Menuju konten utama

Janji Palsu Tunjangan Kinerja, Korbankan Kesejahteraan Dosen ASN

Kemdiktisaintek menegaskan bahwa tahun ini tidak ada anggaran yang dialokasikan untuk tukin para dosen ASN. Kok bisa?

Janji Palsu Tunjangan Kinerja, Korbankan Kesejahteraan Dosen ASN
Anggun Gunawan koordinator aksi ADAKSI di Kemdiktisaintek. tirto.id/M Fajar Nur

tirto.id - Bunga adalah bahasa protes. Sebuah simbol duka sekaligus tanda peringatan. Mungkin itu pula yang hendak disampaikan sejumlah dosen yang tergabung dalam Aliansi Dosen ASN Kemdiktisaintek Seluruh Indonesia (Adaksi). Mereka menggelar aksi simbolik mengirimkan puluhan karangan bunga ke depan Gedung D, Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Kemendiktisaintek), Jakarta.

Pantauan Tirto di lokasi, Senin (6/1/2025) pagi, karangan bunga dipenuhi ucapan dukacita. Bukan sebab ada seseorang yang wafat, namun karena ada harapan yang tamat. Pasalnya karangan bunga itu merupakan ekspresi kekecewaan para dosen ASN Kemdiktisaintek yang disebut batal mendapat tunjangan kinerja (tukin) tahun ini. Padahal, mereka dijanjikan akan menerima pencairan tukin di awal 2025.

Koordinator Adaksi, Anggun Gunawan, mengungkap aksi simbolik ini merupakan ungkapan kekecewaan atas ketidakjelasan realisasi tukin dosen ASN yang sudah diregulasikan sejak 2020 lewat Permendikbud Nomor 49 tahun 2020. Bahkan pada 2024 lalu, dosen ASN telah dijanjikan akan mendapat tukin pada awal 2025, lewat terbitnya Keputusan Mendikbudristek Nomor 447/P/2024 tentang Nama Jabatan, Kelas Jabatan, dan Pemberian Besaran Tunjangan Kinerja Jabatan Fungsional Dosen di Kemendikburistek.

Aturan ini dilahirkan di penghujung masa jabatan Mendikbudristek, Nadiem Anwar Makarim. Kini, Kemdiktisaintek sudah berdiri sendiri, terpisah dengan Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah; serta Kementerian Kebudayaan. Dalam Kepmen 447/P/2024 masa Nadiem itu, sudah jelas tertera bahwa dosen ASN mendapatkan tukin sesuai jabatan. Yakni jabatan asisten ahli dengan kelas jabatan 9 mendapat tunjangan kinerja Rp5 juta per bulan; lektor Rp8,7 juta per bulan; lektor kepala Rp10,9 juta per bulan; dan profesor Rp19,2 juta per bulan.

Namun, semua pupus akhir pekan lalu. Kemdiktisaintek menegaskan bahwa tahun ini tidak ada anggaran yang dialokasikan untuk tukin para dosen ASN. Kemdiktisaintek juga menilai regulasi yang sudah dikeluarkan pada era kepemimpinan sebelumnya tidak dapat menjadi acuan. Anggun Gunawan menilai kekacauan ini sebagai bentuk ketidakjelasan pemangku kebijakan yang justru mengorbankan para dosen ASN.

“Kita jadi kecewa ya dan kendor ya. Karena kan kita saat tahun kemarin audiensi Kepmen itu sudah ada dari direktorat sumber daya dan harusnya bulan Januari sudah cair, sudah dianggarkan,” kata Anggun ditemui Tirto di depan Kantor Kemdiktisaintek saat aksi simbolik.

Menurutnya, perubahan nomenklatur kementerian tidak serta-merta membuat aturan yang sudah diperjuangkan untuk kesejahteraan dosen ASN, sia-sia belaka. Pasalnya, Kepmen itu dibuat sebelum penganggaran 2025 dan saat itu para dosen sudah diinformasikan hal itu sudah diajukan ke Kementerian Keuangan. Tiba-tiba menjadi berubah dan seolah mulai dari nol lagi, ini yang tidak masuk logika para dosen ASN.

Aksi damai ADAKSI

Aksi damai ADAKSI di depan Kemdiktisaintek, Jakarta, Senin (6/1/2024). tirto.id/M Fajar Nur

Tahun lalu, Kemendikbudristek menyatakan tukin dibayarkan untuk dosen ASN di perguruan tinggi negeri (PTN) satuan kerja (satker) dan dosen ASN di Perguruan Tinggi Negeri (PTN) Badan Layanan Umum (BLU) yang tidak dapat remunerasi. Kala itu, dosen ASN melakukan protes berulang kali ke Kemendikbudristek, karena hanya mereka yang tidak mendapatkan tukin. Padahal, dosen kementerian atau lembaga pemerintah lainnya mendapat tukin.

