Menuju konten utama

Selamat Datang Era "Gadis Siput"

Tren gadis siput menekankan gaya hidup lambat, perlawanan terhadap budaya hiruk pikuk atau tempat kerja toxic dengan tuntutan kerja berjam-jam.

Selamat Datang Era
Header diajeng Girl Boss. tirto.id/Quita

tirto.id - Tidak bisa dimungkiri lagi, kini kita hidup di dunia yang serba cepat. Siapa pun itu seakan dituntut untuk berlari, sementara yang tertatih akan tertinggal.

Gegap gempita ini hampir terjadi di semua lini kehidupan, tak terkecuali dunia kerja yang kemudian hari melahirkan sebuah gaya hidup bernama hustle culture.

Gaya hidup itu mengacu bahwa selalu ada lebih banyak hal yang harus diperjuangkan, termasuk lebih banyak uang yang dihasilkan, gelar atau promosi jabatan lebih tinggi yang harus diraih, serta lebih banyak lagi pencapaian untuk digapai.

Secara khusus, perempuan yang punya ambisi untuk mencapai hal-hal di atas bahkan punya label tersendiri: girl boss.

Seorang girl boss digambarkan memiliki kemampuan mumpuni yang mendominasi bidangnya masing-masing, berdaya dan mampu mendobrak batasan-batasan yang membuat perempuan tidak hanya akan berkembang secara profesional namun juga mendapatkan keuntungan pribadi dan kesehatan.

Namun seiring berjalannya waktu, budaya hiruk pikuk itu menjadi identik dengan kelelahan, jam kerja yang tidak ada habisnya, serta kaburnya batasan pribadi dan profesional.

Header diajeng Girl Boss

diajeng Girl Boss. (FOTO/iStockphoto)

Gebrakan baru lagi-lagi tercipta gara-gara ketidakpuasan akan kurangnya keseimbangan antara dunia kerja dan kehidupan pribadi. Gebrakan ini lantas menandai kematian era girl boss yang tergantikan dengan era gadis siput (snail girl era).

Sesuai namanya, tren yang sedang berkembang ini menekankan dan mengutamakan gaya hidup yang lebih lambat, ketenangan, bahagia, dan peduli diri sendiri dibandingkan budaya hiruk pikuk dengan segala kesibukan dan ambisi yang tiada henti.

Konsep gadis siput ini dicetuskan oleh Sienna Ludbey. Ia merupakan seorang desainer dan pendiri toko bernama Hello Sisi yang menjual tas dan aksesori buatan tangan.

Dalam tulisannya berjudul "'Snail girl era': Why I'm slowing down and choosing to be happy rather than busy" untuk Fashion Journal, Ludbey mengaku pernah merasa kecanduan untuk terus mengejar kesuksesan.

Namun di satu sisi ia juga merasakan tekanan terus-menerus untuk dianggap sukses dan terlihat sibuk.

Segalanya berubah setelah pandemi berakhir. Ada momen yang membuatnya tersadar bahwa kehidupan yang memiliki tujuan tidak selalu dikaitkan dengan kesuksesan.

"Girl boss telah mati dan era gadis siput-ku telah dimulai," tulis Ludbey dalam artikelnya.

Alih-alih mengejar dan berkutat dengan kesibukan, Ludbey mengatakan kalau seorang gadis siput akan meluangkan waktunya dan berkreasi.

Gadis siput tidak akan terlalu peduli meski dunia bergerak dengan cepat dengan perubahannya dan tidak mencoba untuk berlomba dengan orang lain.

Generasi Z disebut sebagai generasi yang merasa "terpanggil" dengan konsep gadis siput ini.

Setelah Fashion Journal membagikan artikel Ludbey di platform TikTok dalam versi video, unggahan itu telah ditonton lebih dari 32.000 kali.

Pengguna platform, utamanya para gen Z yang terinspirasi dengan unggahan pun merespons-nya dengan membuat video gadis siput versi mereka sendiri. Misalnya saja seperti berbagi rutinitas pagi yang menenangkan, berjalan-jalan di alam, minum teh, atau perawatan kulit.

