tirto.id - Apa kamu pernah merasa lelah, sekaligus bertanya-tanya, kenapa selalu ada pemberitaan tentang aksi berlandaskan sentimen terhadap grup tertentu? Misalnya terkait agama, ras, gender dan orientasi seksual, ideologi, sampai moralitas.
Beberapa orang yang mengonsumsi konten tersebut bahkan bisa kalap dan membabi buta lantaran mendapati orang lain menolak sepaham dengannya. Saat orang lain berusaha memaparkan argumennya, mereka akan “terlihat seperti mendengarkan” padahal pikirannya kelayapan ke mana-mana.
“Kebanyakan orang tidak mendengarkan dengan tujuan untuk memahami; mereka mendengarkan dengan niat untuk membalas ucapan lawan bicara,” tutur Stephen R. Covey, penulis buku The Seven Habits of Highly Effective People (1989).
Kutipan dari Covey sangat relevan untuk menjelaskan aksi-aksi kelompok fanatik yang selama ini kerap menghalalkan aneka cara untuk menumpas oposisinya.
Tanpa mau memahami argumen orang yang memiliki perspektif berbeda dan tanpa kehendak mengevaluasi keyakinannya, kalangan seperti ini akan terus berkoar-koar membela yang dipercayai sebagai kebenaran tunggal.
Tentu saja, perkara tak mau mendengarkan bisa kamu temui pada banyak konteks sehari-hari. Dalam rapat kerja di kantormu, relasi orangtua-anak, hubungan romantis dengan kekasih, atau ranah pergaulan, ketiadaan niat untuk mendengarkan berpotensi memicu konflik besar di kemudian hari.
John M. Grohol, Psy.D pernah menulis di PsychCentraledisi Oktober 2018 tentang kenapa orang enggan mendengarkan.
Selain karena merasa diri benar, orang tak mau mendengarkan karena merasa lawan bicaranya kurang kredibel atau tak bisa dipercaya.
Ada pula yang merasa takut dikritik. Mengabaikan kata-kata lawan bicara menjadi bentuk mekanisme pertahanan yang sebenarnya justru menghambat perkembangan dirinya.
Faktor eksternal juga bisa mendorong orang untuk menutup telinga. Tekanan kelompok dan konformitas mungkin saja membuat orang berteguh hati untuk mementalkan argumen kelompok lain.
Mendengarkan adalah kemampuan yang krusial dalam banyak aspek kehidupan. Hal ini sudah dibuktikan sedari lama, seperti melalui eksperimen lawas pada 1957 berikut.
Dalam temuan yang dipublikasikan di Harvard Business Review, Ralph G. Nichols dan Leonard A. Stevens meneliti ribuan siswa dan ratusan pebisnis serta profesional.
Setiap responden diminta untuk mendengar perbincangan singkat staf kampus dan segera setelahnya, diuji seberapa mampu menyerap kontennya. Hasilnya, hanya sekitar separuh isi obrolan yang berhasil mereka ingat.
Dua bulan kemudian, ingatan responden tentang konten pembicaraan berkurang jadi 25 persen. Bahkan, menurut Nichols dan Stevens, dalam delapan jam, orang cenderung melupakan sepertiga sampai separuh informasi yang diberikan si pembicara.
Sejumlah interpretasi dapat diambil dari temuan ini.
Pertama, banyak orang yang sekadar mendengar, bukan mendengarkan. Dua hal ini berbeda pada tingkat kesadaran dan fokus yang diberikan. Orang yang sekadar “mendengar” tidak terlatih untuk berlama-lama menyimak. Akibatnya, dia mudah terdistraksi saat lawannya berbicara.
Kedua, orang menganggap informasi yang diberikan tidak penting atau menarik sehingga secara alami otaknya menghapus memori tersebut. Contohnya mungkin bisa kamu temui pada zaman sekolah dulu, ketika ada temanmu yang bersemangat mendengarkan guru bahasa Inggris tapi jadi ogah-ogahan saat diajari guru matematika.
Berbeda dengan kemampuan membaca, menulis, atau menyerap macam-macam pengetahuan lainnya, signifikansi kemampuan mendengarkan masih dipandang remeh banyak orang.
Ironisnya, sejak SD sampai kuliah, kemampuan inilah yang menjadi modal penting kita untuk berkembang. Tentu saja tujuannya bukan hanya demi kemampuan teknis, melainkan juga kepentingan relasi interpersonal dan intrapersonal kita.