Sebagai informasi, para dosen yang bekerja di PTN-BLU dan PTN-BH [Berbadan Hukum] mendapatkan remunerasi. Namun, dari fakta di lapangan, dosen PTN BLU masih ada yang tidak mendapat remunerasi atau jumlah yang diterima sangat kecil.

Sayangnya, pernyataan Kemdiktisaintek pekan lalu, membuat nasib pencairan tukin dosen ASN di PTN satker Kemdiktisaintek serta PTN BLU semakin samar. Pasalnya, Pelaksana Tugas Sekretaris Jenderal (Sekjen) Kemdiktisaintek, Togar M Simatupang menyatakan pihaknya belum ada dana untuk pencairan tukin 2025 bagi dosen ASN. Dia menilai kementerian terdahulu tidak bisa menganggarkan tukin karena nomenklatur dan kejelasan kebijakannya tidak ada.

“Ini gimana sih sebenarnya dari pemerintah. Sementara bilangnya nggak ada anggaran, dan teman-teman berharapnya Januari sudah masuk sesuai janji tahun lalu,” kata Anggun.

Anggun menuturkan, pencairan tukin akan meningkatkan kesejahteraan dosen ASN. Karena saat ini mereka hanya mendapat gaji di kisaran Rp2 juta hingga Rp4 juta per bulan. Jumlah ini pada beberapa daerah, bahkan di bawah angka upah minimum pekerja. Tak sedikit, kata dia, sejumlah dosen ASN mengakali situasi ini dengan ‘mengamen’ lewat cara mengajar di universitas swasta yang membuat fokus mereka jadi terpecah-pecah.

Bahkan dosen-dosen ASN di daerah, harus bekerja sebagai ojek daring dan berjualan demi memenuhi kebutuhan harian. Anggun juga menyatakan banyak dosen yang akhirnya terlilit pinjaman daring. Ia sendiri merupakan dosen ASN PPPK di Politeknik Negeri Media Kreatif (Polimedia) Jakarta. Namun, karena gaji yang diterima tidak mencukupi dan tanpa tukin, dia harus mengajar juga di kampus lain seperti Universitas Indonesia dan Universitas Terbuka.

Anggun berharap pemerintah konsisten dengan janjinya. Ia mengingatkan rencana ambisius pemerintah di sektor pendidikan bakal sulit tercapai jika pengajar seperti dosen, diabaikan nasibnya. Amat miris, ungkap dia, tenaga pembantu di kampus seperti administrasi atau staf laboratorium saja sudah mendapatkan tukin ketika SK ASN mereka turun. Sementara dosen ASN dibiarkan mengais-ngais nasib memenuhi kebutuhan hidup.

“Ada sampai 4 tahun teman-teman itu bekerja sebagai dosen, itu malah banyak yang belum dapat sertifikat juga. Dan itu pun kan cuma satu kali gaji. Sehingga kami ingin menuntut di kesempatan siang hari ini, kami ingin menagih janji tukin dosen ASN,” tegas Anggun.

Pemerintah Wajib Penuhi Janji

Koordinator Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA), Satria Unggul Wicaksana Prakasa, menilai tukin bagi dosen ASN adalah hak yang seharusnya dipenuhi negara. Menurutnya, kesejahteraan para tenaga pendidik berkaitan erat dengan target dan produktivitas dari dosen itu sendiri. Produktivitas sendiri akan berdampak kepada iklim atau suasana akademik dan ekosistem akademik pendidikan tinggi.

Apabila kemudian tukin dosen ASN dihambat, maka pemenuhan kesejahteraan mereka tak memiliki indikator yang jelas. Ia menilai kusutnya kesejahteraan dosen di Indonesia adalah fenomena gunung es. Tidak hanya dosen ASN di PTN, mereka yang honorer dan mengajar di PTS terkadang juga tidak terjamin kesejahteraannya.

“Mereka tidak fokus, mereka akan kemudian mencari tambahan dari hal-hal yang mungkin bertentangan dengan prinsip integritas akademik. Katakanlah menjadi ahli untuk koruptor, katakanlah menjadi konsultan untuk jurnal predator, atau profesi apapun yang melanggar integritas dan etika akademik,” ucap Satria kepada reporter Tirto.

Nasib buruk muramnya kesejahteraan dosen di PTS, misalnya terkuak di kasus Universitas Bandung yang ramai diperbincangkan pekan lalu. Sekitar 60 pegawai, sekuriti, dan dosen di Fakultas Kesehatan dan Teknik Universitas Bandung belum menerima gaji lebih dari enam bulan. Yayasan Bina Administrasi (YBA), mengakui terdapat masalah pada pembayaran gaji di Universitas Bandung imbas kasus korupsi PIP. Setelah penutupan Fakultas Administrasi Bisnis, pihak yayasan mengakui kehilangan pendapatan. Ada tiga prodi yang ditutup yaitu Prodi Administrasi Publik, Prodi Administrasi Bisnis, dan Magister Administrasi Publik.

