tirto.id - Kejaksaan Agung (Kejagung) akhirnya menetapkan lima korporasi sebagai tersangka kasus korupsi tata niaga timah di wilayah izin usaha pertambangan PT Timah Tbk periode 2015-2022. Lima perusahaan tersebut adalah PT Refined Bangka Tin (PT RBT), PT Stanindo Inti Perkasa (SIP), PT Tinindo Inter Nusa (PT TIN), PT Sariwiguna Binasentosa (PT SBS) serta CV Venus Inti Perkasa (CV VIP).
Surat penetapan tersangka lima korporasi tersebut diteken Kejagung pada 31 Desember 2024.
Dalam kasus ini, kerugian negara yang timbul mencapai Rp300 triliun. Rinciannya: kerugian lingkungan Rp271 triliun, kerugian negara atas pembayaran bijih timah kepada pihak swasta sebesar Rp26 triliun, dan kerugian dari aktivitas kerja sama sewa menyewa alat processingpenglogaman senilai Rp2,2 triliun.
Kejagung menyampaikan bahwa lima perusahaan itubakal dituntut membayar ganti rugi atas kerusakan lingkungan yang ditimbulkannya. Jika dirinci, PT RBT harus membayar ganti rugi sebesar Rp38 triliun, PT SIP Rp24 triliun, PT TIN Rp23 triliun, PT SBS Rp23 triliun, dan CV VIP Rp42 triliun.
Total tuntutan ganti rugi tersebut jika ditotal memang baru mencapai Rp152 triliun. Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Korupsi Kejagung, Febrie Adriansyah, menyatakan sisa kerugian Rp199 triliun masih dihitung oleh BPKP.
“Sedang dihitung oleh BPKP, siapa yang bertanggung jawab [atas sisanya]. Tentunya akan kami tindak lanjuti dan akan segera kami sampaikan ke publik,” kata Febrie dalam konferensi pers di Gedung Kejagung, Jakarta, Kamis (2/1/2025).
Kasus korupsi tata niaga timah sendiri mencakup tiga jenis klaster, yakni terkait sewa alat antara perusahaan swasta dan PT Timah Tbk, transaksi PT Timah Tbk dan pihak swasta, serta perkara kerugian lingkungan hidup.
Menurut Febrie, hakim setuju dengan jaksa bahwa kerusakan lingkungan hidup termasuk sebagai kerugian negara dalam kualifikasi tindak pidana korupsi.
Kejagung menjerat lima korporasi itu dengan Pasal 2 ayat 1 dan Pasal 3 jo. Pasal 18 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
Sementara itu, hingga pekan pertama Januari 2025, Kejagung sudah menetapkan sebanyak 22 individu sebagai tersangka korupsi dan satu orang lagi sebagai tersangka obstruction of justice.
Korporasi Tersangka Korupsi
Penetapan korporasi menjadi tersangka dalam kasus korupsi bukanlahhal baru. Kejagung punya preseden panjang menjerat korporasi dalam perkara tindak pidana korupsi dan pencucian uang. Bahkan, bisa dibilang instansi penegak hukum yang paling awal menyeret perusahaan ke meja hijau adalah kejaksaan, yakni pada 2011 dalam kasus rasuah pengelolaan Pasar Sentra Antasari, Banjarmasin, serta menjerat PT Giri Jaladhi Wana (PT GJW).
Kendati begitu, tersangka korporasitidak mudah dijerat atau dimintai pertanggungjawaban maksimal sebagaimana tersangka individu. Kompleksitas kasus dan celah regulasi tidak jarang membuat tuntutan ganti rugi serta denda terhadaptersangka korporasi berakhir anyep.
Maka dalam pusaran kasus korupsi tata niagatimah itu, Kejagung perlu bekerja ekstra agar tuntutan ganti rugi yang dilayangkan dapat menjerat lima korporasisecara maksimal.
