Menuju konten utama

Beragam Keluhan Layanan BPJS Kesehatan dan Solusi yang Dinanti

BPJS kesehatan mendapat berbagai keluhan dari masyarakat terkait buruknya pelayanan dan diskriminasi pasien. Bagaimana sebenarnya?

Beragam Keluhan Layanan BPJS Kesehatan dan Solusi yang Dinanti
Petugas membantu warga mengurus layanan kesehatan di Kantor Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan Cabang Jakarta Pusat, Jakarta, Jumat (6/10/2023). ANTARA FOTO/Reno Esnir/tom.

tirto.id - Sejak 2022, Rizky (bukan nama sebenarnya) memilih untuk menonaktifkan kepesertaan BPJS Kesehatannya dengan cara tidak membayarkan iuran setiap bulannya. Pria asal Bekasi, Jawa Barat itu lebih memilih menggunakan asuransi milik swasta ketimbang memakai BPJS Kesehatan untuk sekedar urusan berobat atau sakit.

Rizky mengaku punya riwayat buruk terhadap layanan di salah satu klinik dan rumah sakit rekanan BPJS Kesehatan. Ia bercerita, pada saat pertengahan 2018 lalu, anaknya sempat jatuh sakit. Saat itu, ia membawanya ke klinik terdekat kediamannya berada di Kecamatan Setu, Bekasi. Alih-alih mendapat tindakan, ia justru dialihkan untuk mencari klinik lain.

“Alasannya nggak masuk akal menurut saya waktu itu, karena tidak ada yang nanganin” ujar pria berusia 31 tahun tersebut kepada Tirto, Jumat (3/1/2024).

Tak mau berdebat, ia akhirnya memutuskan untuk pergi ke rumah sakit yang jaraknya lumayan jauh berkisar 20-25 menit. Sesampainya di rumah sakit tersebut, ia kemudian harus antri dan menunggu lama lantaran banyak pasien yang menggunakan BPJS Kesehatan. Butuh setidaknya waktu 1-2 jam kemudian, baru kemudian anaknya mendapatkan pemeriksaan.

“Prosedurnya di RS itu lama dan ribet menurut saya. Beda kalau dengan pasien umum atau menggunakan asuransi nggak pakai ribet-ribet,” ucap dia.

Keluhan lainnya terhadap kepesertaan BPJS Kesehatan juga sempat ramai diperbincangkan di salah satu aplikasi X (dulu bernama Twitter). Aturan baru yang diberlakukan BPJS Kesehatan membuat netizen berpikir untuk memilih gunakan asuransi milik swasta. Ini lantaran BPJS Kesehatan merilis ada 144 penyakit yang diklaim tidak bisa langsung dirujuk ke rumah sakit atau fasilitas kesehatan rujukan tingkat lanjutan (FKRTL).

Nantinya, peserta Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang didiagnosis terkena penyakit tersebut mau tidak mau harus mendapatkan pengobatan di fasilitas kesehatan tingkat pertama (FKTP).

“BPJS tidak bisa diandalkan lagi nih. Kalau gini ceritanya, please sharing dong, asuransi kesehatan swasta yang sistem dan preminya nggak beda jauh sama BPJS,” tulis akun @tanyakanrl dikutip Tirto.

Selain keluhan-keluhan tersebut, hal lain turut mendapat sorotan masyarakat adalah adanya pernyataan pegawai BPJS Kesehatan yang mengaku menggunakan asuransi swasta untuk berobat. Meski tidak menyebutkan nama pegawai, akun tersebut mengaku menggunakan asuransi non-BPJS Kesehatan karena kecepatan pelayanan.

Koordinator Advokasi BPJS Watch, Timboel Siregar, melihat banyaknya keluhan dari masyarakat terhadap pelayanan BPJS Kesehatan itu karena ketidakpuasan terhadap layanan diberikan baik di FKTP maupun rumah sakit. Sebab, berdasarkan aduan diterima BPJS Watch sengkarut pelayanan rumah sakit yang buruk terhadap peserta BPJS Kesehatan dilakukan secara beragam.

