Menuju konten utama
16HAKTP

Menyelami Kekuatan Perempuan Penyintas Kekerasan Melalui Film

Diajeng merekomendasikan empat film yang mengangkat isu kekerasan seksual terhadap perempuan dengan semangat kesembuhan dan kebangkitan.

Menyelami Kekuatan Perempuan Penyintas Kekerasan Melalui Film
Header diajeng Rekomendasi Film Anti Kekerasan terhadap Perempuan. tirto.id/Quita

tirto.id - Film telah lama menjadi medium yang mampu menyampaikan isu-isu kompleks dengan cara yang lebih sederhana dan menyentuh hati.

Lewat visual, narasi, dan emosi yang mendalam, film dapat menjadi alat untuk menyuarakan pengalaman korban kekerasan, termasuk memunculkan empati dan kesadaran dari publik atau penonton.

Permasalahannya, tidak semua film tentang kekerasan terhadap perempuan dibuat dengan perspektif korban.

Ada beberapa film yang dibuat dengan male gaze, cara pandang laki-laki heteroseksual terhadap perempuan yang diposisikan secara visual sebagai “objek”.

Di Indonesia, kamu mungkin masih ingat dengan film Vina: Sebelum 7 Hari (2024) yang sempat viral beberapa bulan lalu.

Film ini mengundang kontroversi. Menurut sejumlah pengkritik, dari poster promo film sampai isi cerita keseluruhan sudah membingkai femisida terhadap Vina secara eksploitatif.

Meski begitu, bukan berarti tidak ada film-film seputar isu kekerasan terhadap perempuan yang mampu menyampaikan pesannya dengan baik dan bijak.

Berikut adalah rekomendasi empat film dari Diajeng yang mengangkat isu kekerasan terhadap perempuan dengan semangat kesembuhan dan kebangkitan.

Topik-topiknya beragam, dari trauma, stigma sosial, hingga perjuangan membangun kembali kehidupan.

Semoga contoh-contoh berikut dapat menjadi pertimbangan bagi kita semua untuk meningkatkan ilmu dan semangat advokasi dalam melawan kekerasan, ya!

27 Steps of May

Ravi L. Bharwani | Indonesia | 112 menit | 2018 | Drama

Peringatan sebelum menonton: Aksi menyakiti diri sendiri atau self-harm

Film ini mengisahkan May (Raihaanun), yang terperangkap dalam trauma setelah ia menjadi korban kekerasan seksual saat berusia 14 tahun.

Delapan tahun kemudian, ia masih mengunci diri di kamar, menjalani hari dengan rutinitas yang monoton.

Setiap hari, May berolahraga lompat tali, menyetrika baju-baju polosnya dengan teliti, dan menyiapkan boneka untuk dijual oleh bapaknya (Lukman Sardi).

Sepanjang film, May hampir tak berbicara. Tatapannya kosong, wajahnya pucat. Ia pakai baju yang itu-itu saja. Warna sepatu yang ia kenakan serupa dengan makanan yang ia makan, putih semua tanpa ada warna lain.

May tak pernah keluar rumah. Jarak terjauh yang ia tempuh hanyalah dari kamarnya menuju ruang makan.

Bapak juga hampir tidak pernah ke kamar May, selain untuk menyiapkan meja sebagai alat produksi boneka.

Ketika ada indikasi kebakaran di komplek perumahan, May menolak keluar, bahkan mesti ditarik-tarik paksa oleh bapaknya.

Pemaksaan itu justru memunculkan memori kelam masa lalunya. Ia begitu tertekan dan sampai menyakiti dirinya sendiri.

Tindakan May membuat bapaknya merasa bersalah dan bingung harus berbuat apa.

Bapak merasa tidak bisa menjaga anak perempuannya yang kala itu masih remaja. Dalam kebingungannya, ia melepaskan emosinya dengan bertinju.

Film tidak terus-menerus menggambarkan keterpurukan May. Alur cerita juga tidak berkutat berbelit-belit soal kefrustrasian seorang bapak mendampingi anaknya.

Naskah dari Rayya Makarim dan penyutradaraan Ravi ini tidak memiliki intensi untuk membuat May, sebagai korban kekerasaan, semakin menderita dan tidak berdaya.

Pada pertengahan dan ujung film, May menemukan “magic” dan akhirnya memutuskan untuk berbicara pertama kali kepada Bapak.

Cari tahu sendiri May akan berbicara apa.

Film ini bisa ditonton di Netflix.

To Kill a Tiger

Nisha Pahuja | India | 127 menit | 2022 | Dokumenter

Peringatan sebelum menonton: Pemojokan korban kekerasan seksual, pemerkosaan anak

Di India, diperkirakan lebih dari 90 persen kasus kekerasan seksual tidak dilaporkan.

Alasannya tak lain karena korban dan keluarganya merasa takut atau malu untuk melapor.

Selain itu, tradisi patriarki yang masih dominan juga bikin kasus-kasus kekerasan, termasuk yang bersifat seksual, cenderung lebih sering diselesaikan di luar jalur hukum.

Hal tersebut terlihat dalam film dokumenter To Kill a Tiger.

Perjuangan Bapak (Ranjit), dalam melaporkan kasus anaknya yang diperkosa oleh tiga orang pemuda, begitu langka.

Bahkan, aktivis di film ini menyebut tindakan Ranjit sebagai yang pertama kali dalam kasus pemerkosaan anak.

Di desa tempat Ranjit tinggal di Jharkhand, warga sulit menerima kenyataan bahwa seorang bapak harus berjuang dalam jalur hukum demi membela anaknya. Biasanya, jalan keluarnya adalah menikahkan korban dengan pelaku.

