tirto.id - Pernahkah kamu bertanya-tanya, berapa banyak cerita yang tersemat di balik setiap helai pakaian yang kita pakai?
Dari bahan, warna, hingga pola, setiap pakaian memiliki jejak perjalanan yang panjang sampai akhirnya mereka menjadi bagian penting yang sehari-hari melekat di tubuh kita.
Di dunia yang serba cepat ini, fesyen pun terus berubah, membuat kita cenderung selalu ingin ikut tren terbaru.
Namun di balik semua itu, ada hal-hal yang jarang terlihat, seperti dampak besar dari proses produksinya.
Industri tekstil ternyata punya andil yang signifikan terhadap kelestarian lingkungan.
Melansir National Geographic, aktivitas industri fesyen menyumbang sekitar 20 persen dari pencemaran air bersih global akibat penggunaan bahan kimia pada pewarna dan proses produksinya.
Tak hanya itu, proses-proses ini juga berkontribusi pada 10 persen emisi karbon dunia. Artinya, tentu saja, proses pembuatan pakaian-pakaian cantik yang kita kenakan selama ini turut berpengaruh terhadap perubahan iklim.
Melihat realitas ini, desainer tekstil dan fesyen Merdi Sihombing mengupayakan pendekatan berbeda lewat konsep eco-fashion.
Konsep eco-fashion Merdi dapat kita telusur lebih jauh melalui pameran “The Flying Cloth” yang merangkum perjalanan kreatifnya selama ini.
Pameran berlangsung dari 11 hingga 24 November di Museum Nasional Indonesia, Jakarta.
Bagi Merdi Sihobing, “The Flying Cloth” bukan sekadar pameran tekstil, melainkan sebuah selebrasi yang merangkum 25 tahun perjalanannya berkarier, menjalin kolaborasi dengan komunitas, sekaligus upaya pelestarian budaya.
“Dalam setiap lembar kain yang ditampilkan, ada cerita tentang pelestarian, kebanggaan budaya, dan upaya untuk menghadirkan fesyen yang tidak merusak alam,” ujarnya.
Berbekal pengalamannya sejak 2008 di empat kabupaten di Sumatra Utara, yaitu Toba, Samosir, Tapanuli Utara, Tapanuli Selatan, Merdi melihat langsung dampak negatif dari pencemaran tekstil berbahan kimia yang mencemari aliran air.
“Saya menemukan bahwa, yang namanya pencemaran tekstil, berbahan kimia itu harus disadari, berbahaya. Mereka membuang itu ke selokan-selokan,” tegasnya.
Merdi kemudian memutuskan berkolaborasi dengan produsen serat tencel, Lenzing, untuk merevitalisasi ulos, kain tradisional Batak, yang lebih ramah lingkungan. Revitalisasi ini kemudian menjadi salah satu fokus utama dari karya Merdi.
Merdi mengembangkan ulos yang lebih ramah lingkungan dengan menggunakan benang kapas, sutra, dan pewarna alami dari tanaman endemik.
Proyek ini tidak hanya melestarikan ulos, tetapi juga memperkenalkan teknik dan bahan baru yang sejalan dengan prinsip eco-fashion.
Sebagai orang Batak, Merdi juga merasakan tanggung jawab untuk menjaga dan memperkenalkan ulos kepada generasi muda dan dunia internasional.
Pengerjaan tenun dari beberapa komunitas di Sumatra Barat, yang dapat memakan waktu hingga 6 bulan untuk satu kain karena pewarnaan alami kompleks, menjadi tantangan kelestarian kain ini.
Merdi melihat bahwa kekuatan perempuan dalam budaya tidak hanya penting bagi tradisi, akan tetapi juga bagi pembangunan komunitas.
Hal ini ia buktikan dengan langkahnya untuk mendirikan Yayasan Merdi Sihombing yang berfokus pada edukasi dan pemberdayaan pengrajin lokal pada 2007.
Salah satu inisiatifnya di sana adalah membangun Weaving Center di Desa Lumban Suhi-Suhi sebagai pusat edukasi tenun dan destinasi wisata budaya.
Melalui proyek ini, Merdi berharap generasi muda dapat terinspirasi untuk melanjutkan tradisi tenun sambil tetap beradaptasi dengan perkembangan zaman.
Selain Weaving Center, Merdi juga pernah menjalankan proyek Purun Goods. Tujuannya untuk mengangkat tanaman purun sebagai sumber daya ekonomi berkelanjutan.
Bekerja sama dengan Badan Restorasi Gambut (BRG) dan UNDP, Merdi melibatkan perempuan di komunitas adat di Sumatra Selatan dan Kalimantan Selatan untuk mengolah purun menjadi produk bernilai tinggi, seperti tas dan aksesoris.
“Saya sebagai desainer benar-benar selalu melek terhadap apa perkembangan di global. Saat ini, ternyata tren global itu indigenous fashion, di dalamnya itu ada eco-fashion, kemudian, yang menjaga keberlangsungan itu adalah masyarakat adat, perempuan,” ujar Merdi.
Tren indigenous fashion dapat dilacak dengan semakin banyaknya model yang merupakan penduduk asli atau berasal dari suku asli. Salah satunya adalah Quannah Chasinghorse, model dan aktivis indigenous pertama asal Amerika yang menjadi model untuk rumah mode Chanel.
Di Met Gala 2022, perempuan keturunan suku Oglala Lakota dan Han Gwich'in ini mengusung budaya asli Amerika Utara ke panggung dunia.
Chasinghorse mengenakan perhiasan berbahan cangkang dentalium dan kulit asap, serta aksesosis bulu elang yang memiliki makna mendalam bagi masyarakat adat Amerika.
Di Indonesia, Merdi menyoroti potensi besar yang dimiliki Indonesia dalam indigenous fashion lewat kekayaan budaya yang tersebar di seluruh wilayahnya.
“Indonesia memiliki kekayaan budaya yang luar biasa, dengan masyarakat adat yang begitu beragam, masing-masing menyimpan potensi besar yang belum tergali sepenuhnya,” ujar Merdi.
Ia melanjutkan, “Dari ujung barat hingga timur Nusantara, tiap suku memiliki warisan tekstil dan seni hias yang unik, yang dapat diperkenalkan dan dipersembahkan kepada dunia.”
Dengan lebih dari 300 motif tekstil tradisional, Merdi melihat Indonesia memiliki potensi luar biasa untuk menjadi pusat fesyen berbasis budaya di panggung dunia.
“Kita memiliki warisan yang sangat berharga. Mari kita jadikan warisan nusantara sebagai jendela dunia untuk melihat keindahan dan kekayaan budaya Indonesia,” ujarnya.
Dunia eco-fashion menjadi perhatian Merdi pada 2001 silam, kala ia menempuh pendidikan di Fakultas Serni Rupa, IKJ, untuk memperdalam ilmu kriya tekstil. Dari situlah, Mardi mulai tertarik untuk memperkenalkan kain tenun tradisional yang menggunakan pewarnaan alami.
Pendidikan tersebut memperkaya pengetahuannya tentang pewarnaan alami dan memperkenalkan dirinya pada pendekatan kolaboratif dengan komunitas-komunitas pengrajin di berbagai wilayah di Nusantara.
Koleksi wastra memukau hasil dari perjalanan kreatif 25 tahun Merdi Sihombing bisa disaksikan di Museum Nasional Indonesia hingga 24 November 2024.
Penulis: Ahmad Haetami
Editor: Sekar Kinasih