Ketua Indonesia Memanggil Lima Tujuh (IM57+ Institute), Lakso Anindito, menilai langkah Kejagung menjerat lima korporasi sebagai tersangka dalam kasus korupsi tata niaga timah sudah tepat. Langkah itu dinilai dapat memastikan pemulihan aset dilakukan secara lebih optimal dan menyeluruh.
Pasalnya, dengan menjadikan korporasi sebagai tersangka, penegak hukum berpeluang merampas keuntungan yang didapat oleh korporasi tersebut.
“Hal tersebut sesuai ketentuan pada Pasal 18 dan Pasal 20 UU Tindak Pidana Korupsi,” ucap Lakso kepada reporter Tirto, Jumat (3/1/2025).
Selain korporasi, kata Lakso, Kejagung perlu mempertimbangkan untuk melakukan penelusuran penerima manfaat (beneficial owner). Sehingga, pemulihan aset dan penghukuman penerima manfaat transaksi haram bisa dilakukan beriringan.
Dalam pandangan Lakso, penerima manfaat dalam hal ini tidak cuma beneficial owneryang tercatat secara formal, tapi juga yang tersembunyi dan punya peran sebagai pengendali—sesuai Pasal 1 angka 14 UU Tindak Pidana Pencucian Uang.
“Hal tersebut untuk mencegah adanya upaya untuk mengalihkan kekayaan yang dikuasai oleh korporasi ke luar perusahaan,” jelas Lakso.
Statustersangka korupsi bagi perusahaan sendiri merupakan status hukum yang diberikan pada suatu badan hukum, perusahaan, atau organisasi yang diduga melakukan atau terlibat dalam tindak pidana korupsi. Korporasi pun dianggap sebagai subjek hukum yang bertanggung jawab atas perbuatan melawan hukum. Landasan hukumnya bisa ditemukan dalam UU Tipikor.
Bila korupsi dilakukan oleh atau atas nama suatu korporasi, tuntutan dan penjatuhan pidana bisa dilakukan terhadap korporasi dan/atau pengurusnya. Berbeda dari subjek individu, pidana yang dijatuhkan terhadap korporasi hanyalah pidana denda dan pidana tambahan lainnya.
Upaya menjerat korporasi yang terlibat korupsi juga diperkuat dengan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 13 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penanganan Tindak Pidana oleh Korporasi.
Perma Nomor 13/2016 menetapkan bahwa tersangka korporasi yang dapat dijerat tindak pidana merupakan korporasi yang mendapatkan keuntungan dari sebuah tindak pidana, membiarkan terjadinya tindak pidana, dan tidak mencegah terjadinya tindak pidana.
Perma itu juga menyatakan bahwa tersangka korporasi dapat dikenai sanksi berupa denda, pembubaran, perampasan aset, atau sanksi lain sesuai peraturan perundang-undangan.
Ketua Pusat Studi Antikorupsi (SAKSI) Universitas Mulawarman, Orin Gusta Andini, menilai eksekusi tuntutan ganti rugi terhadap tersangka korporasi harus benar-benar dilaksanakan sesuai tenggat waktu yang diberikan. Maka apabila tersangkakorporasi tidak mampu memenuhi vonis denda, harus ada alternatif lain, seperti perampasan barang atau hasil keuntungan tindak pidana.
“Kalau pada saat pemeriksaan sidang dapat dibuktikan, maka kecil kemungkinan korporasi lepas dari jeratan hukum,” kata Orin kepada reporter Tirto, Jumat.
Kejagung harus bisa membuktikan keterpenuhan unsur kesalahan serta keterlibatan tersangka korporasi sebagai pelaku tindak pidana. Menurut Orin, unsur-unsur yang perlu jadi perhatian Kejagung di antaranya adalah keuntungan manfaat yang diperoleh, terjadinya unsur pembiaran, serta apakah kemudian ada pencegahan yang dilakukan korporasi.
