Menuju konten utama
Newsplus

Daya Beli Tertekan, Harga Pangan Kian Menggila

Harga pangan naik akibat biaya produksi tinggi, distribusi tidak efisien, dan cuaca buruk. Daya beli konsumen tertekan.

Daya Beli Tertekan, Harga Pangan Kian Menggila
Pedagang menunjukkan cabai rawit yang dijual di Pasar Kosambi, Bandung, Jawa Barat, Senin (29/7/2024). Pedagang mengatakan harga cabai di Kota Bandung mengalami kenaikan sebanyak 90 persen yakni dari Rp50 ribu per kilogram menjadi Rp90 ribu per kilogram, selama 10 hari terakhir yang diakibatkan oleh pasokan dari petani berkurang karena musim kemarau. ANTARA FOTO/Raisan Al Farisi/aww.

tirto.id - Harga pangan yang terhitung tinggi di awal tahun 2025, membunyikan alarm akan rentannya masyarakat kini mengalami krisis daya beli.

Berdasar data Panel Harga Pangan Badan Pangan Nasional (Bapanas), pada Senin (13/1/2025), komoditas yang tercatat mengalami kenaikan harga, di antaranya beras premium yang naik 0,19 persen menjadi Rp15.550 per kilogram, daging sapi murni naik 0,73 persen menjadi Rp136.090 per kilogram, cabai merah keriting yang naik 0,24 persen menjadi Rp50.280, serta cabai rawit merah yang naik 0,32 persen menjadi Rp74.440.

Menurut Ketua Koordinator Warteg Nusantara (Kowantara), Mukroni, penaikan harga komoditas yang paling membuatnya pusing sebagai pengusaha warteg adalah cabai merah keriting dan cabai rawit. Hal ini terjadi karena banyak menu yang dijajakannya membutuhkan cabai, baik sebagai bahan dasar maupun campuran.

"Paling terasa di cabe-cabean yang naiknya hampir 70 persen sejak awal tahun. Kenaikan harga cabai bisa sampai Rp80 ribu, dari sekitar Rp50 ribu," kata dia, saat dihubungi Tirto, Jumat (10/1/2025).

Di Pasar Induk Kramat Jati, pada Kamis (9/1/2025) harga cabai rawit dapat menembus kisaran Rp80 ribu per kilogram dan Rp45-50 ribu per kilogram untuk cabai merah keriting. Sementara di Pasar Pasar Sipon, Cipondoh, Tangerang, rata-rata harga cabai rawit bisa lebih tinggi hingga Rp120 ribu per kilogram pada Selasa (7/1/2025) lalu.

Pun, berdasarkan data historis Bapanas, per September 2024, harga cabai merah keriting hanya Rp34.890 dan cabai rawit merah di Rp45.190, jauh di bawah harganya kini.

Mukroni menambahkan, dengan kenaikan harga-harga pangan tersebut, jelas membuat biaya operasional warteg turut mengalami penaikan. Alhasil, pengusaha warteg harus mencari alternatif bahan baku, mengurangi jumlah porsi, atau terakhir menaikkan harga makanan.

"Demi menekan biaya, warteg mungkin mengurangi porsi seperti kenaikan harga cabai yg mencapai Rp80 ribu per kilo pada masakan atau menggantinya dengan cabai yang lebih murah. Hal ini bisa memengaruhi cita rasa khas yang menjadi daya tarik warteg. Untuk menyesuaikan biaya, warteg terpaksa menaikkan harga jual makanan," jelas dia.

Namun, kenaikan harga ini berisiko mengurangi jumlah pelanggan warteg, terutama dari kalangan menengah ke bawah. Dus, saat jumlah pelanggan turun, omzet warteg juga ikut menurun.

"Ini berdampak pada keberlanjutan usaha, terutama bagi warteg kecil. Beberapa warteg mengurangi lauk atau sambal gratis demi menghemat pengeluaran, yang dapat menurunkan kepuasan pelanggan," keluh Mukroni.

Sementara itu, Rahmawati (44 tahun), menganggap uang Rp200 ribu saat ini bak tak bernilai. Bagaimana tidak, di Pasar Manggis, Jakarta Pusat, ia hanya mendapat 5 kilogram beras jenis IR I seharga Rp76.250. Artinya, jika dihitung per kilogram, beras tersebut dipatok dengan harga sekitar Rp15.250.

