Menuju konten utama

Berkaca Kasus di Palembang, Pornografi Ancam Masa Depan Anak

Para orang tua diimbau untuk lebih memberikan perhatian pada anak-anak agar tidak terjerumus pada perilaku penyimpangan seperti mengonsumsi video porno.

Berkaca Kasus di Palembang, Pornografi Ancam Masa Depan Anak
Ilustrasi stop kekerasan. FOTO/iStockphoto

tirto.id - Pornografi memberikan daya rusak yang dahsyat bagi masa depan anak dan remaja. Kasus pembunuhan seorang anak perempuan di Palembang baru-baru ini menjadi contohnya. AA, korban yang baru berumur 14 tahun, diperkosa dan dibunuh oleh anak-anak seumurannya.

Korban yang masih duduk di bangku SMP kelas VIII itu ditemukan tewas awal September lalu di Tempat Pemakaman Umum Tionghoa, Palembang. Polisi menyebut ada empat orang pelaku dalam kasus ini, yakni pelaku utama berinisial IS (16), serta MZ (13), NS (12), dan AS (12). Peristiwa naas yang menimpa AA terjadi pada Minggu (31/8/2024) sore.

Polisi menduga perbuatan keempat pelaku pemerkosaan dan pembunuhan ini dipicu akibat tontonan pornografi. Pasalnya, ditemukan konten pornografi di ponsel para pelaku. Mereka menyekap korban hingga tewas dan melakukan pemerkosaan secara bergiliran.

Berdasarkan hasil visum, polisi menemukan tanda tindakan pidana berupa luka di bagian leher hingga patah tulang lidah pada korban. Tersangka utama ditahan, sementara tiga tersangka lainnya dibina lewat rehabilitasi di Dinas Sosial sampai persidangan.

Kasus di Palembang menambah catatan hitam tindak kekerasan dan pembunuhan yang disebabkan paparan konten pornografi. Anak-anak rentan menjadi korban dalam hal ini, baik sebagai korban tindak kekerasan seksual atau yang amat disayangkan, menjadi pelaku kekerasan itu sendiri.

Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Dian Sasmita, menyatakan kasus anak berurusan dengan hukum di Palembang memang terdapat kontribusi akibat konsumsi konten pornografi. Ia menilai ini merupakan satu kasus yang kompleks di tengah lemahnya proteksi digital terhadap menjamurnya konten pornografi.

“Anak remaja dengan kekhasan tahap perkembangan psikologisnya, yakni meningkat rasa ingin tahu. Ditambah dengan minimnya bimbingan dan ketersediaan media informasi yang tepat, memperburuk kondisi anak,” kata Dian dihubungi reporter Tirto, Rabu (11/9/2024).

Di sisi lain, kata Dian, bimbingan dan pengawasan dari orang tua punya pengaruh terhadap tindak tanduk anak. Anak sering lari ke dunia maya karena tidak punya saluran yang tepat untuk mengejawantahkan rasa keingintahuannya.

Masalahnya dunia maya bukan tempat yang aman bagi anak-anak berselancar sendirian. Konten dengan berbagai macam jenisnya, tersaji dengan gamblang di internet. Termasuk pornografi dan konten-konten yang menginspirasi tindakan kekerasan.

“Ketika pengasuh jarang membuka dialog atau komunikasi dengan anak, maka ketika anak penasaran terhadap sesuatu, dia akan mencari sendiri lewat saluran yang mudah mereka akses,” ucap Dian.

KPAI memandang fenomena ini harus direspons serius oleh pihak berwenang. Peningkatan program pencegahan dan mitigasi risiko pada keluarga rentan harus dilakukan semua pihak. Pemerintah pusat, pemerintah daerah, hingga desa harus mengambil peran aktif.

“Swasta, akademisi, komunitas, dan masyarakat tak kalah perannya. Melihat kasus kekerasaan seksual dan pembunuhan di Palembang dengan korban anak 13 tahun, proses hukum terus berjalan,” jelas Dian.

Peneliti psikologi sosial dari Universitas Indonesia (UI), Wawan Kurniawan, menyatakan bahwa sejumlah penelitian menunjukkan korelasi konsumsi pornografi oleh anak-anak dan remaja, dengan perilaku agresif. Meskipun, kata dia, hubungan yang terjadi cukup kompleks dan dipengaruhi banyak faktor lain.

“Eksposur pornografi dapat mengubah persepsi anak tentang norma seksual dan agresi interpersonal. Hal ini terjadi karena pornografi sering menggambarkan seksualitas secara tidak realistis,” kata Wawan kepada reporter Tirto, Rabu.

