Menuju konten utama

LBH APIK: UU ITE Rentan Kriminalisasi Korban Kekerasan Seksual

LBH APIK mendesak penghapusan Pasal 27 ayat (1) tentang kesusilaan dan ayat (3) tentang pencemaran nama baik dalam UU Informasi dan Transaksi Elektronik.

LBH APIK: UU ITE Rentan Kriminalisasi Korban Kekerasan Seksual
Ilustrasi Kekerasan Seksual. foto/Istockphoto

tirto.id - Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK) Jakarta mendesak revisi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).

Direktur LBH Apik Jakarta, Arta Pangaribuan menyatakan Pasal 27 ayat (1) dan (3) UU ITE perlu dihapus karena berpotensi membuat perempuan korban kekerasan seksual rentan dikriminalisasi.

“Harus dihapus karena sudah diatur dalam UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual. Jika dipertahankan, pasal ini sangat berbahaya, bisa mengkriminalkan korban,” kata Uli dalam konferensi pers di Jakarta, Senin (11/9/2023).

Pada Pasal 27 ayat (1) UU ITE mengatur tentang Keasusilaan. Adapun pada Pasal 27 ayat (3) mengatur tentang pencemaran nama baik.

Uli menilai Pasal 27 ayat (1) tersebut sangat jahat karena tidak berpihak pada korban kekerasan seksual. Sebaliknya, pasa itu justru digunakan pelaku untuk mengkriminalisasi korban, keluarga korban, maupun pendamping korban.

“Jangan sampai korban melaporkan, kemudian korban juga yang dilaporkan terkait dengan kasus yang dialaminya. Ini yang kami temui di beberapa kasus yang kami temui di LBH Jakarta,” jelas Uli.

Tak jauh berbeda, Pasal 27 Ayat (3) rentan dimaknai sebagai bentuk pencemaran nama baik/penghinaan saat korban melaporkan kekerasan berbasis gender melalui platform digital atau media sosial.

”Dampaknya pada perempuan dan anak, mereka menjadi korban baik sebagai pelapor/terlapor, mengingat kecepatan transmisi dan distribusi dokumen elektronik yang tak terkendali menjadi alat pelaku menyerang perempuan korban,” jelas Uli.

Uli mendesak pemerintah dan DPR untuk menghapus Pasal 27 Ayat (1) dan (3) UU Nomor 11 Tahun 2008 tersebut karena rentan mengkriminalisasi korban kekerasan berbasis gender.

Dengan penghapusan kedua pasal tersebut, aparat penegak hukum bisa mulai menggunakan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS).

“Masalahnya lagi ini enggak sejalan dengan perspektif APH di lapangan. Ketika ada kasus berbasis online, APH mendorong menggunakan UU ITE, padahal kita sudah perdebatkan ini sudah ada UU TPKS, kenapa enggak dipakai?” kata Uli.

Dalam kesempatan yang sama, Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham) Eddy Hiariej menyatakan Pasal 27, 28, 29, dan 36 UU ITE, dalam konteks Hukum Pidana tidak memenuhi "nullum crimen, nulla poena sine lege certa" (tidak ada perbuatan pidana tanpa ketentuan undang-undang yang jelas).

”Jadi, memang pasal-pasal itu bermasalah sehingga diinterprestasi lain. Dan celakanya, tidak adanya keseragaman dalam penerapan hukum,” kata Eddy.

Eddy menegaskan pemerintah memang sedang dalam pembahasan dengan DPR RI untuk merevisi UU ITE. Hal ini penting dilakukan karena Presiden Joko Widodo langsung yang pernah menyatakan bahwa UU ITE saat ini mengandung pasal karet.

“Oleh karena itu, presiden meminta revisi dan sekarang tengah dilakukan DPR,” terang Eddy.

Baca juga artikel terkait PASAL KARET UU ITE atau tulisan lainnya dari Mochammad Fajar Nur

tirto.id - Hukum
Reporter: Mochammad Fajar Nur
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Gilang Ramadhan