Selain itu, dia juga hanya mendapat 2 liter minyak seharga Rp39 ribu dan 1 kilogram telur ayam ras seharga Rp30 ribu.

"Jadi cuma sisa Rp54 ribuan buat nyetok lauk sama sayur beberapa hari doang," katanya kepada Tirto, Jumat (10/1/2025).

Belanja kali ini, dia tak membeli cabai karena telah membelinya akhir pekan lalu. Sehingga, ia tak tahu harga cabai saat ini.

Meski begitu, dia menyesalkan kenaikan harga beras yang terjadi. Pasalnya, sebagai makanan utama di keluarganya, stok 5 kilogram beras hanya akan bertahan tak sampai seminggu.

"Apalagi anak saya 3 cowok semua. Apalagi anak saya 3, satu SMP, dua lagi SD. Meskipun di sekolah udah dapet makan gratis, itu kan sarapan sama pulang mereka makan lagi sore. Belum suami saya yang makannya kayak kuli. Berat deh sekarang," jelas warga yang kini tinggal di Rusun Pasar Rumput tersebut.

Peneliti Center of Economic and Law Studies (Celios), Nailul Huda, menilai, perihal cabai, kenaikan harga ditengarai merupakan siklikal tahunan, di mana permintaan selalu meningkat di akhir tahun namun pasokan terbatas imbas curah hujan tinggi. Sedangkan soal beras, kenaikan harga dipicu oleh penaikan biaya produksi di tingkat penggilingan karena Harga Pembelian Pemerintah (HPP) meningkat.

“Kenaikan tersebut akan terefleksi pada harga yang diterima oleh konsumen akhir. Dampak kenaikan harga karena kenaikan HPP akan cukup panjang,” kata Huda, kepada Tirto, Jumat (10/1/2025).

Sebelumnya, berdasar hasil Rapat Koordinasi Terbatas (Rakortas) Kementerian Koordinator Bidang Pangan pada Senin (6/1/2025) lalu, pemerintah sepakat untuk menyesuaikan HPP gabah untuk Perum Bulog dari Rp6.000 per kilogram menjadi Rp6.500 per kilogram per 15 Januari 2025. Hal ini dilakukan untuk memberikan keleluasaan kepada Bulog dalam mengoptimalkan serapan hasil produksi petani pada masa panen raya tahun ini.

Kendati belum berlaku, kabar ini telah membuat harga beras di pasaran meningkat, yang pada akhirnya berpotensi mengerek inflasi harga bergejolak (volatile food). Pun, dengan lonjakan harga cabai, jika tak segera diatasi, Huda khawatir juga dapat menyumbang inflasi tinggi di Januari dan beberapa bulan mendatang.

“Semestinya, pemerintah sudah punya strategi mitigasi dan antisipasi terhadap kondisi tersebut. Ini yang saya sayangkan, pemerintah tidak pernah belajar dari pengalaman bertahun-tahun. Daya beli sebenarnya tidak akan berpengaruh signifikan karena memang siklikal dan temporer. Ketika harga komoditas turun, akan meningkat kembali daya belinya,” jelas Huda.

Sebagai informasi, pada sepanjang 2024 Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat inflasi Indonesia hanya sebesar 1,57 persen (yoy), lebih rendah dari periode pandemi Covid-19 yang di sepanjang 2020 lalu tercatat 1,68 persen (yoy).

Dari sisi komponennya, laju inflasi 2024 didorong oleh inflasi inti (core inflation) sebesar 2,26 persen, dengan andil 1,44 persen. Sementara untuk harga diatur pemerintah (administered prices) tercatat sebesar 0,56 persen dengan andil 0,11 persen. Sedangkan volatile food tercatat sebesar 0,12 persen, dengan andil 0,02 persen.

Sementara berdasar kelompok pengeluaran, inflasi Desember yang sebesar 0,44 persen secara bulanan (month-to-month/mtm) disumbang oleh kelompok makanan, minuman dan tembakau dengan inflasi 1,33 persen dan andil 0,38 persen. Adapun komoditas yang menjadi pendorong inflasi kelompok ini antara lain, telur ayam ras, cabai merah (andil 0,06 persen); ikan segar, cabai rawit, bawang merah, minyak goreng (0,03 persen); dan bawang putih, sawi hijau, daging ayam ras, serta beras (0,01 persen).

