Menuju konten utama
Pembatasan Media Sosial

Perlindungan Anak di Dunia Maya: Penting, tapi Jangan Berlebihan

Regulasi digital yang over-protective, bisa membuat generasi muda lemah secara pengetahuan dan kemampuan digital.

Perlindungan Anak di Dunia Maya: Penting, tapi Jangan Berlebihan
Ilustrasi Influencer. FOTO/iStockphoto

tirto.id - Upaya pemerintah untuk membuat aturan internet ramah anak terus berpacu dengan waktu. Menteri Komunikasi dan Digital (Menkomdigi), Meutya Hafid, menjelaskan sesuai mandat Presiden Prabowo Subianto regulasi ini ditargetkan rampung dalam satu sampai dua bulan. Hal ini dia paparkan awal Februari 2025 lalu.

Pada 12 Februari 2025, Komdigi menggelar dialog dengan sejumlah Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE) seperti Google (termasuk YouTube), TikTok, Vidio, Meta, serta perwakilan industri gim, fintech, transportasi, juga asosiasi industri digital dan teknologi. Diskusi tersebut, berdasar keterangan resmi Komdigi, adalah upaya, mengumpulkan masukan terkait penyusunan regulasi tata kelola perlindungan anak di ruang digital.

Komdigi juga menyebut diskusi dengan para pelaku industri digital tersebut mencakup berbagai isu strategis. Mulai dari batas usia minimum bagi anak untuk membuat akun dan mengakses platform digital secara mandiri sampai dengan klasifikasi layanan digital berdasar tingkat risikonya. Ada juga pembahasan soal mekanisme verifikasi usia pengguna dan penerapan fitur yang ramah anak.

"Kami ingin memastikan bahwa regulasi ini bisa berjalan dengan baik dan memberikan perlindungan yang optimal bagi anak-anak. Oleh karena itu, keterlibatan berbagai pihak sangat penting agar kebijakan yang disusun tidak hanya komprehensif, tetapi juga bisa diimplementasikan dengan efektif," ujar Direktur Jenderal Pengawasan Ruang Digital Komdigi, Alexander Sabar, mengutip siaran pers Komdigi.

Sementara itu dua hari sebelumnya, Meutya bertemu dengan Wakil Presiden Kebijakan Publik YouTube, Leslie Miller, di Kantor Google Paris. Pada kesempatan itu dia menyampaikan kepada Google soal paparan konten berbahaya bagi anak, secara khusus soal pornografi dan perjudian online.

Rapat penguatan regulasi perlindungan anak dalam ruang digital

Menteri Komunikasi dan Digital (Menkomdigi) Meutya Hafid (tengah) menyampaikan paparannya saat memimpin rapat bersama pemangku kepentingan terkait pembahasan kajian penguatan regulasi perlindungan anak di ruang digital, di Kantor Kementerian Komdigi, Jakarta, Kamis (6/2/2025). Menkomdigi menyampaikan pemerintah tengah memprioritaskan pembentukan regulasi perlindungan anak di dunia digital sebagai upaya mengatasi berbagai risiko yang mengancam generasi muda di ruang maya. ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso/nym.

Data dari National Center for Missing and Exploited Children menunjukkan bahwa Indonesia termasuk dalam empat besar negara dengan kasus pornografi anak tertinggi di dunia. Sementara itu, laporan dari Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) mengungkapkan bahwa pemain judi online usia di bawah 10 tahun mencapai dua persen dari pemain, dengan total 80.000 orang.

"Kami mengharapkan kerja sama dari Google untuk memastikan lingkungan online yang lebih aman bagi anak-anak Indonesia," ujar Meutya.

Sebagai perwakilan pihak Google, Leslie menyebut Indonesia sebagai salah satu pasar terbesar YouTube salah satu platform di bawah mereka. Oleh karenanya mereka siap mendukung inisiatif pemerintah Indonesia untuk menjaga ruang aman bagi anak, meski tidak merinci dengan jelas bentuknya.

Kepada Tirto, Direktur Informasi dan Komunikasi Politik Hukum dan Keamanan Ditjen Informasi dan Komunikasi Publik (IKP) Komdigi, Maroli J Indarto, menjelaskan perlindungan anak di ranah digital, akan diatur dalam Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Tata Kelola Perlindungan Anak dalam Penyelenggaraan Sistem Elektronik.

“Jadi RPP ini pada prinsipnya akan memberikan perlindungan kepada anak di ruang digital. Masalah nanti anaknya usia berapa, teknisnya seperti apa, itu kita masih dibahas dengan tim transisi lintas kementerian. Sekarang kita dalam posisi menyerap aspirasi mereka, masih melakukan diskusi dan kajian,” terangnya ketika bertemu dengan Tirto, Kamis (13/2/2025).

Dia juga mengatakan kalau nantinya yang akan diatur terkait dengan pemanfaatan teknologi yang bisa mendeteksi yang mengakses konten apakah anak atau bukan. Regulasi ini akan mengatur semua PSE, lebih spesifiknya semua aplikasi yang memungkinkan penggunanya membuat akun.

"Teknisnya belum terbayang, tapi kalau posisi platform, mereka akan menyediakan fitur yang adaptif dengan regulasi pemerintah," terangnya.