Rendahnya kemampuan mendengar sebagian orang diperparah dengan tindakan ‘koersif’ pihak-pihak berotoritas. “Dengarkan saya!”, “Perhatikan saya ketika saya sedang berbicara!”, “Jangan melamun!” hanyalah segelintir bentuk seruan yang lazim ditemui di lingkungan sekolah, kerja, bahkan rumah, yang justru semakin membuat orang resisten untuk mendengarkan baik-baik.
Mencegah konflik di masa depan bukanlah satu-satunya manfaat dari kemampuan mendengarkan.
Caren Osten, penulis dan positive psychology life coach bersertifikasi, memaparkan di Psychology Today bahwa mendengarkan bisa memperkuat hubungan dua pihak yang berbincang.
Mendengarkan cerita orang yang diiringi dengan berbagi pengalaman pribadi bisa melatihmu untuk berempati terhadap kondisi orang lain. Latihan mendengarkan juga bisa mendongkrak kemampuanmu untuk memotivasi dan menginspirasi lawan bicara di kemudian hari.
Lalu, apa saja yang bisa kamu lakukan untuk mengasah kemampuan mendengarkan? Ada sejumlah cara yang dijabarkan Osten.
Kamu bisa melakukan latihan sederhana dengan temanmu. Sediakan waktu beberapa menit saja untuk benar-benar memperhatikan ujarannya, jangan merespons apa pun. Kamu boleh menunjukkan gestur atau mimik, namun usahakan menahan “gatal” mengomentari ceritanya.
Selain itu, latihan mendengarkan tidak akan bisa optimal kalau kamu mengawalinya dengan pemikiran tertutup. Modal utamanya adalah keyakinan bahwa pertama, hal yang benar tidak bersifat universal, dan kedua, selalu ada sudut pandang lain yang mesti dihargai.
Boleh saja di akhir perbincangan nanti kamu dan temanmu tak bersepakat, tapi jangan sampai muncul niatan untuk menyerang atau mendoktrin lawan bicara dengan keyakinan pribadi.
Osten juga menyarankan agar kamu mengajukan sederet pertanyaan pada diri sendiri sebelum memutuskan ngobrol dengan orang lain.
Pertanyaan itu misalnya, apa aku bisa tahan mendengarkan apa pun yang dibicarakannya, apa aku bisa menahan diri untuk tidak menghakiminya, apa aku bisa mengerem keinginan memberikan nasihat atau menggurui, dan apa aku bisa mengendalikan kecenderungan untuk menginterpretasi dini pengalaman lawan bicaraku?
Memang betul kemampuan mendengar perlu didasari oleh konsentrasi. Namun bukan berarti kamu harus tegang seolah-olah sedang ujian listening bahasa asing. Tetap rileks, tetapi jangan lepaskan fokus kepada lawan bicara.
Kalau kamu berusaha terlalu keras untuk fokus pada satu hal, bisa jadi kamu malah melupakan detail-detail kecil di sekitar yang justru bisa menunjukkan rasa perhatian.
Menurut Osten, banyak orang merasa tak nyaman saat ada jeda-jeda di tengah obrolan. Padahal, pada jeda-jeda itulah kamu bisa merefleksikan makna dari cerita yang baru disampaikan lawan bicara. Maka kamu tak perlu merasa canggung atau terburu-buru mengisi waktu sunyi dengan topik baru.
Ketika lawan bicara sudah selesai menyampaikan ceritanya, kamu juga bisa melontarkan pertanyaan yang sifatnya terbuka alih-alih langsung beropini. “Seperti apa sih, bentuknya?” atau “Perasaanmu setelah itu gimana?” adalah beberapa tanggapan yang Osten rekomendasikan.
Melalui respons seperti itu, kamu dapat menggali informasi lebih banyak dari lawan bicara sehingga akan mampu mengenal lawan bicara dengan lebih baik. Koneksi di antara kalian pun berpotensi menguat.
Pendek kata, kemampuan mendengarkan bisa dimulai dari kesadaran dan kemauan untuk mendengarkan lawan bicara. Apa kamu termasuk yang mampu sadar dan mau mendengarkan?
* Artikel ini pernah tayang di tirto.id pada 2 Agustus 2017. Kami melakukan penyuntingan ulang dan menerbitkannya kembali untuk keperluan redaksional Diajeng.
Editor: Suhendra & Sekar Kinasih