tirto.id - Kasus MAS (14), remaja yang menjadi tersangka pembunuhan ayah dan neneknya sendiri kini menjadi perbincangan hangat di masyarakat. Tak hanya membunuh RM (69) neneknya, dan ayahnya APW (40), remaja laki-laki yang duduk di bangku SMA ini juga melukai AP (40) yang tak lain merupakan ibu kandungnya.
Polres Jakarta Selatan menjerat MAS dengan Pasal 388 KUHP tentang pembunuhan subsider 351 KUHP. Sebagai anak yang berhadapan dengan hukum (ABH), kasus MAS memunculkan tanya mendasar, mengapa seorang anak tega melukai bahkan membunuh keluarganya sendiri?
Jawabannya tidak mudah untuk dipecahkan secara sederhana. Kepala Biro Psikologi dari Rumah Cinta, Retno Lelyani Dewi, menyatakan pada dasarnya, seorang anak atau remaja tidak bakal tega berbuat sadis bahkan sampai membunuh orang-orang terdekatnya. Tetapi, jika tragedi semacam itu terjadi, maka penyebabnya dapat ditinjau dari berbagai sisi.
Pertama, kata Retno, perlu memastikan kondisi psikologis ABH bersangkutan. Bila keluarga dari anak atau remaja tersebut memelihara kultur kekerasan berulang secara verbal, psikis, dan fisik, bisa jadi anak memiliki hasrat untuk membalas apa yang dialaminya. Hal itu dapat memantik perbuatan sadis atau tindakan kekerasan anak yang dipantik kultur kekerasan di keluarga yang berulang-ulang dilakukan.
Selain itu, Retno meyakini perlu dilakukan pemeriksaan riwayat genetik dari orang tua ABH. Metode ini juga dapat digunakan untuk menemukan kemungkinan anak atau remaja yang bersangkutan mengalami gangguan psikologis. Misalnya gangguan kecemasan, serangan panik, kepribadian antisosial, atau bahkan kondisi psikosis.
“Seperti skizofrenia, bipolar, gangguan delusi, dan halusinasi. Lalu, secara psikologis perlu diperiksa pola pengasuhan dalam keluarga. Apakah pengasuhan yang ada menimbul konflik berulang dan terus menerus,” jelas Retno kepada reporter Tirto, Selasa (2/12/2024).
Penting juga untuk memeriksa aspek sosial dari anak atau remaja yang menjadi ABH. Mulai dari relasi sosial pada sekolah, lingkungan rumah, dan lingkungan media sosial.
Menurut Retno, jika seorang anak sering dilaporkan terlibat dalam aksi tawuran, ada peluang memicu seorang siswa melakukan kekerasan bahkan perbuatan sadis. Adapun lingkungan sosial dalam hal ini meliputi relasi pertemanan: secara nyata atau di media sosial. Media sosial, dinilai memiliki potensi sebagai inspirasi berbagai cara sadis untuk meluapkan kemarahan.
Retno menyoroti pentingnya pengaruh keluarga untuk menjaga kesejahteraan mental dan emosional anak. Pola asuh seperti penelantaran fisik dan psikis, turut akan mempengaruhi anak. Misal, jika anak hanya diberikan pemenuhan fisik tanpa meliputi kesejahteraan psikis, akan membuat anak merasa 'haus'. Jika rasa haus anak tidak terpenuhi, jelas Retno, anak akan mudah marah, berlaku kasar, dan melampiaskan emosinya kepada orang lain.
“Selain aspek tadi, perlu diperiksa apakah ABH ada riwayat penyalahgunaan obat, termasuk narkoba, atau kecanduan alkohol,” terang Retno.
Diberitakan sebelumnya, MAS (14) yang menikam ayah dan neneknya hingga tewas dan turut melukai ibunya di Cilandak, Jakarta Selatan, pekan lalu, ini sudah mengaku menyesal dan menangis ketika diperiksa polisi. Sebab saat diperiksa usai kejadian pembunuhan, MAS bungkam dan memberikan tanda belum dapat diajak berkomunikasi. Belakangan, MAS juga mengaku kepada polisi, ia mendengar bisikan sebelum membunuh ayah dan neneknya.
Mendalami Relasi Sosial
Peneliti psikologi sosial dari Universitas Indonesia (UI), Wawan Kurniawan, menjelaskan terdapat konsep modeling (peniruan perilaku) dan social learning theory (teori pembelajaran sosial) yang menjelaskan bahwa anak belajar dari lingkungan sekitarnya: termasuk pada media, keluarga, serta komunitas.
Paparan terhadap kekerasan, kata Wawan, baik secara langsung maupun tidak langsung akan menurunkan sensitivitas terhadap penderitaan orang lain dan menormalisasi perilaku sadis dan tindakan kekerasan.
Pola asuh memiliki peran signifikan dalam pembentukan perilaku anak. Pola asuh orang tua yang otoriter atau permisif, mendorong agresivitas anak sebab kurangnya batasan tanggung jawab yang sehat. Adapun minimnya perhatian emosional akan membuat anak merasa tidak dicintai, yang turut meningkatkan risiko perilaku destruktif.
Untuk mencegah anak menormalisasi kekerasan, orang tua perlu menerapkan pola asuh berbasis empati. Hal ini perlu diupayakan dengan turut membatasi paparan terhadap media yang menormalisasi kekerasan. Orang tua juga perlu mengajarkan keterampilan mengelola emosi anak.
