tirto.id - Hakim Binsar Gultom membikin gaduh media sosial baru-baru ini. Ia mengusulkan dilakukannya tes keperawanan oleh pihak-pihak yang ingin melangsungkan pernikahan.
Sebagian warganet mencibir usulan Binsar ini. Mereka menganggap usulan tes keperawanan sebelum menikah bersifat misoginis. Pemilik akun Twitter @irwanayahcahaya berpendapat, “Keperawanan adalah hak semua perempuan, kok jd wajib dibuat hakim ini? Melecehkan banget...”.
Kritik terhadap usulan Binsar juga diekspresikan @hariyant17, “Saya sedang mencari urgensi usulan ini, buat laki-laki ada tes keperjakaan juga ga?? Ga fair.. Selangkangan aja yang diurus,” dan @PaulineMargono, “Apakah keperawanan menjamin langgengnya rumah tangga?!!”.
Kepada Antara, Binsar menjelaskan konteks usulannya tersebut. Ia melihat, banyak kegagalan rumah tangga yang dimulai dari kondisi terpaksa saat menikah. Satu di antaranya ialah keterpaksaan karena hamil di luar nikah.
Karena itu, menurut Binsar, orangtua perlu memastikan keseriusan anak-anaknya yang mau menikah, apakah atas dasar ketulusan dan cinta atau justru untuk menutupi aib. Orangtua dapat menanyakan “Apakah kalian sudah melakukan persetubuhan di luar nikah?” kepada anak untuk memastikan apakah menikah merupakan jalan menutupi aib atau bukan.
Terkait aib ini, kondisi perempuan yang tidak perawan, apalagi sampai mengandung tanpa diinginkan, masih menjadi momok bagi mayoritas masyarakat. Jalan yang paling kerap dipilih adalah seorang perempuan yang tak perawan atau diperkosa menikahi pacar atau pelaku perkosaan.
Ironisnya, tekanan untuk menikah juga tak jarang datang dari pihak orangtua sendiri. Tak pelak, rumah tangga orang-orang yang dilandasi niatan menutupi aib mengantarkan mereka pada konflik-konflik yang berakhir perpisahan.
Baca juga:
- Operasi Selaput Dara Laris karena Obsesi atas Keperawanan
- Keperjakaan dan Keperawanan Generasi Milenial
Poligami tidak sehat, krisis akhlak, faktor ekonomi, ketiadaan sikap bertanggung jawab, kurangnya keharmonisan, alasan politis, kekejaman jasmani dan mental, gangguan pihak ketiga, pernikahan di bawah umur,pelangsungan kawin paksa, kondisi cacat biologis, serta kecemburuan menjadi daftar penyebab perceraian menurut data Badan Peradilan Agama (Badilag) Indonesia.
Salah satu atau kombinasi alasan ini akhirnya berkontribusi terhadap angka talak dan cerai di negeri ini yang menurut data BPS per 2015, telah mencapai 347.256 kasus.
Baca juga: Mendikbud Sebut Kasus Kelas Akselerasi Bisa Picu Perceraian
Hal lain yang juga dianggap memicu keinginan bercerai perempuan di Indonesia adalah derasnya arus informasi yang mengampanyekan kesadaran untuk meraih hak-hak mereka. Pada 2009, BBCmewartakan, seiring dengan terbukanya peluang mengakses pendidikan dan bekerja, sebagian perempuan kian mungkin untuk menjadi independen secara finansial.
Akses ke pendidikan dan informasi di era digital ini kemudian dapat membuat mata mereka terbuka melihat kondisi-kondisi represif yang didasari budaya patriarkal. Saat berada dalam situasi yang tidak menguntungkan bagi mereka, bukan mustahil bagi para perempuan ini mengambil keputusan besar untuk mengakhiri rumah tangga mereka, apa pun konsekuensinya. Mereka yang mapan secara finansial lebih memilih menjanda dibanding mesti terkungkung dalam rumah tangga yang tidak harmonis.
Menariknya, menurut pihak Kementerian Agama, sebagian pasangan memutuskan bercerai karena adanya perbedaan pandangan politik. Ini mengindikasikan bahwa kondisi melek politik yang disokong edukasi pun mengambil andil terhadap masa depan rumah tangga seseorang.
Penolakan poligami bagi sebagian perempuan yang menggugat cerai juga dapat disebabkan oleh alasan-alasan lain seperti dicantumkan Badilag. Kecemburuan, perasaan diperlakukan tidak adil secara ekonomi, atau ketiadaan sikap bertanggung jawab dapat menjadi latar yang melekat dengan alasan poligami tidak sehat.