Header diajeng Girl Boss

diajeng Girl Boss. (FOTO/iStockphoto)

Jennifer Luke, seorang peneliti yang berspesialisasi dalam pengembangan karier di University of Southern Queensland, mengatakan tidak terkejut dengan berkembangnya konsep gadis siput.

Menurutnya, semua kembali pada fakta bahwa orang-orang sudah kehabisan tenaga. Sehingga tren gadis siput menjadi contoh perlawanan budaya hiruk pikuk atau tempat kerja toxic dengan tuntutan kerja berjam-jam dan selalu siap sedia.

Apalagi gen Z bisa dibilang merupakan generasi yang peduli dengan keseimbangan antara kehidupan pribadi dan kerja. Itu juga salah satu hal utama yang diingini oleh para gen Z.

Sebuah survei yang dilakukan oleh perusahaan konsultan Deloitte terhadap lebih dari 22.000 Gen Z dan milenial di seluruh dunia menemukan ada keinginan kuat di antara generasi itu untuk mencapai keseimbangan kerja yang lebih baik.

Generasi Z (lahir antara tahun 1997 dan 2012) yang masuk dunia kerja, bahkan tidak segan-segan bertanya tentang keseimbangan kehidupan kerja saat wawancara kerja.

Meski para gen Z ini mulai bekerja di tengah persaingan kerja yang tepat, mereka tahu kekuatan yang mereka miliki dan banyak yang tidak ingin mengambil jalur tradisional seperti pendahulunya: budaya jam 9 pagi sampai jam 5 sore.

Tetapi ada kekhawatiran tersendiri di balik pilihan gaya hidup gadis siput yang dapat menimbulkan konsekuensi di kemudian hari. Dengan memilih untuk melambat, bisa diartikan bahwa gaya hidup itu tidak akan mendukung akselerasi karier dan kemungkinan mempunyai konsekuensi finansial di masa depan.

Namun kekhawatiran itu dijawab oleh Victoria McLean, CEO dan pendiri konsultan karier City CV dan CEO Hanover Talent Solutions.

Menurutnya, seseorang yang melambat memiliki keseimbangan kehidupan kerja yang malah merupakan aspek penting dari karier karena memungkinkan seseorang menjadi lebih produktif.

Itu juga cara yang baik untuk mencegah kelelahan dan stres sehingga secara keseluruhan hidupnya merasa lebih puas.

Toh, Ludbey juga menambahkan bahwa menjadi gadis siput bukan berarti bersantai atau bermalas-malasan di tempat kerja atau berhenti bekerja sepenuhnya, melainkan tidak perlu terlalu keras pada diri sendiri dan mengutamakan keseimbangan kehidupan serta pekerjaan.

Dan yang perlu digarisbawahi, hal ini tidak mengurangi ambisi perempuan. Sebaliknya tren ini menjadi penanda bahwa pekerjaan tidak harus menjadi perjuangan terus menerus untuk membuktikan kelayakan.

“Anggap saja ini sebagai waktu untuk mengutamakan diri sendiri, menetapkan batasan pribadi dan profesional, dan melindungi kedamaian Anda,” tambahnya.

Jadi McLean pun memberi solusi, alih-alih memilih salah satu, seseorang bisa saja menjalani kedua peran tersebut sekaligus, menjadi girl boss tapi juga bersikap baik kepada diri sendiri seperti gadis siput.

"Kedua pendekatan itu tidak harus eksklusif. Menggabungkan keduanya, malah mungkin memberi Anda karier yang berkelanjutan dan memuaskan," katanya.

Di dunia yang serba-instan, penting untuk mengingat bahwa karier adalah sebuah marathon bukan lari cepat. Sehingga melambat bukan berarti akhir dari karier dan impian seseorang.

Dan yang lebih penting lagi, seseorang harus memiliki akses terhadap profesi yang bebas stres dan kesempatan untuk menjalani kehidupan pribadi yang ditandai dengan kepuasan, terlepas apa pun gendernya.

Baca juga artikel terkait DIAJENG atau tulisan lainnya dari MN Yunita

tirto.id - Diajeng
Kontributor: MN Yunita
Penulis: MN Yunita
Editor: Lilin Rosa Santi