Di sisi lain, masyarakat punya peran menciptakan lingkungan sosial yang aman dan penuh toleransi. Lingkungan sosial juga mampu memberikan edukasi tentang dampak kekerasan di rumah tanggap. Pendekatan relasi sosial semacam ini dapat membentuk nilai kemanusiaan dan mencegah perilaku agresif sejak dini.
“Selain itu, pendampingan psikologis sangat penting bagi ABH untuk membantu memahami kondisi psikologis mereka, memulihkan trauma, dan mengembangkan empati serta keterampilan pengelolaan emosi,” ungkap Wawan.
Polisi Harus Hati-hati
Ahli psikologi forensik, Reza Indragiri Amri, menyatakan polisi harus lebih jeli dan berhati-hati dalam memproses pengakuan MAS. Pasalnya, halusinasi auditori berupa bisikan, kerap jadi lubang jarum pelaku kejahatan untuk meloloskan diri dari pertanggungjawaban hukum. Akan disayangkan jika pelaku kejahatan justru memanfaatkan Pasal 44 Ayat 1 KUHP untuk lepas dari jeratan hukum.
Reza mengingatkan pelaku kejahatan yang berakting sebagai orang yang alami gangguan kejiwaan membuat aparat penegak hukum berpotensi memberikan keputusan yang salah dan tidak adil terhadap korban. Siasat kejahatan ini bisa diistilahkan sebagai malingering.
Ia menilai dalam kasus MAS, ada baiknya polisi mendalami lima sistem pemeriksaan terhadap ABH. Meliputi pemeriksaan terhadap penggunaan narkoba dan zat terlarang, adanya fantasi kekerasan, pola amarah, aktivitas pendidikan, hingga relasi sosial anak atau remaja.
“Penelaahan kelima hal itu tadi, diharapkan dapat menyimpulkan faktor yang paling dominan yang melatarbelakangi perilaku nakal atau jahat pada ABH,” kata Reza kepada reporter Tirto, Selasa (3/12/2024).
Sementara itu, Program Manager Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Adhigama Budiman, menyayangkan bentuk stigma dan narasi penjatuhan hukuman yang berat bagi ABH.
Menurutnya, publik masih memunculkan stigma terhadap ABH – dalam kasus ini MAS (14) – bahkan mendorong dilakukan pidana mati. Narasi untuk menghukum anak lebih berat seharusnya tidak diamini aparat penegak hukum, apalagi diterapkan dalam proses hukum yang berjalan terhadap MAS.
Aparat Penegak Hukum harus tetap berpegang teguh pada peraturan perundang-undangan yang berlaku khususnya UU Nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA). Maka aparat penegak hukum beserta jajarannya wajib mengimplementasikan UU SPPPA seharusnya mampu mengidentifikasi akar masalah dengan mengedepankan prinsip kepentingan terbaik bagi anak.
Adhigama menjelaskan berbagai penelitian yang komprehensif lewat metode meta-analisis membuktikan tidak ada faktor tunggal yang menjadi alasan anak melakukan kekerasan.
Apabila ditinjau lebih lanjut, kata dia, perilaku kekerasan yang dilakukan anak dalam kasus ini merupakan salah satu bentuk perilaku agresif anak, yaitu perilaku untuk menyakiti orang lain secara fisik, verbal, maupun psikologis.
Dengan kompleksnya faktor yang mempengaruhi tindakan kekerasan yang dilakukan ABH, maka ICJR menilai kasus ini perlu ditinjau lebih komprehensif dan tidak mengedepankan pemidanaan.
Aparat penegak hukum harus memastikan bahwa setiap keputusan yang berdampak pada ABH didasarkan pada kepentingan terbaik bagi anak. Hal itu dilakukan dengan kolaborasi antara APH, Pembimbing Kemasyarakatan, Pekerja Sosial dan berbagai pihak yang terkait dalam penanganan ABH sesuai dengan UU SPPA.
“Para pihak juga perlu memastikan ketersediaan penelitian masyarakat (litmas) yang berkualitas dan hasil penelitian yang substansial. Selain itu, pendampingan hukum dan non-hukum yang proporsional penting diperhatikan,” kata Adhigama kepada Tirto, Selasa (3/12/2024).
Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Dian Sasmita, menegaskan penting dan wajib aparatur hukum negara mentaati aturan yang ada dalam UU SPPPA. Aturan itu dibuat untuk menghormati hak-hak asasi anak yang berhadapan hukum. Maka jika dalam tahapan pertama dari proses hukum sudah abai hak anak, potensi kerentanan anak akan kian berlipat-lipat sepanjang proses hukum berjalan
Semangat SPPPA adalah menghindarkan dampak negatif dari peradilan pidana konvensional yang banyak kekerasaan dan menambah tekanan psikis anak. Situasi pemidanaan itu justru memperburuk tumbuh kembang anak.
Pendekatan keadilan restoratif, kata Dian, juga akan memastikan empat prinsip dasar hak anak terpenuhi. Yakni non-diskriminasi, kepentingan terbaik anak, hidup tumbuh dan berkembang anak, dan mendengar pendapat anak.
“Bukan lagi kita melabeli salah A, B, atau C, yang perlu dijadikan prioritas adalah bagaimana pemerintah mengurangi risiko keluarga rentan agar anak-anaknya dapat pengasuhan yang lebih baik,” ucap Dian kepada reporter Tirto, Selasa.
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Bayu Septianto