Menuju konten utama

Anak Korban Kekerasan Seksual Jangan Sampai Alami Nestapa Ganda

APH perlu difasilitasi pelatihan untuk memahami UU TPKS agar penanganan tidak lagi berujung mengecewakan dan menambah nestapa korban anak.

Anak Korban Kekerasan Seksual Jangan Sampai Alami Nestapa Ganda
Warga melintas di dekat mural stop kekerasan seksual di Lapangan Kridosono, Yogyakarta, Senin (10/1/2022). ANTARA FOTO/Andreas Fitri Atmoko/nym.

tirto.id - Anak yang menjadi korban kekerasan seksual masih sering mendapatkan viktimisasi ganda akibat penanganan kasus yang tidak berpihak pada korban. Sudah jatuh tertimpa tangga, anak korban kekerasan seksual yang mencari keadilan justru menghadapi nestapa ganda. Bertepatan momen Hari Anak Nasional 2024, sudah seharusnya pembenahan penanganan kasus anak korban kekerasan seksual digalakkan.

Mencuatnya kasus Brigadir AK dari Polsek Tanjung Pandan, Belitung, yang mencabuli anak korban kekerasan seksual jadi kado buruk peringatan Hari Anak Nasional 2024.

Mulanya, korban hendak melaporkan tindakan pemerkosaan terhadap dirinya yang dilakukan seorang pengurus panti asuhan berinisial BS (53). BS memperkosa korban berulang kali sejak SD. Nahas, nestapa ganda justru dialami korban anak saat melapor ke kepolisian tersebut.

Alih-alih menindaklanjuti laporan korban, Brigadir AK justru turut melakukan kekerasan seksual terhadap korban di kantor polisi.

Kasus yang terjadi medio Mei 2024 lalu itu merupakan alarm pengingat bahwa penanganan kasus kekerasan seksual terhadap anak yang ideal masih jauh panggang dari api. Viktimisasi ganda justru dialami oleh anak korban kekerasan seksual.

Sekalipun ditangani, anak korban kekerasan seksual masih sering menemui persoalan seperti: dipaksa berdamai, tak diberi pendampingan psikologis, tidak ada restitusi, didiskriminasi, bahkan mengalami viktimisasi ganda.

Pada 2023 silam, misalnya, ibu dari dua anak korban pemerkosaan di Baubau, Provinsi Sulawesi Tenggara, justru diancam pidana dengan tudingan menyebarkan berita bohong di media. Anak sulung ibu tersebut, alias kakak dari dua anak korban pemerkosaan dalam kasus ini, justru ditangkap polisi.

Tak hanya itu, kanal Project Multatuli yang memberitakan perkembangan kasus tersebut juga mendapatkan serangan siber.

Kasus pemerkosaan anak perempuan berusia 7 tahun di Kabupaten Kubu Raya tahun lalu juga berakhir mengecewakan. Korban diperkosa oleh ayah tiri, kakek tiri, serta tetangganya sendiri. Namun, Polsek Kubu Raya pada Januari 2024 lalu justru menyatakan kasus ini ditutup dengan restorative justice alias damai antara para pelaku dan korban anak.

Kasus serupa juga terjadi baru-baru ini di Koja, Jakarta Utara. Seorang siswi berusia 16 tahun yang diduga diperkosa seseorang yang dikenalnya lewat media sosial. Seturut pemberitaan Kompas.com, kasus ini dilaporkan pada Maret 2024.

Saat itu, keluarga korban mendesak Polres Metro Jakarta Utara menindaklanjuti perkara ke jalur hukum sebab pelaku masih berkeliaran. Namun, polisi malah mengarahkan mereka untuk menyelesaikan kasus lewat jalur damai.

APH Malah Jadi Pelaku

Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Diyah Puspitarini, menyayangkan aparat penegak hukum (APH) justru masih menjadi unsur pelaku kekerasan fisik, psikis, dan bahkan seksual terhadap anak. Menurut data KPAI tahun 2023, ada 43 aduan kasus kekerasan terhadap anak yang pelakunya dari unsur APH.