Di samping itu, kesadaran untuk menolak poligami yang disisipkan dalam gerakan-gerakan feminisme dapat pula mendukung pilihan perempuan untuk menceraikan suami yang berniat menikah lagi.
Faktor kematangan psikologis dan finansial memengaruhi kegagalan rumah tangga yang dimulai pada usia muda. Pasangan muda sering kali mengatakan masalah keuangan, pola berkomunikasi, kurangnya komitmen, serta kekerasan fisik dan emosi menjadi alasan-alasan mereka untuk bercerai.
Memang kedewasaan tak melulu diukur dengan umur. Kendati demikian, tak dapat dimungkiri pula bahwa sikap impulsif atau keinginan besar untuk meraih cita-cita adalah hal-hal yang lumrah dialami anak-anak muda yang menikah. Ini bisa menciptakan konflik ketika bertabrakan dengan urusan rumah tangga terkait mengurus anak atau mengatur biaya hidup yang tentunya bukan perkara sepele.
Persoalan visi yang tidak sejalan juga mendorong orang untuk bercerai. Hal ini diungkapkan oleh psikolog yang berpraktik di Yayasan Pulih, Ristiana Istiqomah, M.Psi, yang sempat menangani kasus-kasus pasangan yang ingin berpisah.
“Ketika ada visi yang tidak sejalan, sulit untuk mewujudkan rumah tangga yang langgeng. Ini juga terkait dengan harapan-harapan pasangan sebelum menikah, yang ketika tidak terpenuhi saat berumah tangga, malah mendatangkan konflik,” jabar perempuan yang akrab disapa Nana ini.
Perbedaan visi atau pandangan hidup juga diakui oleh W (32), yang kini tengah menjalani proses perceraian dengan istrinya.
“Istri mau saya mengikuti cara pandang dan jadwal hidupnya dia, sementara saya enggak bisa. Dia juga lebih senang kami fokus ke hubungan kami sendiri, sedangkan saya maunya fokus berkontribusi untuk orang-orang di luar,” akunya.
W juga mengatakan kebiasaan dalam keseharian kerap menjadi sumber konflik mereka. Sementara istrinya senang mengurusi hal-hal detail, W lebih senang melihat gambaran besar dari suatu permasalahan. Sehubungan dengan kebiasaan dalam keseharian, Nana menyatakan bahwa perilaku kekerasan psikologis dan fisik sangat mungkin menyebabkan rumah tangga hancur.
“Klien saya ada yang mengaku sering mendapat kata-kata menyakitkan, mendapat pengekangan berlebihan saat ingin bekerja, atau mengalami pembatasan finansial,” lanjut Nana.
Sumber dari kekerasan-kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga ini adalah hilangnya rasa hormat terhadap pasangan dan stigma peran gender yang terlalu kuat melekat. Dalam salah satu kasus yang ditangani Nana, ada istri yang mau tidak mau bekerja lantaran sang suami menganggur.
Meski telah berjuang untuk menyokong kehidupan keluarga, sang suami tidak serta merta menunjukkan rasa hormat atau menghargai istrinya. Malahan, sang suami berselingkuh dan inilah yang membuat klien Nana ingin menceraikan pasangannya.
Perceraian berpotensi besar untuk membuat hidup seseorang berantakan. Pekerjaan terbengkalai, anak-anak tidak terurus, dan kondisi mental serta fisik bisa semakin menurun. Ketika orang yang bercerai mengalami depresi, butuh penanganan khusus untuk memperbaiki dirinya.
Nana menyarankan orang-orang yang mengalami kekerasan fisik sampai trauma, lalu mengalami gangguan makan dan tidur, untuk fokus pada pemulihan tubuhnya dulu.
"Saya juga akan menyarankan untuk mencari kegiatan untuk relaksasi supaya penilaian diri klien kembali meningkat. Stigma-stigma di masyarakat tentang orang bercerai, khususnya perempuan, sering membuatnya rendah diri. Maka, saya biasanya menyarankan mereka untuk menerima keadaan dengan lapang dada dan berfokus untuk mencintai dan membahagiakan diri mereka sendiri lebih dulu, tanpa keberadaan suami lagi bila memutuskan bercerai,” imbuh Nana.
Penulis: Patresia Kirnandita
Editor: Maulida Sri Handayani