Dari Camat hingga pejabat DPRD, upaya Ranjit acap kali dipandang sebelah mata. Pejabat-pejabat ini lebih memilih mengikuti arus pemikiran mayoritas warga desa demi “menjaga ketenteraman”.

Pendekatan dokumenter dalam film ini menambah ketegangan yang mendalam. Dalam salah satu adegan, warga terlihat marah besar karena tim dokumenter terus mendataingi desa mereka sembari membawa kamera.

Keluarga Ranjit pun makin terpojok, tertekan oleh cercaan dari tetangga yang terdengar memekakkan telinga. Suasana semakin menegangkan ketika ini terjadi tepat sehari sebelum Kiran memberikan kesaksian di pengadilan.

Yang menarik dari pendekatan dokumenter ini adalah bagaimana pembuat film juga ikut mengadvokasi kasus Kiran.

Terlihat dalam adegan Ranjit bertanya balik kepada pewawancara di belakang kamera, apakah tindakan yang ia ambil sudah benar?

Sejauh mana perjuangan mereka dapat membuahkan hasil?

Meskipun diwarnai dengan tekanan dan rintangan, ada satu titik terang yang perlahan muncul. Sebuah akhir yang tak terduga, tetapi memberikan rasa lega.

Film ini bisa ditonton di Netflix.

Shayda

Noora Niasari | Australia, Iran | 117 menit | 2023 | Drama

Upaya seorang perempuan untuk bercerai dari suami abusive acap kali dipayungi oleh badai dahsyat penuh tantangan.

Dalam beberapa kasus, korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) kerap menarik laporannya dan berujung rujuk dengan pasangan.

Di film Shayda, badai itu direpresentasikan lewat hakim yang memutuskan suami Shayda boleh bertemu anaknya, Mona (6), seminggu sekali tanpa pengawasan.

Hal ini terjadi dua minggu sebelum Shayda dan Mona harusnya bersenang-senang merayakan Nowruz, perayaan tahun baru tradisional masyarakat Iran.

Film garapan Noora Niasari ini menggunakan aspek rasio sempit 4:3. Keputusan ini dapat dipahami sebagai ilustrasi betapa terbatasnya ruang gerak ibu dan anak ini.

Dalam keterbatasan di tempat penampungan perempuan di Australia, Shayda dan Mona sebagai warga pendatang asal Iran justru merasa lebih bebas dan didukung oleh perempuan lainnya.

Mereka bisa melakukan hal sesederhana menarikan tarian dan menyiapkan makanan khas Iran tanpa ada kekerasan.

Film ini pada akhirnya lebih fokus pada momen-momen hangat hubungan ibu dan anak.

Momen traumatis, baik pada masa lalu maupun pada masa ketika mereka di tempat penampungan, ditampilkan tanpa eksploitasi berlebihan.

Film ini bisa ditonton di Klik Film.

City of Joy

Madeleine Gavin | Republik Demokratik Kongo, Amerika | 74 menit | 2016 | Dokumenter

Peringatan sebelum menonton: Wawancara detail kejadian kekerasan seksual yang gamblang

Ide ruang aman perempuan di film Shayda, kembali hadir di film City of Joy. Perbedaannya, skala yang ditampilkan di film produksi Republik Demokratik Krongo ini jauh lebih besar dengan korban yang bukan hanya satu orang.

Perang di Kongo menjadikan kasus-kasus pemerkosaan terhadap perempuan sebagai hal lumrah, jika bukan normal.

Pada momen tertentu, genre dokumenter untuk film ini membuat kita berharap bahwa yang terekam di balik lensa kamera itu bukanlah hal yang benar-benar terjadi

Di sisi lain, pendekatan ini membuat kita jadi penuh harap, bahwa realitas yang tersaji bisa lebih banyak direplikasi di belahan dunia lain.

Bagaimana tidak, perempuan-perempuan korban kekerasan seksual di Kongo tersebut bertempat tinggal dan menerima pendidikan yang memberdayakan di satu kawasan dan satu atap, bernama City of Joy.

Ide City of Joy dicetuskan oleh aktivis hak asasi manusia asal Kongo, Christine Schuler Deschryver dan Denis Mukwege Mukengere, beserta penulis naskah drama dari Amerika Serikat, Eve Ensler.

Film ini banyak menyorot motivasi mereka bertiga memproduksi film ini .

Selain itu, film juga fokus pada pengalaman salah satu penyintas yang menjadi murid di City of Joy, Jane.

Di City of Joy, mereka belajar hal-hal yang selama ini acap kali mereka anggap tabu, yaitu pendidikan seks.

Salah satu yang mereka pelajari adalah bagaimana cara berhenti memandang vagina milik sendiri sebagai sebuah organ yang menjijikkan.

Tidak hanya itu, mereka juga belajar cara menyampaikan gagasan secara berani di hadapan banyak orang, hingga soal mempertahankan diri.

Menyaksikan penyintas korban kekerasan seksual berkumpul, mendengarkan beragam kisah pahit dan saling menguatkan, dan menunjukkan semangat tak kenal lelah untuk belajar hal baru, pada akhirnya mampu menebalkan keyakinan kita bahwa semua perempuan, termasuk yang pernah menjadi korban kekerasan, tetaplah manusia yang kuat dan berdaya dalam keadaan apa pun.

Film ini bisa ditonton di Netflix.

Baca juga artikel terkait DIAJENG PEREMPUAN atau tulisan lainnya dari Ahmad Haetami

tirto.id - Film
Kontributor: Ahmad Haetami
Penulis: Ahmad Haetami
Editor: Sekar Kinasih