“(Kalau tidak diatasi) inflasi akan meningkat dan akan berpengaruh ke daya beli masyarakat,” lanjut Huda.

Sementara itu, Peneliti Center of Reform on Economic (Core) Indonesia, Eliza Mardian, menilai naiknya harga beras tersebab inefisiensi distribusi dan produktivitas yang masih rendah. Soal produktivitas, saat ini mayoritas petani padi hanya berskala kecil, sehingga sulit mencapai nilai keekonomian beras. Hal ini ditambah dengan kurangnya penerapan teknologi inovasi yang membuat ekosistem perberasan tidak efisien.

“Biaya produksi beras indonesia lebih mahal 2,5 kali dibandingkan beras Vietnam. Jika ingin menelusuri pos biaya produksi padi, hampir separuh dari total produksi padi itu untuk membayar tenaga kerja, kemudian disusul sewa lahan. Artinya, karena kurangnya penerapan inovasi dan teknologi yang menyebabkan inefisien dalam memproduksi padi,” jelasnya, kepada Tirto, Jumat (12/1/2025).

Eliza sangat menyayangkan hal ini, karena di masa sekarang ini sudah banyak teknologi tepat guna namun tak diimplementasikan oleh para petani di Tanah Air lantaran nihilnya jembatan penghubung antara inovator dengan pengguna inovasi tersebut. Tingginya biaya produksi inilah yang kemudian membuat kesejahteraan petani tak kunjung meningkat meski terjadi kenaikan harga beras.

Karenanya, penyesuaian HPP beras dinilai sebagai upaya untuk menjaga margin petani, yakni selisih harga yang diterima petani dengan harga yang dibayar konsumen akhir.

“Karena jika harga gabah tidak segera dinaikkan di tengah kenaikan-kenaikan harga barang lain dan biaya produksi padi, ini akan semakin menggerus daya beli petani. Dengan adanya penyesuaian HPP setidaknya ini menjaga margin petani, sehingga petani terdorong (untuk terus) menanam,” tambah Eliza.

Dia mencontohkan, untuk daerah-daerah dengan penduduk banyak dan konsumsi beras tinggi seperti Jawa Tengah, Jawa Barat dan Jakarta, Margin Perdagangan dan Pengangkutan (MPP) padi telah melampaui rata-rata MPP nasional yang hanya 11 persen. Sebagai catatan, MPP padi Jawa Tengah, Jawa Barat dan Jakarta masing-masing sebesar 19,70 persen, 21,78 persen dan 22,62 persen.

Kondisi ini jelas tak bagus untuk kesejahteraan petani karena semakin tinggi MPP, artinya semakin tidak efisien distribusi beras dari produsen ke konsumen akhir. Pada akhirnya, penyesuaian HPP ini diharapkan dapat membuat para petani yang selama ini identik dengan kemiskinan bisa hidup sedikit lebih sejahtera.

“Karena dalam perhitungan NTP yang jadi salah satu indikator kesejahteraan petani, itu perhitungannya ada harga yang diterima petani dan harga yang dibayarkan petani,” ucapnya.

Namun, selain menaikkan HPP, pemerintah juga perlu melakukan upaya komprehensif untuk memperbaiki tata niaga pangan. Pasalnya, penyesuaian HPP hanya sebagai satu cara saja untuk menjaga daya beli petani agar tidak semakin tergerus.

Apalagi, penyesuaian HPP menjadi Rp6.500 per kilogram, sebetulnya relatif pas dengan modal petani yang rata-rata biaya usaha tani per Gabah Kering Panen (GKP) sudah mencapai Rp6.400.

“Jika tidak ingin mahal sampai ke konsumen namun tidak dengan cara menekan kesejahteraan petani, berarti distribusinya yang harus diefisienkan,” tegas Eliza.

Sementara itu, sama halnya dengan Huda, Eliza juga menyayangkan pemerintah yang tak juga bisa meredam lonjakan harga cabai. Dari tahun ke tahun, saat musim penghujan, harga cabai biasa meroket. Namun sebaliknya, ketika panen raya harga cabai sama sekali tak pedas, anjlok.