Jangan Sampai Hambat Daya Saing Anak

Direktur Eksekutif ICT Watch, Donny Budhi Utoyo, menyebut RPP Tata Kelola Perlindungan Anak di PSE sangat penting. Dia menjabarkan dampak negatif di internet itu bisa dalam wujud konten negatif, perundungan daring, eksploitasi seksual (dalam bentuk sexting), kecanduan gawai, penipuan dan phising, pencurian data pribadi, serta depresi.

“Data dari berbagai sumber menunjukkan bahwa anak-anak di Indonesia semakin rentan terhadap sejumlah dampak negatif dari teknologi digital,” ujarnya kepada Tirto, Kamis (13/2/2025).

Oleh karena itu, menurut dia, RPP yang disusun harus mengadopsi pendekatan yang komprehensif dari hulu ke hilir. Mulai dari perumusan kebijakan dan regulasi di hulu, penguatan infrastruktur digital seperti verifikasi usia dan peningkatan literasi digital pada tahap implementasi, dan pengawasan, evaluasi, serta penegakan hukum di hilirnya. Penting juga untuk memahami ke arah mana landasan regulasi ini.

“Apakah lebih pada unsur ingin mendorong peran para pihak dalam memberikan kemampuan literasi digital kepada anak agar aman di dunia digital, ataukah melakukan pembatasan akses ke ranah digital secara technology-driven. Ibaratnya, ingin mengajarkan anak berenang agar tetap bisa hati-hati tidak tenggelam, atau sekedar ingin membangun pagar di sepanjang sungai yang entah mana ujung pangkalnya,” tambah dia.

Regulasi digital yang over-protective, menurut Donny, bisa membuat generasi muda lemah secara pengetahuan dan kemampuan digital. Hal ini menjadi krusial mengingat Indonesia makin dekat dengan bonus demografi pada 2035.

Dalam catatan Donny, setidaknya sudah ada sembilan negara yang mengimplementasikan regulasi soal pembatasan usia mengakses konten internet. Di negara seperti Korea Selatan, Tiongkok, Jepang (prefektur Kagawa), Vietnam dan Uni Emirat Arab, implementasinya fokus pada pembatasan terhadap permainan gim online di gawai. Sementara di negara seperti Australia, Amerika Serikat, Inggris, dan beberapa negara Uni Eropa, implementasinya ke pembatasan/pelarangan media sosial ke usia tertentu.

ilustrasi media sosial

Kelompok perempuan duduk di sofa dan menggunakan handphone. FOTO/iStockphoto

Namun, dari negara-negara yang sudah menerapkan aturan tersebut pun masih ada tantangan di tahap implementasi. Kasus anak melakukan pemalsuan usia, ataupun anak-anak menghindari pembatasan dengan menggunakan akun orang tua atau VPN banyak ditemukan. Selain itu pengawasan yang dilakukan orang tua juga kurang efektif. Sementara terkait penegakan regulasi akan sulit dilakukan jika tidak melanggar privasi, misalnya dengan melakukan rekognisi wajah.

“Perlu diingat, perilaku, kebiasaan dan kebutuhan terhadap teknologi digital tentu tidak bisa disamakan dari suatu masyarakat di sebuah negara dengan negara lainnya,” tambah Donny.

Kepala Divisi Akses Internet SAFEnet, Unggul Sagena, menyebut tantangan tersebut juga yang akan menjadi tantangan untuk Komdigi dalam menyusun regulasi.

"Karena akan ada kemungkinan peraturan menjadi tidak efektif misalnya ada upaya memanipulasi umur, menghindari blok dan sensor dengan beragam metode. Baik dari pihak ketiga atau utak atik dari sesama mereka (remaja) misalnya, saat ini sudah banyak yang cukup mumpuni untuk menjebol sistem. Jadi akan lebih efektif mengoptimalkan peran platform sebagai yang bertanggung jawab untuk mengadakan metode pembatasan terhadap usernya, melalui standard komunitas serta metode verifikatif yang ada," terangnya kepada Tirto, Jumat (14/2/2025).

Dia juga menyebut pentingnya peran guru dan orang tua dalam mengedukasi anak agar terhindar dari konten ilegal bagi mereka ataupun paparan child sexual abuse material (CASM). Lebih lanjut, menurut Unggul, tidak akan sulit bagi platform, terutama media sosial untuk menerapkan aturan ini nantinya. Platform seperti YouTube sudah punya aturan soal keselamatan/perlindungan anak.

"PR-nya adalah memahami RPP nanti mau mengatur apa, teknologinya kah? Mekanismenya kah? Platform lain seperti Meta, yang punya banyak aplikasi seperti Instagram, Facebook, bahkan WhatsApp, bagaimana mengaturnya? Juga X (Twitter) yang saat ini sulit sekali diatur," terangnya.

Baca juga artikel terkait MEDIA SOSIAL atau tulisan lainnya dari Alfons Yoshio Hartanto

tirto.id - News
Reporter: Alfons Yoshio Hartanto
Penulis: Alfons Yoshio Hartanto
Editor: Anggun P Situmorang