Timboel mencontohkan, mulai dari obat yang seharusnya dikasih untuk 30 hari menjadi hanya tujuh hari. Kemudian banyak pasien yang belum layak pulang, justru disuruh pulang setelah mendapatkan perawatan tiga sampai empat hari di rumah sakit. Belum lagi, ada item-item kesehatan lain yang dibebankan atau disuruh beli secara mandiri.

“Jadi persoalannya memang bagaimana terkait dengan pelayanan ya menurut saya itu memang harus benar-benar yang menjalankan pengawasan,” ujar Timboel, saat dihubungi Tirto, Jumat (3/1/2025).

Timboel menekankan, memang seharusnya ini menjadi tanggungjawab pemerintah atau BPJS Kesehatan untuk melakukan upaya pengawasan di lapangan. Karena menurutnya tidak semua rumah sakit itu adalah ‘malaikat’. Banyak juga rumah sakit-rumah sakit yang cenderung nakal dan melakukan diskriminatif terhadap peserta aktif BPJS Kesehatan.

Perpanjangan SIM dengan menyertakan BPJS kesehatan

Warga memperlihatkan Surat Izin Mengemudi (SIM) dan kartu Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) kesehatan atau JKN saat mengurus perpanjangan SIM di Polresta Banda Aceh, Aceh, Rabu (3/7/2024). Polri melakukan masa uji coba pembuatan dan perpanjangan SIM A, B dan C dengan menyertakan BPJS kesehatan atau JKN di provinsi Aceh, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, DKI Jakarta, Kalimantan Timur, Bali, dan Nusa Tenggara Timur (NTT) sejak 1 Juli hingga 30 september 2024. ANTARA FOTO / Irwansyah Putra/Spt..

Padahal jelas, kata Timboel dalam Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit, tidak boleh diskriminasi. Bahkan dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan juga disebutkan dilarang diskriminasi terhadap pasien. Artinya keselamatan pasien harus didahulukan tidak memandang ia merupakan peserta BPJS maupun bukan.

“Tapi kan faktanya suka terjadi diskriminasi. Nah itu kan semuanya perilaku rumah sakit. Jadi memang ada peran serta BPJS yang mengawal itu. BPJS tugasnya juga melakukan pengawasan, menerima laporan, keluhan daripada pasien,” jelas dia.

Namun, dalam hal urusan pelayanan, pemerintah menjamin tidak akan membeda-bedakan pasien. Lewat Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 59 tahun 2024 tentang Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) aturan itu mengamanatkan pelayanan kesehatan peserta BPJS Kesehatan berlaku Kelas Rawat Inap Standar (KRIS).

Tujuan perpres ini adalah menjamin masyarakat sebagai peserta BPJS Kesehatan agar mendapatkan perlakuan yang sama. Perlakuan yang sama tersebut di antaranya melalui sarana dan prasarana untuk ruang rawat inap yang disebut dengan Kelas Rawat Inap Standar (KRIS).

Setidaknya ada 12 komponen yang harus dipenuhi oleh fasilitas kesehatan untuk mencapai KRIS. Sebagian fasilitas kesehatan sudah memenuhi 12 kriteria tersebut tetapi masih ada yang belum memenuhi kriteria tersebut. Implementasi ini pun masih dalam proses.

Sementara untuk sampai dengan 1 Juli 2025, sistem kelas rawat inap di rumah sakit di Indonesia untuk peserta BPJS Kesehatan masih dibagi menjadi tiga kategori, yaitu kelas 1, kelas 2, dan kelas 3.