MURAL TOLAK KEKERASAN SEKSUAL

Warga melintas di dekat mural stop kekerasan seksual di Lapangan Kridosono, Yogyakarta, Senin (10/1/2022). ANTARA FOTO/Andreas Fitri Atmoko/nym.

Terlebih, pornografi kerap mengandung elemen kekerasan yang berpotensi disalahartikan oleh anak atau remaja sebagai perilaku yang dapat diterima. Wawan menyebut, beberapa studi menunjukkan bahwa anak-anak yang sering mengakses materi pornografi mungkin mengembangkan sikap yang lebih permisif terhadap seks bebas dan perilaku agresif.

Wawan berujar, pengawasan dan komunikasi orang tua punya peranan penting mencegah perilaku agresif anak. Pengawasan aktif atas aktivitas anak, termasuk penggunaan internet, membantu orang tua mengetahui dan mengarahkan kegiatan anak mereka.

“Komunikasi yang efektif antara orang tua dan anak menciptakan lingkungan yang mendukung di mana anak merasa nyaman berbagi perasaan dan pengalaman mereka,” ujar Wawan.

Hal pertama dan terpenting, kata Wawan, membangun komunikasi yang terbuka dan jujur antara orang tua dan anak. Mendiskusikan topik sensitif seperti pornografi mungkin terasa canggung, namun penting bagi orang tua menjadi sumber informasi yang dapat diandalkan dan mendukung bagi anak-anak mereka.

Orang tua harus bisa berdialog dengan cara yang tidak menghakimi dan informatif. Orang tua bisa menjelaskan tentang realita versus representasi dalam media, dan bagaimana pornografi kerap menggambarkan hubungan yang tidak sehat dan tidak realistis.

“Mendidik anak tentang seksualitas dan hubungan yang sehat dari sumber yang tepat sangat krusial dalam membentuk persepsi mereka yang sehat tentang seksualitas,” ujar Wawan.

Jika anak kedapatan kecanduan mengakses konten pornografi, orang tua bisa meminta bantuan profesional seperti ke psikolog. Konsultasi dengan psikolog atau konselor dapat memberikan dukungan ekstra yang mungkin diperlukan untuk mengatasi isu soal pornografi dalam keluarga.

“Profesional ini dapat membantu dalam memberikan strategi komunikasi yang efektif, serta mendukung anak dalam mengolah dan memahami pengaruh dari apa yang mereka lihat secara online,” ucap Wawan.

Peran Vital Orang Tua

Pemerhati perlindungan dan pendidikan anak, Retno Listyarti, menyatakan pendidikan seksualitas serta kesehatan reproduksi seharusnya memang dikuasai orang tua. Jangan sampai persoalan sepenting itu justru dianggap tabu sehingga anak mencari pengetahuan dari sumber-sumber yang bermasalah.

“Jadi memang pendidikan seks itu bukan hal yang tabu, tapi pendidikan seks itu justru harus dilakukan,” kata Retno kepada reporter Tirto, Rabu.

Retno berujar, pada masa remaja, anak-anak sangat wajar dipenuhi rasa ingin tahu dan punya ketertarikan dengan lawan jenis. Dalam fase-fase ini, sangat penting bagi anak mengetahui penghargaan atas dirinya dan edukasi terkait kesehatan organ reproduksi.

“Dan bagaimana konsep pacaran di usia 13-15 ya. Lebih bikin semangat datang ke sekolah, lebih bersemangat berprestasi, saling support dalam hal-hal positif untuk prestasi,” terang dia.

Menurut Retno, kecanduan pornografi oleh anak sangat dipengaruhi faktor lingkungan dan pengasuhan. Jika orang tua mengetahui masalah ini ada pada buah hati mereka, penilaian dan pendampingan dari profesional perlu mengambil peran.

Ia menambahkan, pornografi akan berdampak pada perkembangan otak anak. Kecanduan pornografi lebih parah lagi, kata Retno, bisa berujung pada perilaku agresif oleh anak.

“Nah, kalau otak ini rusak pada bagian pengaturan emosi, pengaturan hal lain seperti itu, ya tentu hal ini akan sangat berdampak buruk bagi tumbuh kembang anak, bahkan sampai dia dewasa,” terang Retno.

UNJUK RASA GERAKAN IBU MENCARI KEADILAN

Peserta aksi memegang boneka bertuliskan 'jangan jadikan kami sibunga berikutnya' saat unjuk rasa oleh Gerakan Ibu Mencari Keadilan di halaman kantor Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA), Banda Aceh, Aceh, Kamis (23/12/2021). ANTARA FOTO/Syifa Yulinnas/wsj.

