Menuju konten utama
Periksa Data

Lapor Kasus KBGO Pakai UU ITE, Diancam dan Alami Reviktimisasi

Ketika lapor ke polisi, korban KBGO justru mendapat reaksi negatif yang mengecewakan dan menyakitkan, atau biasa disebut sebagai reviktimisasi.

Lapor Kasus KBGO Pakai UU ITE, Diancam dan Alami Reviktimisasi
HEADER Periksa Data UU ITE dan Kekerasan Berbasis Gender Online. tirto.id/Gery

tirto.id - Trigger Warning: Artikel ini memuat deskripsi eksplisit tentang kekerasan seksual

Ketika seseorang menjadi korban, hukum seharusnya bisa hadir untuk melindungi dan menjamin hak-haknya. Akan tetapi, keberadaan pasal-pasal karet dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), yang diperbarui menjadi UU no. 19 tahun 2016, justru jadi bayang-bayang yang mengancam korban kekerasan berbasis gender di ranah online atau siber (KBGO).

Menurut Mona Ervita, ketika korban KBGO yang ia dampingi melapor ke polisi menggunakan pasal 27 ayat (1) UU ITE, korban tersebut masih mendapat pertanyaan-pertanyaan memojokkan dan mengancam dari penyidik.

Pengacara dari Kolektif Advokat untuk Keadilan Gender (KAKG) tersebut bilang, penyidik bahkan tidak tahu menahu tentang KBGO. Pendamping sampai harus menjelaskan perkaranya panjang lebar, lalu mesti melewati perdebatan hingga akhirnya laporannya diterima.

Pengalaman Mona itu bermula kala KAKG menerima kasus dari Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) pada 2021 silam. Saat itu, kasus KBGO yang didapat merupakan kasus penyebaran konten intim tanpa persetujuan (non-consensual dissemination of intimate image/NCII) disertai eksploitasi seksual.

Kata Mona, korban—sebut saja Ara (bukan nama sebenarnya), mendapat pesan langsung atau direct message (DM) dari sebuah akun anonim di Instagram. Akun itu menyertakan foto-foto intim Ara dan menjadikannya senjata untuk mengancam perempuan berusia 22 tahun tersebut.

Menurut cerita Mona, sebelumnya Ara pernah mengirim foto intim ke pacarnya secara konsensual, namun pesan itu dikirimkan setelah hubungan mereka kandas. Tak heran mereka curiga pada mantan Ara, namun ketika ditanya, si mantan pacar berdalih ponselnya hilang dan kemungkinan besar ditemukan orang lain.

“Jadi kasus KBGO itu kasus paling rumit banget. Jadi kayak kita itu harus melihat akar dari permasalahan ini. Dari memang awalnya consent, maksudnya tuh ya ada kesepakatan di situ, 'oke aku kasih foto ini ke kamu tapi jangan kamu sebarin',” kata Mona saat berbincang dengan Tirto, Minggu (6/8/2023).

"Tapi ketika hubungan itu sudah putus, aku nggak tahu apakah benar faktanya si mantan bilang seperti itu memang HP-nya hilang, atau bisa jadi dia yang nyebarin terus pura-pura jadi anonim kayak gitu, kan kita tidak tahu," lanjutnya.

Pelaku yang tidak diketahui identitasnya itu memaksa Ara untuk menemui laki-laki di sebuah penginapan, melakukan aktivitas seksual dan merekamnya, lalu mengirimkan rekaman tersebut ke pelaku. Kata Mona, Ara tak punya opsi menolak, sebab pelaku mengancam bakal menyebarkan foto intim Ara ke teman-teman dan keluarganya.

"Jadi dia itu dieksploitasi seksual secara terus menerus itu sampai-sampai hampir seribu konten,” beber Mona.

Pelaku bahkan mengarahkan gaya yang harus dituruti Ara saat melakukan aktivitas seksual. Ketika akun pelaku sudah diblokir hingga 7 kali, akun baru terus bermunculan.

Sampai suatu waktu, teman kerja Ara di sebuah pesantren menjumpai foto Ara tanpa busana. Di titik itu, kasus Ara akhirnya ia laporkan ke kepolisian daerah di sebuah provinsi di Indonesia.

