tirto.id - Ketika melihat kain yang terpajang di etalase toko pakaian, mungkin hanya sedikit dari kita yang berpikir tentang asal kain tersebut atau bagaimana benda tersebut diproduksi. Hal pertama yang muncul dalam benak justru harga, tampilan, atau cara mencucinya. Namun, komunitas pemerhati lingkungan dan sekelompok usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) yang tengah menjajakan hasil tangannya di tengah padatnya Canggu punya pemikiran berbeda.
Mereka memandang industri yang memproduksi pakaian dengan cepat (fast fashion) sebagai penyumbang terbesar limbah di bidang mode dan seni kriya. Ketika mode atau tren sudah mulai usang, pabrik-pabrik tersebut mencetak pakaian lainnya sehingga masyarakat kembali terpikat dengan koleksi busana baru. Pakaian-pakaian jenis lama pun akan menumpuk di dalam lemari, perlahan terlupakan seiring waktu bergulir.
“Sebenarnya ini kisah jutaan orang, mereka selalu mencari pakaian-pakaian baru kalau bosan pakainya, ukuran atau gayanya sudah tidak cocok. Sekarang limbah yang dihasilkan industri fashion di Indonesia berpotensi mencapai 39.000.000 ton per tahunnya,” kata Annisa Fauziah, anak muda yang tergabung dalam komunitas pegiat sustainable fashion, TRI Cycle, kepada Kontributor Tirto, Sabtu (7/12/2024).
Setelah menjadi limbah, onggokan kain tersebut berakhir menyedihkan di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) atau dibakar sebagai residu. Ironisnya, menurut Annisa, hanya 12 persen yang diselamatkan melalui daur ulang, sementara selebihnya menggunung bersama sampah-sampah lainnya dan menjadi racun bagi lingkungan.
Lebih lagi, menilik kondisi TPA Suwung—salah satu pembuangan akhir sampah yang terbesar di Pulau Dewata—dengan tinggi gunungan sampah mencapai 35 mdpl (meter di atas permukaan laut), tentu penambahan limbah pakaian menjadi suatu hal yang dikecam oleh aktivis-aktivis lingkungan. Akhir-akhir ini, barulah masyarakat Bali tersadarkan dengan limbah dan sampah yang kian mencemari lingkungan.
“Waktu itu (tahun 2016), ngejelasin ke orang tentang apa itu sustainability, apa itu usaha sosial, dan apa itu serat yang ramah lingkungan untuk kain, itu masih susah sekali. Sekarang, kita lihat sudah banyak brand lokal yang mempraktikkan sustainability,” tutur pegiat lingkungan tersebut.
Annisa sendiri sedang menginisiasi Sustainability Fashion Fest (SFF) yang diklaim sebagai penyelenggaraan festival fashion berkelanjutan pertama di Indonesia. Rekornya, dia berhasil menggandeng lebih dari 40 UMKM lokal di bidang kriya ramah lingkungan untuk menjajakan produknya. Bersama dengan penyelenggaraan workshop, inisiator TRI Cycle itu berharap display UMKM tersebut dapat menarik lebih banyak masyarakat ke dunia sustainable fashion.
“Masyarakat sekarang terbagi menjadi beberapa kubu. Ada yang paham, tetapi belum mempraktikkan. Ada yang masih belum paham sama sekali. Ini yang kita rangkul, agar mereka paham dan mulai mempraktikkan,” terangnya.
Stan bambu di sisi depan La Brisa, Canggu menjadi salah satu outlet UMKM dalam festival tersebut yang menarik perhatian, sebab seluruh barang yang dijajakan dominan dirancang dengan terapan teknik eco-print. Hardi Utomo, pemilik Bali Fine Craft, mengatakan usaha dengan bahan-bahan alami ini sudah dia jalankan semenjak Januari 2019.
“Jadi, kain eco-print ini merupakan kain yang dibuat menggunakan pewarna alami dan motifnya berasal dari dedaunan segar, sehingga produk ini bisa dikatakan sebagai produk yang ramah lingkungan,” jelasnya sembari tersenyum ketika ditemui Tirto di Canggu, Sabtu (7/12/2024).
Proses pembuatan kain eco-print, Hardi mengungkap, memang cukup panjang. Sekiranya 7 hingga 12 hari dihabiskan untuk mencoreng kain-kain tersebut dengan pewarna alami dan dedaunan segar. Sekali produksi, kain yang dihasilkan memiliki panjang sekiranya 20 meter dan ditujukan lagi untuk diolah menjadi tas, baju, dompet, dan lainnya.
“Kain yang kami gunakan itu 20 meter per minggu, sekali produksi. Warna dasarnya itu kami gunakan pewarna alami, misalnya cokelat itu dari kulit kayu tingi, untuk warna hijau dari kulit buah jalawe, untuk kuning dari kulit kayu tegeran. Ini nature semua,” bebernya.