Dilansir Public Health Post, sejumlah peneliti dari disiplin ilmu yang berbeda menemukan pornografi diasosiasikan sebagai hasil yang merusak. Studi yang melibatkan laki-laki di perguruan tinggi Amerika Serikat mengungkap, mereka yang lebih banyak menonton video porno berpotensi lebih besar untuk melakukan pemerkosaan dan pelecehan seksual daripada mereka yang tidak menonton porno dalam rentang waktu 12 bulan terakhir.

Public Health juga mengungkap meta analisis terbaru dari 22 penelitian antara 1978 dan 2014 dari tujuh negara berbeda menyimpulkan, konsumsi pornografi dikaitkan dengan kemungkinan peningkatan melakukan tindakan agresi seksual verbal atau fisik, tanpa memandang usia.

Sementara itu, peneliti bidang sosial dari The Indonesian Institute (TII), Dewi Rahmawati Nur Aulia, menyatakan pornografi menjadi salah faktor penting yang mendukung agresivitas seksual seseorang. Hal ini disebabkan karena pornografi sebagai media audio visual erotis tidak hanya menstimulasi aktivitas otak, namun turut merangsang kelenjar hormon untuk mengaktifkan alat reproduksi manusia melalui perilaku seksual aktif.

“Individu yang terpapar pornografi akan mengeluarkannya dalam bentuk aktivitas seksual minimal seperti masturbasi/onani hingga pada persetubuhan paksa,” kata Dewi kepada reporter Tirto, Rabu.

Dewi memandang, hal yang perlu dilihat untuk pembentukan perilaku moralitas anak terletak pada keberadaan sosok ayah pada pengasuhan anak. Ayah memiliki peran penting dalam pembentukan moralitas dan disebutkan dalam riset-riset terkini untuk menjadi rujukan penting dalam pengasuhan.

Orang tua perlu membangun kelekatan dengan anak di mana hal ini dapat menunjukkan bagian dari adanya komunikasi. Komunikasi tidak hanya dalam bentuk verbal, namun dalam pengasuhan dapat dilakukan dengan bentuk komunikasi non-verbal seperti pelukan hangat, tatapan mata, dan lain sebagainya yang dapat menjadi bagian penting dalam pembentukan rasa percaya satu sama lain.

“Orang tua tentunya harus dapat menyadari dan memperbaiki kesalahan dalam pengasuhan anak termasuk terlibat aktif dalam membantu anak memulihkan diri dari adiksi pornografi,” jelas Dewi.

Deputi Bidang Perlindungan Khusus Anak (PKA) Kemen PPPA, Nahar, menegaskan pihaknya terus memantau kasus pembunuhan anak di Palembang dan memastikan korban serta keluarganya mendapatkan keadilan sesuai peraturan perundang-undangan. Kemen PPPA siap memberikan pendampingan bagi keluarga korban, baik itu pendampingan secara hukum maupun psikologis.

“Tim Layanan SAPA129 akan upayakan menjangkau keluarga korban untuk memastikan pendampingan psikologis bagi keluarga korban,” kata Nahar lewat keterangan tertulis, dikutip Rabu.

Dalam kasus di Palembang, kata Nahar, sebab pelaku masih berusia anak, maka proses penanganan hukumnya mendapat perhatian khusus sesuai undang-undang yang berlaku. Yakni, berpedoman pada Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA) berdasarkan UU Nomor 11 Tahun 2012 tentang UU Sistem Peradilan Pidana Anak.

“Dalam pasal 81 ayat (2) UU SPPA dijelaskan bahwa untuk para pelaku (Anak Berkonflik dengan Hukum) pidana yang dikenakan berbeda dengan orang dewasa, yaitu 1/2 (setengah) dari ancaman pidana orang dewasa,” tutur Nahar.

Nahar mengimbau para orang tua untuk lebih memberikan perhatian pada anak-anak agar tidak terjerumus pada perilaku penyimpangan seperti mengonsumsi video porno yang dapat memicu kekerasan seksual.

“Dampingi mereka saat berselancar di internet dan di satu sisi orang tua juga harus belajar memahami penggunaan gadget dan internet,” pungkas Nahar.

Baca juga artikel terkait KASUS PEMERKOSAAN atau tulisan lainnya dari Mochammad Fajar Nur

tirto.id - News
Reporter: Mochammad Fajar Nur
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Fahreza Rizky