“Ini merupakan keprihatinan yang cukup mendalam karena APH seharusnya menjadi garda terdepan melindungi anak, penegakan hukum dan keadilan bagi kasus kekerasan anak. [Tapi] ini justru menjadi pelaku,” kata Diyah saat dihubungi reporter Tirto, Senin (22/7/2024).

Berkaca dari data tersebut, Diyah memandang harus ada perbaikan pada instansi TNI-Polri dalam kasus kekerasan terhadap anak. Dia mengingatkan bahwa anak korban kekerasan seksual perlu mendapatkan proses penanganan yang cepat dan tepat hingga tuntas.

Penanganan kasus kekerasan seksual terhadap anak juga wajib disertai pendampingan psikologis tuntas dari layanan pendamping yang berwenang. Ditambah, terdapat pemberian bantuan sosial dan penerjunan pekerja sosial untuk mendampingi korban anak serta perlindungan dari upaya intimidasi.

“Dalam UU TPKS, korban KS [kekerasan seksual] anak wajib dilindungi dalam seluruh proses hukum dan rehabilitasi sampai tuntas. Serta, hak anak korban tetap harus dilindungi dan dipenuhi sebagaimana Pasal 64 UU Perlindungan Anak, yakni hak pendidikan, identitas korban, kesehatan, dan lain-lain,” terang Diyah.

Diyah menyayangkan penanganan kasus-kasus kekerasan seksual terhadap anak masih jauh dari semangat UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) dan UU Perlindungan Anak. Implementasi penggunaan UU TPKS oleh penegak hukum dalam kasus kekerasan seksual terhadap anak juga masih minim.

Pihaknya, kata Diyah, selama ini menangani kasus dengan landasan UU Perlindungan Anak dan UU TPKS. Maka setiap ada anak yang menjadi korban kekerasan seksual, seluruh proses diupayakan ditangani secara cepat dengan melibatkan berbagai pemangku kebijakan.

“Melibatkan OPD, UPTD PPA, Dinsos, Dinkes, Dikbud, dan duduk bersama APH. Kemudian pengumpulan bukti jika sudah terpenuhi langsung gelar perkara dan penentuan status pelaku,” ujar Diyah.

Penanganan kasus harus cepat agar anak diharapkan dapat segera pulih dari luka psikis dan fisiknya. Terutama pendampingan psikologis korban, ketika tidak ada tenaga profesional dalam penanganan ini, UPTD PPA bisa meminta bantuan rumah sakit atau perguruan tinggi.

“Indonesia darurat persoalan anak. Semua sisi anak selalu menjadi korban. Jangan sampai persoalan anak dinomorduakan di Indonesia. Sebab, generasi emas 2045 terletak di tangan anak-anak hari ini,” ungkap Diyah.

Menurut catatan KPAI tahun 2023, mereka telah menerima sebanyak 3.883 laporan aduan kasus pelanggaran dan pemenuhan hak anak. Kasus kekerasan fisik dan seksual terhadap anak masih tinggi dari tahun ke tahun.

Sementara itu, Kepala Biro Psikologi dari Rumah Cinta, Retno Lelyani Dewi, menyatakan bahwa publik memerlukan hadirnya mekanisme terbuka yang dapat memantau perkembangan kasus kekerasan seksual terhadap anak agar ditangani secara laik dan tuntas. Jika tak tuntas, anak korban kekerasan seksual bakal mengalami trauma berat.

“Secara psikologis, korban akan mengalami berbagai masalah psikologis. Misal, pada korban yang saya tangani. Anak perempuan 17 tahun [mengalami] sulit tidur. Takut tidur karena jika tidur akan bermimpi buruk: diterkam, dibunuh, diperkosa berulang tanpa mampu melawan,” kata Retno kepada reporter Tirto.

Anak korban kekerasan seksual juga biasanya takut kembali ke sekolah sebab khawatir akan dilabel buruk oleh orang sekitarnya. Menurut Retno, anak korban biasanya sering tidak fokus, melamun, dan berulang teringat peristiwa kekerasan seksual yang dialaminya.