Setelahnya, Hardi mulai antusias bercerita tentang proses pembuatan kain berbahan dasar ramah lingkungan tersebut. Ada enam tahapan yang harus dilalui sebelum didapatkan kain yang benar-benar siap guna, mulai dari penghilangan senyawa kimia, membuka pori-pori kain, pemberian motif dan warna dengan dedaunan, hingga pencucian untuk menghilangkan sisa-sisa perwarna.
“Ini semua tergantung ketebalan kainnya. Makin tebal, maka makin lama,” ucap Hardi di akhir penjelasannya.
Melalui Bali Fine Craft, sembari meraup omzet hingga Rp3 juta per bulannya, Hardi ingin menonjolkan dampak yang dibawa produknya terhadap lingkungan hidup. Dia melihat potensi eco-print sebagai buah tangan khas Pulau Dewata sekaligus ajang memperkenalkan upaya pelestarian lingkungan melalui pesan-pesan tersirat.
Namun, Hardi menyayangkan, produk berbahan alami seperti eco-print masih belum familiar di telinga warga lokal. Produk Bali Fine Craft pun masih lebih laris di kalangan wisatawan asing yang bertandang ke Bali, ketimbang warga lokal atau pengunjung domestik. Apresiasi pun lebih sering diberikan oleh turis-turis mancanegara yang mampir ke stan miliknya.
Padahal pemerintah, baik di Provinsi Bali maupun di Kota Denpasar, sudah menyelenggarakan berbagai festival dan bazar berskala besar untuk mendongkrak pelaku UMKM yang bergerak di bidang sustainable fashion. Bahkan di September lalu, Hardi mengungkit, Bali Fine Craft sempat terjun ke ajang Kriya Nusa oleh Dewan Kerajinan Nasional di Jakarta Convention Centre (JCC).
“Untuk masyarakat lokal, tolong cintai produk dalam negeri dan lebih cintai yang sustainable,” pungkasnya.
Kementerian Perindustrian Beri Dukungan
Perkembangan UMKM lokal yang bergerak di bidang mode dan kriya di Pulau Dewata mendapat apresiasi dan atensi dari Unit Pelaksana Teknis (UPT) Kementerian Perindustrian Republik Indonesia, yakni Balai Pemberdayaan Industri Fesyen dan Kreatif (BPIFK) atau yang lebih dikenal dengan sebutan Bali Creative Industry Center (BCIC).
Kepala BCIC, Dickie Sulistya Aprilyanto, mengatakan langkah untuk melanggengkan bisnis sustainable fashion adalah dengan menjangkau lebih banyak masyarakat agar peka.
“Ini salah satu cara yang kami lihat penting, bagaimana kita menjangkau masyarakat terhadap produk yang benar-benar sustainable,” lontar Dickie.
Dickie mengakui, mengangkat pelaku dalam industri sustainable fashion ke mata publik punya tantangan sendiri. Masyarakat telanjur ditelan stigma bahwa produk yang berorientasi kepada lingkungan punya biaya yang jauh lebih bengkak dibandingkan fast fashion. Oleh sebab itu, pelakon industri sustainable fashion perlu bermain dengan nilai-nilai unik yang mereka miliki.
“Para pelaku sustainable fashion perlu diajarkan bagaimana mem-branding dan mengomunikasikan value yang dimiliki masing-masing merek,” kata dia.
Salah satu caranya, pemerintah—melalui BCIC—menghadirkan inkubator bisnis (creative business incubator) untuk UMKM. Melalui program tersebut, usaha-usaha kecil dan menengah diberikan pendampingan bisnis, pengembangan produk baru, dan bantuan pemasaran.
“Bisa membantu pemilik brand untuk bisa menyusun konsep dan mengeksekusi bagaimana strategi membangun brand dan mengomunikasikan value kepada konsumen,” terangnya.
Apresiasi lantas dilontarkan oleh Dickie untuk pengembangan sustainable fashion yang mulai lepas landas di Pulau Dewata. Menurutnya, industri mode dan kriya berbasis lingkungan mampu mendukung visi Indonesia Emas 2045 yang pemerintahan Presiden Prabowo Subianto usung dan target net zero carbon emission yang sudah bergaung sejak lama.
Dickie berharap, industri sustainable fashion bisa bertumbuh, sehingga semakin banyak UMKM yang terlibat di dalamnya. Selain itu, keberadaan sustainable fashion makin gencar diupayakan untuk memperkaya budaya sembari mengusung konsep keberlanjutan lingkungan.
“Kalau kami lihat, sebenarnya generasi saat ini sudah peduli terhadap produk sustainable. Ini masih ada potensi yang bisa digali lebih luas lagi, dan tentunya para pelaku UMKM sustainable ini perlu terus didukung,” pungkasnya.
Penulis: Sandra Gisela
Editor: Anggun P Situmorang