Ahli hukum pidana Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, juga mengatakan hal senada. Abdul menilai bahwa konsekuensi menetapkan korporasi sebagai tersangka pidana adalah membuat seluruh aset perusahaan bisa disita sebagai jaminan pelaksanaan hukuman denda.
Namun, Abdul juga menilai bahwa Kejagung punya tantangan untuk membuktikan pidana yang didakwakan pada tersangka korporasi di persidangan. Pidana yang didakwakan itu haruslahkebijakan resmi korporasi, bukan inisiatif orang-perorang.
Siapa saja tersangka tindak pidana–termasuk korporasi–punya kemungkinan yang sama dalam persidangan, yaitu terbukti bersalah dan dihukum atau tidak terbukti sehingga dibebaskan dari tuduhan.
“Kemungkinan yang lain dakwaannya tak diterima dan terdakwa tidak atau belum dihukum, maka jaksa bisa mengajukan dakwaan ulang,” jelas Abdul kepada reporter Tirto, Jumat.
Tantangan Menjerat Korporasi
Menurut peneliti dari Transparency International Indonesia (TII), Bagus Pradana, tersangka korporasi bisa saja lolos saat proses persidangan. Terlebih, pada kasus megakorupsi seperti perkara PT Timah, lapis-lapis kompleksitas akan jadi tantangan bagi Kejagung dalam menjerat maksimal tersangka korporasi yang melakukan tindak pidana.
Beberapa faktor yang dinilai Bagus bisa membuat tersangka korporasi lolos meliputi celah regulasi hukum, prosedur teknis pelaksanaan hukuman, hingga potensi lobi-lobi agar lolos jeratan hukum atau mendapat vonis hukuman ringan di pengadilan.
“Apalagi, kalau kita bicara tindak pidana korporasi kan masih terpencar-pencar regulasinya, belum jadi satu produk hukum yang istilahnya induk,” kata Bagus kepada reporter Tirto, Jumat.
Sementara itu, Peneliti dari Pusat Kajian Antikorupsi (PUKAT) Universitas Gadjah Mada (UGM), Zaenur Rohman, agak pesimistis Kejagung bisa menjerat limatersangka korporasi dalam kasus korupsi tata niaga timah sesuai dengan tuntutan yang telah dilayangkan.
Pasalnya, dalam Pasal 18 UU Tipikor sudah ada penjelasan bahwa pembayaran uang pengganti, jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi.
Zaenur yakin harta benda yang dinikmati para tersangka korporasi itu jumlahnya jauh dari hitungan kerugian lingkungan yang sudah ditetapkan Kejagung. Maka jumlah kerugian yang memungkinkan dikabulkan oleh hakim tidak semaksimal tuntutan Kejagung.
“Sehingga, kerugian lingkungan itu tidak akan bisa pulih selama Pasal 18 Undang-Undang Tipikor itu tidak diubah. Dan itu menjadi tugas dari pemerintah dan DPR,” ucap Zaenur kepada reporter Tirto, Jumat.
Kendati begitu, Zaenur menilai Jaksa Penuntut Umum pada Kejagung bisa melakukan dakwaan maksimal di sisi denda. Itu pun masih jauh dari hitungan kerugian lingkungan yang disebut Kejagung. Ini karena denda maksimal bagi tersangka korporasi sesuai UU Tipikor hanya Rp1 miliar.
Zaenur menilai bahwa kerugian negara dalam perkara PT Timah sulit dikembalikan dengan rezim UU Tipikor saat ini. Namun, dia menilai penegak hukum bisa menyita aset perusahaan agar lebih optimal menjerat tersangka korporasi.
“Saya mendukung, tapi saya katakan ini tidak bisa. Tidak bisa dimintakan segini, segini, segini sesuai angka Kejagung. Ubah dulu UU Tipikor, itu tugasnya Prabowo,” tutur Zaenur.
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Fadrik Aziz Firdausi