Setelah melalui proses rumit selama 5 jam dan sempat diarahkan ke unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA), laporan akhirnya diterima di unit kejahatan siber.

Ditakut-Takuti Pakai UU Pornografi dan Tak Mendapat Jaminan Privasi

Berkaca dari kisah Mona, korban KBGO yang menempuh jalur hukum litigasi ibarat pepatah “sudah jatuh tertimpa tangga”. Ketika lapor ke polisi, korban justru mendapat reaksi negatif yang mengecewakan dan menyakitkan, atau biasa disebut sebagai reviktimisasi atau viktimisasi sekunder.

Korban dihujani pertanyaan-pertanyaan seperti, "Kok kamu mau ngirim foto itu? Udah jelas dia jahat, udah jelas dia akan sebarin, kenapa masih mau?" atau “Kamu tau gak, ini arahnya ke pornografi?”.

Sejumlah pertanyaan di atas dilontarkan penyidik saat pembuatan Badan Acara Pemeriksaan (BAP) kasus Ara, menurut cerita Mona. Mona kala itu sampai harus menjelaskan kepada penyidik bahwa korban dalam keadaan ancaman, sehingga pemeriksaan sebaiknya fokus pada penyebaran konten intim korban dan menelusuri pelakunya ketimbang melihat dari sisi pornografinya.

Menurut Mona, pasal 27 ayat (1) memang berpotensi memunculkan ancaman pasal lain terhadap korban, salah satunya pasal 4 UU Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi.

Pasal itu pada intinya melarang setiap orang untuk memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan pornografi.

Masalahnya, sebelum Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) disahkan pada Mei 2022, masih terjadi kekosongan hukum bagi korban-korban KBGO. Alhasil, tak ada pilihan lain untuk melaporkan kasus KBGO selain pakai UU ITE.

Langkah ini dilakukan pula oleh pengacara publik dari Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK) Jakarta, Said Niam. Menurutnya, pada periode sebelum adanya UU TPKS, ia dengan sangat terpaksa sering menggunakan pasal 27 ayat (1) UU ITE saat mendampingi korban melaporkan kasus KBGO ke polisi.

“Sebenernya kita juga sendiri itu nggak terlalu, apa namanya ya, sama undang-undang ITE yang lebih cenderung pasal karet yang biasanya mengkriminalisasi banyak korban,” beber Said saat ditemui Tirto di kantor LBH Apik Jakarta, Jumat (25/8/2023).

Belum lagi tidak ada jaminan terkait kerahasiaan bukti yang diserahkan korban KBGO ke penyidik. Berdasar pengalaman Said selama membuat laporan polisi berkaitan dengan pasal 27 (1) UU ITE, saat pihaknya memberikan bukti foto intim korban ke penyidik, polisi yang lain justru ikut campur ingin tahu.

“Kita sengaja blur di bagian sensitifnya korban. Kita blur, kita sampaikan ke penyidik ini ada salah satu apa namanya, bukti gitu yang menjadi dasar gitu buat kita laporan. Terus kemudian polisi yang di samping-sampingnya ini tadinya dia mainan HP tadinya dia lagi entah ngerjain apa, ngetik-ngetik, langsung pada kepo,” kata Said.

Bahkan, dalam Catatan Tahunan (Catahu) Komnas Perempuan 2023 disebutkan, suatu kasus NCII yang diputus oleh pengadilan dengan pasal 27 ayat (1) UU ITE mencantumkan bukti dokumen elektronik yang memuat foto-foto payudara dan vagina korban dalam direktori putusan Mahkamah Agung (MA).

Lebih daripada itu, berkas yang bisa diakses publik tersebut juga menuliskan identitas pribadi berupa nama dan alamat lengkap korban. Hal ini tentu mengindikasikan bahwa persoalan privasi dalam penanganan kasus KBGO sama sekali belum terjamin.

Tirto mencoba menghubungi Irjen Sandi Nugroho selaku Kadiv Humas Polri untuk mengonfirmasi cerita-cerita pendamping di lapangan, namun ia memilih untuk tidak memberi keterangan.