Terkait 144 penyakit yang terdaftar sebagai jenis penyakit yang tidak bisa dirujuk ke tingkat fasilitas kesehatan (faskes) lanjutan, setidaknya bisa dikategorikan menjadi tiga jenis yakni kesehatan reproduksi dan KIA (Kesehatan Ibu dan Anak), Penyakit Menular dan Penyakit Tidak Menular. Tiga jenis penyakit ini dikategorikan oleh WHO dalam kerangka kerja ‘Tracking Universal Health Coverage: Global Monitoring Report’ sebagai tiga dari empat indikator keberhasilan dalam mencapai kesehatan semesta atau Universal Health Coverage (UHC).

“BPJS selaku lembaga pemerintah yang menyelenggarakan JKN mesti berhati-hati dalam pengelolaannya,” kata Peneliti Institute for Demographic and Poverty Studies (IDEAS) bidang Kesehatan Publik, Nuri Ikawati, kepada Tirto, Jumat (3/1/2025).

Berdasarkan laporan WHO dalam Tracking Universal Health Coverage: Global Monitoring Report (2023) skor Indonesia untuk penanganan penyakit menular yaitu TBC dan HIV-antiretroviral therapy sangat rendah, yakni hanya 45 dan 28, sedangkan untuk penyakit tidak menular yang diklasifikasikan menjadi penanganan terhadap hipertensi, diabetes dan pengendalian perilaku merokok Indonesia mendapatkan skor 19, 80 dan 46 secara berurutan.

Secara lebih spesifik, kata Nuri, beberapa provinsi di Indonesia berkontribusi terhadap rendahnya skor ini terutama provinsi dengan sumber daya kesehatan baik fasilitas, fiscal capacity, tenaga kesehatan dan tingkat sanitasi dasar maupun stok obat-obatan yang terbatas sehingga tidak memungkinkan untuk bisa secara efektif menanganinya di tingkat kesehatan pertama.

“Oleh sebab itu, kebijakan untuk membatasi rujukan pasien dengan gejala penyakit – penyakit tersebut justru akan memperparah penanganan lebih lanjut. Hal ini juga kontraproduktif dengan upaya untuk meraih pembangunan kesehatan semesta seperti yang telah dicanangkan melalui JKN,” jelas Nuri.

Namun berdasarkan klarifikasi pihak BPJS Kesehatan, 144 daftar penyakit tersebut tetap bisa mendapat rujukan ke faskes lanjutan jika ada indikasi kebutuhan pemeriksaan lebih lanjut. Meskipun demikian, BPJS merekomendasikan agar klaster penyakit tersebut bisa diselesaikan di faskes tingkat pertama.

“Jika kondisi peserta membutuhkan pemeriksaan lanjutan atau pemeriksaan khusus, maka nantinya peserta akan diberi rujukan oleh FKTP ke rumah sakit untuk dapat dilakukan pemeriksaan oleh dokter spesialis," ujar Kepala Humas BPJS Kesehatan, Rizzky Anugerah.

Apa Solusi yang Perlu Dipertimbangkan?

Di luar dari kondisi layanan dikeluhkan, kondisi keuangan BPJS Kesehatan memang diperkirakan mengalami defisit. Direktur Utama Badan Penyelenggara Jaminan Sosial atau BPJS Kesehatan, Ali Ghufron Mukti, memperkirakan ada defisit sekitar Rp20 triliun yang dialami oleh perusahaan. Defisit tersebut terjadi selama 2024.

“Nggak banyak (defisit). Mungkin sekitar Rp20 triliun tahun [2024],” ujar Ghufron ketika ditemui di Gedung Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas), dikutip Tempo.

Koordinator Advokasi BPJS Watch, Timboel Siregar, bahkan memperkirakan defisit BPJS Kesehatan pada 2025 akan mencapai Rp30 triliun. Sehingga total defisit diperkirakan dari 2024-2025 mencapai Rp50 triliun. Sementara total aset Jaminan Sosial Kesehatan (JKS) terhitung saat ini sebesar Rp52,40 triliun.