Fluktuasi harga cabai ini menurutnya tak lain disebabkan oleh buruknya hilirisasi produk hortikultura Indonesia. Selain itu, minimnya fasilitas pendingin alias cold storage juga menjadi penyebab masa simpan cabai tak tahan lama.

“Mestinya isu klasik ini diselesaikan pemerintah agar supply-nya tersedia secara konsisten dan harga stabil. Jangan melulu menyalahkan faktor cuaca, karena itu memang seharusnya bisa dimitigasi dengan penerapan teknologi dan inovasi,” lanjutnya.

Sementara itu, menurut Direktur Ketersediaan Pangan Bapanas, Indra Wijayanto, mengatakan, alih-alih penyesuaian HPP, kenaikan harga beras lebih berkorelasi dengan suplai dan permintaan. Sebagaimana data Kerangka Sampel Area (KSA) yang dirilis BPS, produksi padi pada akhir tahun biasa rendah dan akan meningkat awal tahun, dengan puncak panen pada Maret dan April.

“(Penyesuaian HPP) diyakini kebijakan ini bisa mendorong semangat petani untuk meningkatkan produksi beras,” katanya, melalui aplikasi perpesanan, Jumat (10/11/2025).

Dalam membantu mengentaskan kemiskinan dan kerawanan pangan serta mengendalikan gejolak harga pangan dan inflasi, lanjut Indra, pemerintah telah menugaskan Bulog untuk melaksanakan Program Bantuan Pangan selama 6 bulan yang dimulai pada Januari-Februari 2025 kepada 16 juta Keluarga Penerima Bantuan Pangan (PBP), dengan besaran 10 kilogram per bulan.

Selain itu, Bulog juga akan tetap menyalurkan SPHP Beras di Tingkat Konsumen dengan target 1,5 juta ton pada 2025, yang dimulai pada Januari-Februari 2025 sebanyak 300 ribu ton atau 150 ribu ton per bulan dengan Harga HET, yakni Rp12.500 per kilogram.

“SPHP beras akan disalurkan kepada masyarakat sebagai konsumen akhir melalui pasar tradisional, terutama di pasar yang menjadi lokasi pencatatan inflasi BPS, pasar modern/swalayan, dan outlet lainnya yang mudah dijangkau masyarakat,” jelasnya.

“Upaya-upaya tersebut telah dan akan terus dilakukan terutama menjelang hari - hari besar keagamaan (HBKN) Puasa dan Idul Fitri 2025 sehingga harga dapat stabil dan terjangkau daya beli masyarakat,” lanjut Indra.

Sementara itu, saat sidak di Pasar Wisata Pabean Sedati, Sidoarjo, Jawa Timur, pada Rabu (8/1/2025) lalu, Menteri Koordinator Bidang Pangan, Zulkifli Hasan (Zulhas) dan Menteri Perdagangan, Budi Santoso, mengaku menemukan harga cabai rawit mencapai Rp80-90 ribu per kilogram. Meski begitu, harga bahan pokok lainnya seperti daging ayam ras, telur ayam ras bahkan daging masih tergolong bagus, karena berada di bawah harga eceran tertinggi (HET).

Kata Zulhas, kenaikan harga cabai tersebut tak lain disebabkan oleh pengaruh cuaca. Selain itu, belum masuk masa panen juga membuat pasokan cabai rawit minim.

“Pemerintah berharap, setelah musim panen, cabai rawit merah akan kembali turun dalam kurun waktu dua minggu ke depan,” kata dia, dalam keterangan resminya, dikutip Minggu (12/1/2025).

Menyambung Zulhas, Mendag Budi Santoso mengatakan, pihaknya berkomitmen untuk memastikan harga bahan pangan pokok (bapok) tetap stabil dan terjangkau bagi masyarakat.

“Apalagi, tidak lama lagi kita akan memasuki bulan puasa,” ujar Busan.

Baca juga artikel terkait HARGA PANGAN atau tulisan lainnya dari Qonita Azzahra

tirto.id - News
Penulis: Qonita Azzahra
Editor: Farida Susanty