Minim Pengetahuan Aparat soal UU TPKS

Lahirnya UU TPKS setelah perjalanan terjal selama 10 tahun pun tak serta merta menjawab persoalan KBGO, lantaran implementasinya yang masih jauh dari ideal. Said dari LBH APIK Jakarta bilang, pihaknya masih menjumpai absennya pengetahuan polisi tentang keberadaan UU TPKS.

“Ya memang mungkin di satu sisi sosialisasi pemerintah kurang begitu gencar terkait dengan undang-undang ini, sehingga memang harusnya juga selain sosialisasi kepada masyarakat, juga harus sosialisasi kepada apa namanya anggota kepolisian ini, khususnya di SPKT [Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu] yang biasanya menerima pertama nih,” kata Said.

Padahal, pasal 14 UU TPKS telah mengatur tentang KBGO, di mana pelaku yang merekam dan/atau mengambil gambar atau tangkapan layar yang bermuatan seksual tanpa persetujuan orang yang menjadi objek bisa diganjar pidana penjara paling lama 4 tahun dan denda paling banyak Rp200 juta.

Hukuman yang sama juga berlaku bagi pelaku yang mentransmisikan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang bermuatan seksual di luar kehendak penerima yang ditujukan terhadap keinginan seksual, dan pelaku penguntitan untuk tujuan seksual.

Menyoal minimnya pemahaman aparat mengenai UU TPKS jelas ironis ketika kasus KBGO diketahui terus merangkak naik dari tahun ke tahun.

Komnas Perempuan mencatat, selama lima tahun terakhir, aduan kasus KBGO yang mereka terima melonjak sebesar 94,28 persen, dari 97 kasus pada 2018 menjadi 1.697 kasus pada 2022.

Apabila dirinci, dari 1.967 kasus itu, pelaku KBGO banyak didominasi oleh mantan pacar dan teman di media sosial. Seperti halnya dialami Ara, KBGO bukan mustahil dilakukan oleh orang tak dikenal, yang jumlah laporannya ke Komnas Perempuan mencapai 304 kasus, masuk dalam posisi tertinggi ketiga.

Kendati menunjukkan tren kenaikan, korban KBGO bisa dikatakan jarang mengambil jalur litigasi atau lapor ke polisi. Sebagaimana tergambar dalam laporan tahunan LBH APIK Jakarta, pada 2022, lembaga itu hanya menangani 8 kasus KBGO secara litigasi.

Proporsinya jauh ketimbang jumlah kasus yang ditangani secara non-litigasi, yakni mencapai 495 kasus. Bentuk non-litigasi yang dimaksud mencakupi somasi, layanan psikologi, dan rujukan ke lembaga keamanan digital atau lembaga jaringan.

Publik memang terbukti masih punya skeptisisme saat lapor ke polisi untuk kasus-kasus kekerasan seksual. Hasil survei Tirto yang dilakukan tahun 2022 lalu menangkap, mayoritas alasan korban tidak menempuh jalur hukum atas kasus kekerasan seksual yang dialami yakni karena mereka pesimis kasus akan diusut dengan seadil-adilnya.

Persentase responden yang memilih opsi itu sebesar 44,44 persen, mengekor di belakangnya yakni faktor malu atau takut dianggap aib oleh masyarakat (40 persen).

Kembali ke laporan LBH APIK Jakarta, pada 2022 aduan KBGO yang mereka terima paling banyak berupa ancaman penyebaran gambar atau foto yang bernuansa seksual, disusul dengan ancaman penyebaran dan pemerasan uang dan seksual, serta penyebaran konten intim tanpa persetujuan.

Tren tersebut nampaknya tidak berubah dibanding tahun sebelumnya. Pada 2021, aduan KBGO yang didapat LBH APIK Jakarta pun didominasi oleh kasus ancaman distribusi konten intim, jumlahnya menyentuh 322 kasus, dari total kasus sebanyak 489 aduan.

Artikel ini didukung oleh Koalisi Serius untuk revisi UU ITE

==

Bila pembaca memiliki saran, ide, tanggapan, maupun bantahan terhadap klaim Periksa Fakta dan Periksa Data, pembaca dapat mengirimkannya ke email factcheck@tirto.id.

Baca juga artikel terkait PERIKSA DATA atau tulisan lainnya dari Fina Nailur Rohmah

tirto.id - Hukum
Penulis: Fina Nailur Rohmah
Editor: Farida Susanty