Menuju konten utama

KPK Harus Tegas agar Tak Melulu Dituding Jadi Alat Politik

KPK mesti menunjukkan lagi independensinya dan berani menuntaskan beragam kasus korupsi tanpa tebang pilih.

KPK Harus Tegas agar Tak Melulu Dituding Jadi Alat Politik
Pekerja membersihkan logo Komisi Pemberantasan Korupsi di gedung KPK, Jakarta, Senin (5/2/2018). ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja

tirto.id - Gelombang kritik masih terus menggulung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), meski saat ini diisi oleh jajaran pimpinan baru. Bukan kritik baru memang. Sejak revisi UU KPK di era Presiden Joko Widodo, lembaga antirasuah itu memang cenderung dianggap sebagai alat gebuk politik. Teranyar, PDIP bahkan menyebut pimpinan KPK 2024-2029 sebagai “edisi Jokowi”.

Kritik KPK jadi alat politik kembali ditebalkan oleh pucuk pimpinan PDIP–Megawati Soekarnoputri.

"Coba KPK, masa enggak ada kerjaan lain? Yang dituding, yang diubrek-ubrek Pak Hasto wae," kata Megawati dalam agenda HUT PDIP ke-52 di Sekolah PDIP, Lenteng Agung, Jakarta Selatan, Jumat (10/1/2025).

Menurut Megawati, KPK sekarang ini hanya sibuk mengulik kasus Hasto. Padahal, ada banyak kasus korupsi lainnya yang lebih besar.

"Padahal, banyak yang sudah jadi tersangka tapi meneng wae (diam saja)," ucap Megawati.

Kritik Megawati itu bisa tangkap sebagai kegusarannya melihat kinerja penegakan hukum KPK. Megawati juga menegaskah bahwa kritiknya pada KPK bukan tersebab melindungi kepentingan Hasto. Kritiknya saat ini diklaim demi kebaikan bersama dan disampaikan sesuai dengan fakta.

Sebagai salah seorang yang terlibat dalam pendiriannya, Megawati mengungkapkan betapa sulitnya mendirikan KPK. Dia harus berdebat dengan banyak pihak, terlebih status KPK yang saat itu merupakan lembaga ad hoc negara.

Dia menyampaikan bahwa salah satu alasan KPK didirikan adalah untuk menambal lemahnya pemberantasan korupsi oleh Polri dan Kejaksaan. Presiden ke-5 RI itu menyinggung dua institusi penegak hukum tersebut bahkan masih lemah hingga kini.

Publik tentu boleh mempertanyakansejauh mana intensi kritik Megawati dan PDIP itu, apakah tulus atau sekadar merespons kasus yang menimpa sekjennya, Hasto Kristiyanto. Namun, terlepas dari hal itu, kritik PDIP terhadap KPK memang relevan.

Dalam sudut pandang lain, kritik itu seharusnya ibarat wake up callbagi KPK. Sebab, kritik itu akan bergema di relung kepercayaan dan persepsi publik. Jika tak ingin terus disebut alat politik kekuasaan atau “tukang pukul”, KPK harus membuktikannya.

Bagi peneliti Pusat Kajian Antikorupsi (PUKAT) Universitas Gadjah Mada, Zaenur Rohman, pembuktian itu mudah saja: kembali independen. Sejak UU KPK versi revisi alias UU Nomor 19/2029 terbit, menurutnya, independensi KPK terpasung lantaran berada di rumpun eksekutif. Pegawai KPK menjadi aparatur sipil negara dan di bawah presiden.

Perubahan itu jelas membuat taji lembaga antirasuah itu tanggal hingga hari ini.

Maka, revisi UU KPK kembali seperti dulu agar independen. Itu harusnya jadi prioritas bagi DPR dan pemerintah,” ucap Zaenur kepada reporter Tirto, Sabtu (11/1/2025).