Itulah sebabnya penanganan kasus kekerasan seksual terhadap anak perlu ditangani secara tuntas, termasuk pemenuhan hak psikologis dan sosialnya.

“Jika orang tua atau pendamping hanya fokus ke masalah hukumnya, perlu psikoedukasi ke mereka. Tujuannya orang tua bisa menjadi support system untuk korban. Pemulihan secara psikologis dapat berlangsung lebih cepat jika korban sendiri ingin pulih atau berdaya dan ada support dari keluarga atau lingkungan,” jelas Retno.

Menanti Peran Negara

Peneliti bidang sosial dari The Indonesian Institute (TII), Dewi Rahmawati Nur Aulia, menilai bahwa APH seharusnya memakai standar pemahaman atau perspektif korban dalam proses penanganan kasus kekerasan seksual terhadap anak. Namun, faktanya banyak penegak hukum belum memiliki standar pemahaman itu.

Hal itu tercermin dari penanganan perkara maupun saat putusan tingkat pengadilan. Menurut Dewi, masalah ini masih menjadi pekerjaan rumah di sektor hukum. Padahal, hal ini sudah diatur dalam UU TPKS lewat disahkannya Perpres Nomor 9 Tahun 2024 tentang Penyelenggaraan Pendidikan dan Pelatihan Pencegahan dan Penanganan TPKS.

“Maka dalam konteks ini Kementerian Hukum dan Ham sebagai Inisiator peraturan ini wajib untuk melaksanakannya segera agar berbagai kejadian dalam penanganan ini tidak terjadi lagi secara serupa,” ujar Dewi kepada reporter Tirto.

Pemulihan psikologis dan sosial bagi anak korban kekerasan seksual sangat penting dilakukan sebab membutuhkan kolaborasi banyak pihak. Harapannya, tercipta lingkungan yang mampu menerima korban kekerasan seksual tanpa syarat.

“Hak pendidikan anak korban kekerasan seksual cenderung diabaikan negara. Padahal, antara apa yang dialami sebagai korban tidak ada hubungannya dengan akses pendidikan. Anak korban KS masih tetap memiliki hak dan kesempatan yang sama,” kata Dewi.

UU TPKS dan beberapa peraturan turunannya harus jadi acuan. APH dan seluruh pihak terkait perlu mendukung pembenahan penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak agar lebih berperspektif pada korban.

“Maka dari itu, tak cukup hanya dengan simpati untuk meningkatkan hal tersebut. APH perlu mendapatkan kompetensi dan pemahaman melalui pendidikan khusus,” ujar Dewi.

Program Manager dari Lembaga Partisipasi Perempuan (LP2), Evie Permata Sari, berharap momen Hari Anak Nasional 2024 tak cuma seremonial belaka. Hari Anak Nasional tahun ini, kata dia, sudah cukup progresif dengan membawa tema besar “Anak Terlindungi, Indonesia Maju”.

“Semoga bukan jargon dari pemerintah, tapi harus ada implementasinya,” kata Evie kepada reporter Tirto.

Evie berujar bahwa penanganan kasus kekerasan seksual terhadap anak sebetulnya sudah dijabarkan cukup lengkap dalam UU TPKS. Seperti Pasal 66 sampai 71 soal rujukan bagi korban hingga hak restitusi yang termaktub di Pasal 30.

Dengan begitu, negara harus menjamin pelaksanaan UU TPKS tiap pasal di dalamnya dengan sungguh-sungguh. APH perlu difasilitasi dengan pelatihan untuk memahami UU TPKS agar penanganan tidak lagi berujung mengecewakan dan menambah nestapa bagi korban anak.

“Negara harus memahami bahwa dalam konteks relasi kuasa, anaklah yang paling tidak punya power untuk bicara atau speak up. Jangan sampai anak sudah jatuh tertimpa tangga oleh negara,” ujar Evie.

Baca juga artikel terkait KEKERASAN SEKSUAL TERHADAP ANAK atau tulisan lainnya dari Mochammad Fajar Nur

tirto.id - News
Reporter: Mochammad Fajar Nur
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Fadrik Aziz Firdausi