu, ingin berkembang berambisi untuk sukses namun mereka perlu panduan dan pembimbing,” ungkap Cortney Erin, VP of global talent acquisition of Adobe.

Oliver Pour, seorang lulusan tahun 2022 menyatakan, “Orang ingin tumbuh secara cepat dan mentorship atau terkoneksi dengan manajer dan direktur dalam level personal adalah hal yang sangat penting.”

Bagaimanapun juga cara orang bekerja baik itu remote working maupun dari kantor bukanlah jaminan seseorang akan sukses menapaki puncak karier.

Jenis pekerjaan dan kebijakan masing-masing kantor juga menjadi faktor penentu. Akan lebih baik jika karyawan terus belajar keterampilan dan wawasan baru agar pekerjaannya tidak dapat digantikan oleh orang lain atau kecerdasan buatan.

Baca juga artikel terkait DIAJENG atau tulisan lainnya dari Daria Rani Gumulya

tirto.id - Diajeng
Kontributor: Daria Rani Gumulya
Penulis: Daria Rani Gumulya
Editor: Lilin Rosa Santi