Kasus di Lingkar Kekuasaan

Komposisi pimpinan KPK saat ini, kata Zaenur, juga tidak mencerminkan prinsip independensi. Sebab, dominan berasal dari instansi-instansi penegak hukum. Jika tak ingin disebut alat politik dari rezim, KPK harus berani menangani perkara dari semua kelompok.

Menurut Zaenur, KPK mesti berani menunjukkan bahwa tidak ada tebang pilih dalam pemberantasan korupsi.

Selain itu, KPK perlu memperlihatkan transparansi dalam menangani kasus. Jika seseorang menjadi tersangka, tunjukkan kepada publik dugaan kejahatan dan barang buktinya sesuai dalam koridor batas-batas yang diizinkan undang-undang. Menurut Zaenur, hal itu akan menggenjot kepercayaan publik.

Zaenur memandang hingga hari ini, belum ada gebrakan dari pimpinan KPK yang baru. Walaupun menangani kasus Hasto, perkara ini dinilai relatif mudah. Pasalnya, Hasto dianggap berada di luar rezim kekuasaan. Terlebih, kasus ini sudah ditelusuri sejak bertahun-tahun silam.

KPK akan terbukti punya nyali jika memproses orang-orang yang berdiri di lingkup kekuasaan saat ini. Sebab, banyak dugaan kasus rasuah yang saat ini belum tuntas atau menguap begitu saja. Bahkan, tidak sedikit yang menyerempet orang-orang di lingkar kabinet Presiden Prabowo Subianto.

Misalnya, beberapa figur yang yang sempat disebut-sebut dalam rasuah BTS Kominfo, yakni Menteri Pemuda dan Olahraga, Ario Bimo Nandito Ariotedjo, serta Menteri Luar Negeri yang juga merupakan politisi Partai Gerindra, Sugiono. Selain itu, Nistra Yohan, Staf Ahli Sugiono, turut disebut dalam perkara korupsi tiang pemancar.

Ada pula dugaan korupsi dana CSR Bank Indonesia. Dalam kasus ini, politisi dari Partai Gerindra, Heri Gunawan, dan politisi Partai Nasdem, Satori, sudah diperiksa oleh KPK sebagai saksi. Keduanya merupakan anggota DPR RI Komisi XI. Kasus rasuah ini masih bergulir dan meski sudah ada tersangka, KPK belum membuka namanya.

Ada pula kasus bekas Gubernur Kalimantan Selatan, Sahbirin Noor alias Paman Birin. Amat memalukan bagi KPK yang sudah berkoar-koar akan kembali menjerat Birin, tapi tak juga berhasil.

Setelah kalah dari Birin di praperadilan, KPK seharusnya terus berupaya menjeratnya ulang. Relasi Birin dan Andi Syamsuddin Arsyad alias Haji Isam—pebisnis dan penggarap proyek lumbung pangan (food estate) milik pemerintahharusnya tak membuat KPK gentar.

Zaenur menilai bahwa hanya dengan menjunjung prinsip independensi dan tidak tebang pilih, KPK akan kembali disegani. Tentu semuanya harus berdasarkan prosedur hukum yang berlaku.

Jika ada kasus berasal dari Gerindra, kalau ada yang memang terlibat korupsi. Kalau ada [jangan ragu],” ucap Zaenur.

Sementara itu, Direktur Pusat Studi Antikorupsi dan Demokrasi dari Universitas Muhammadiyah Surabaya, Satria Unggul Wicaksana Prakasa, menyatakan bahwa hilangnya independensi KPK justru membuat mereka kehilangan tujuan awal sebagai “sapu yang bersih”.

Dampak dari revisi UU KPK tak bisa dipungkiri memang membuat lembaga antirasuah rawan menjadi alat negosiasi politik.

Dalam tanda petik, intrik-intrik friksi politiknya akan jauh lebih besar. Misal, kenapa Hasto baru tersangka hari ini, padahal bukti buktinya sudah terang benderang sejak 2020. Namun, baru saat ini menjadi tersangka,” ucap Satria kepada reporter Tirto, Sabtu.