Ketua Serikat Pekerja Kampus (SPK), Dhia Al Uyun, menegaskan tukin bukanlah opsi bagi Kemdiktisaintek, melainkan kewajiban yang harus dipenuhi. Ia menduga terdapat informasi tentang tukin yang terputus di lingkup pemangku kebijakan Kemendiktisaintek. Pernyataan Mendikti Saintek dan jajarannya dalam wawancara dengan media nasional, kata dia, sangat menunjukkan komunikasi yang kurang baik dengan menteri sebelumnya.

“Kami sudah menemui Dirjen saat itu dan dijanjikan tukin akan dicairkan, begitu pun Komisi X DPR akan mengusahakan. Seharusnya konsistensi tindakan diperhitungkan kementerian,” kata Dhia kepada reporter Tirto.

SPK mendorong pemerintah untuk memberikan upah layak bagi dosen dengan take home pay minimal Rp10 juta per bulan tanpa melihat status dosen. Standar gaji layak bagi dosen minimum 3 kali dan tenaga pendidik 2 kali lipat dari upah minimum regional di suatu daerah.

Aksi damai ADAKSI

Aksi damai ADAKSI di depan Kemdiktisaintek, Jakarta, Senin (6/1/2024). tirto.id/M Fajar Nur

Dhia menilai pemerintah harus memberikan sanksi pembekuan serta penutupan terhadap kampus – terutama perguruan tinggi swasta – yang tidak memberikan upah layak. Seperti dalam kasus Universitas Bandung yang disebut sebagai bentuk kezaliman yang terjadi di lingkungan pendidikan tinggi.

Padahal, Kemendikbudristek era Nadiem juga sudah menerbitkan aturan Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 44 Tahun 2024. Di dalamnya terdapat aturan untuk menetapkan gaji pokok dosen secara layak sesuai UMP. Aturan mengenai pengangkatan, pemindahan, serta sertifikasi dosen disederhanakan agar bisa meningkatkan otonomi perguruan tinggi dalam menentukan jabatan dosen. Namun, implementasi aturan ini sedang ditunda karena tengah dievaluasi dan dikaji oleh Kemdiktisaintek sejak Desember 2024.

Sementara itu, Pengamat pendidikan Fakultas Ilmu Pendidikan dan Psikologi Universitas Negeri Semarang, Edi Subkhan, memandang alasan batalnya pencairan tukin dosen ASN karena perubahan nomenklatur merupakan dalih yang mengada-ada. Seharusnya kendala ini dapat diantisipasi dan diatasi segera. Toh, kata dia, sebenarnya data dosen sudah ada, tukin yang belum terbayar dari awal hingga sekarang juga sudah pasti datanya tersedia.

Sebab yang berubah hanya nama dari kementerian saja, jadi Kemdiktisaintek hanya tinggal membuat berita acara perubahan nomenklatur yang menjadi dasar legitimasi pembayaran. Hal itu dapat disahkan lewat keputusan presiden atau peraturan pemerintah atau menteri. Jika ada niat, sebenarnya tidak perlu menunggu lama bila sebab utamanya ada perubahan nomenklatur.

“Karena ketika akhir masa jabatan Nadiem besaran tukin bahkan sudah resmi dirilis melalui keputusan menteri nomor 447/P/2024, kok tiba-tiba tidak ada anggaran, tentu aneh. Ada kecurigaan jangan-jangan dialokasikan untuk kementerian lain,” ucap Edi kepada reporter Tirto.

Dihubungi terpisah, Pelaksana Tugas Sekretaris Jenderal Kemdiktisaintek, Togar M Simatupang, menyatakan bahwa persoalan tukin untuk dosen di lingkungan Kemdiktisaintek sudah menjadi pelik karena warisan masalah sejak 2018. Ketika itu, terjadi perubahan nomenklatur dan tidak sempat ditindaklanjuti dengan Perpres serta penyediaan anggaran.

Sampai dengan transisi ke pemerintahan baru, klaim dia, pada tahun lalu juga tak sempat dianggarkan karena dampak pemulihan dari pandemi. Saat masuk ke pemerintahan saat ini yang tidak ikut menentukan anggaran 2025, maka kali ini tukin dosen ASN menjadi prioritas dan memang sedang diupayakan dengan serius.

“Kementerian baru ini menyampaikan kebutuhan anggaran tukin kepada Kemenkeu yang besarnya di atas Rp2 triliun, mengusulkan Perpres kepada MenPan-RB dan Kemhum. [Selain itu] membuat kelas jabatan fungsional sebagai dasar pemberian tukin dengan MenPan-RB, dan rencana implementasi untuk nanti dilaksanakan di masing-masing perguruan tinggi,” jelas Togar kepada reporter Tirto.

Baca juga artikel terkait DOSEN atau tulisan lainnya dari Mochammad Fajar Nur

tirto.id - News
Reporter: Mochammad Fajar Nur
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Anggun P Situmorang