“Nah, 2026 yang akan menjadi masalah nih,” ujar dia kepada Tirto.

Untuk menutup defisit tersebut, maka Timboel menyarankan BPJS Kesehatan meningkatkan pendapatannya dengan memaksimalkan perolehan iuran. Sebab, menurut dia solusi pendapatan utama dana jaminan sosial atau DJS JKN adalah melalui iuran.

“Tapi memang kalau saya sih bilang harusnya 2025 sudah dinaikkan iuran kepesertaan supaya jangan dulu terjadi defisit total, nggak bisa bayar, baru disuntik,” ujar dia.

Sementara, IDEAS menyarankan BPJS Kesehatan dapat menghitung kembali premi yang harus dibayarkan oleh masyarakat dengan memetakan derajat kegawatan suatu penyakit. Dengan demikian, tidak menimbulkan gap yang terlalu jauh antara premi dan klaim.

Selanjutnya, IDEAS juga menyarankan kepada BPJS Kesehatan untuk mendata kembali kepersertaan terutama yang dibiayai oleh APBN dan APBD. Setidaknya ada 42 persen penerima bantuan iuran baik dari APBN dan APBD ini justru menyasar kelompok rumah tangga mampu.

“Tidak kalah penting meningkatkan jumlah kepesertaan terutama dari PBPU dan BP agar bisa menjadi peserta BPJS yang aktif dan tidak melepas kepesertaan ditengah jalan saat pengobatan selesai,” jelas Peneliti IDEAS bidang Kesehatan Publik, Nuri Ikawati.

Tanggapan BPJS Kesehatan Atas Keluhan Warga

Banyaknya keluhan terhadap layanan BPJS Kesehatan mendapat tanggapan dari manajemen. Kepala Humas BPJS Kesehatan, Rizzky Anugerah, mengatakan pelayanan obat bagi peserta yang diberikan selama 30 hari tersebut merupakan pelayanan bagi peserta Program Rujuk Balik (PRB).

"Dalam pelayanan PRB, peserta akan diberikan obat untuk 7 hari kedepan di Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjutan (FKRTL). Jika obat tersebut telah habis dikonsumsi, maka peserta dapat mengambil obat tersebut di apotek PRB," katanya kepada Tirto, ditulis Minggu (5/1/2024).

Rizzky juga menanggapi adanya keluhan pembatasan masa inap di rumah sakit rekanan. Menurutnya, selama ini tidak ada masa batasan waktu yang ditentukan atau menyesuaikan dengan masa penyembuhan serta pemulihan pasien.

"BPJS Kesehatan tidak pernah membuat aturan batas hari rawat inap sampai dengan 3 atau 4 hari. Peserta JKN yang menjalani rawat inap berhak mendapatkan pelayanan hingga kondisi pasien stabil," paparnya.

Untuk memaksimalkan layanan JKN, BPJS Kesehatan bersama mitra fasilitas kesehatan berkomitmen untuk senantiasa memberikan pelayanan yang optimal kepada peserta sesuai dengan hak yang dimiliki oleh peserta. Komitmen tersebut juga berdasarkan Janji Layanan JKN yang telah disepakati bersama oleh fasilitas kesehatan yang telah bekerja sama dengan BPJS Kesehatan.

Terkait, adanya pegawai BPJS Kesehatan yang memilih menggunakan asuransi swasta untuk berobat, Rizzky memilih untuk tidak menanggapi.

"Namun, kami mengimbau kepada peserta yang mengalami kendala saat mengakses layanan di fasilitas kesehatan, khususnya di rumah sakit, peserta bisa melaporkan kepada petugas BPJS SATU! atau BPJS Siap Membantu dengan menggunakan rompi hijau yang ada di rumah sakit," jelas Rizzky.

Baca juga artikel terkait BPJS atau tulisan lainnya dari Dwi Aditya Putra

tirto.id - News
Reporter: Dwi Aditya Putra
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Anggun P Situmorang