KPK yang ideal, kata Satria, adalah lembaga yang hadir sebelum terbit revisi UU KPK. Posisi yang independen saat itu, membuat KPK berani menjerat siapa saja dan dari pihak mana saja. KPK bahkan tak segan-segan membekuk koruptor yang ada di lingkar kekuasaan.

Ini menjadi penting sebab agenda pemberantasan korupsi ke depan tidak boleh bergantung pada rezim. Menurut Satria, KPK dulu dianggap sebagai lembaga antikorupsi yang ideal berdasarkan prinsip-prinsip yang tercantum dalam UU Nomor 7 Tahun 2006 (United Nations Convention Against Corruption).

KPK saat itu memenuhi banyak indikator yang menjadi standar internasional untuk lembaga antikorupsi. Namun, intervensi politik serta revisi UU KPK yang berimbas pada struktur kelembagaan, memengaruhi persepsi dan efektivitasnya di kemudian hari.

Dulu KPK barometer bagaimana seharusnya lembaga antikorupsi itu [bekerja]. Itu dulu sebelum revisi UU KPK 2019,” terang Satria.

Pertajam Taji, Jangan Tebang Pilih

Ketua Indonesia Memanggil Lima Tujuh (IM57+) Institute, Lakso Anindito, menyatakan bahwa dampak serta daya rusak kebijakan era Jokowi terhadap kelembagaan KPK memang luar biasa. Untuk itu, dalam kacamata Lakso, upaya pemulihannya harus juga dilaksanakan melalui upaya yang luar biasa.

Kepemimpinan KPK saat ini memiliki beban tersebut sehingga upaya biasa tidak akan bisa menyelesaikan persoalan pemulihan tersebut,” ucap Lakso kepada reporter Tirto, Sabtu.

Menurut Lakso, dalam konteks pemulihan ini terdapat beberapa unsur penting yang mesti dipertimbangkan untuk memastikan KPK dapat kembali merebut kepercayaan publik. Salah satunya adalah penuntasan kasus-kasus lama di KPK.

Selain itu, soal bagaimana KPK menangani kasus secara independen. Lakso menilai bahwa penetapan tersangka Hasto Kristiyanto yang kasusnya tidak ada kemajuan hampir lima tahun adalah permulaan yang baik bagi KPK di era sekarang.

Akan tetapi, pimpinan KPK yang baru perlu mengerahkan upaya luar biasa untuk menunjukan komitmen dalam penanganan kasus lain secara independen.

Penuntasan dugaan fasilitas jet pribadi, Blok Medan, sampai Paman Birin perlu dituntaskan setuntas-tuntasnya,” ucap Lakso.

Menanggapi kritik yang menyebut KPK saat ini sebagai ‘Edisi Jokowi’, Wakil Ketua KPK, Johanis Tanak, menyebut bahwa komentar semacam itu boleh dilayangkan siapa saja. Asalkan, dia mengingatkan, tidak bertentangan dengan proses hukum.

Tanak berkukuh bahwa kerja KPK sama sekali tidak terikat pada rezim yang berkuasa.

Penegakan hukum bukan dilihat dari rezim yang memimpin negara, tapi dilihat dari fakta perbuatan yang dilakukan oleh orang atau korporasi yang bertentangan dengan aturan hukum,” kata Tanak kepada wartawan, Jumat (10/1/2025).

Koordinator Divisi Pengelolaan Pengetahuan ICW, Wana Alamsyah, menilai bahwa sebelum mengkritik KPK, perlu digaris bawahi bahwa PDIP merupakan salah satu penyebab terbesar mengapa akhirnya KPK terjerumus ke keadaan seperti hari ini. Sebab, salah satu partai yang mendorong perubahan UU KPK adalah PDIP.

Ketika saat ini KPK dianggap menjadi alat politik kekuasaan, PDIP seharusnya bisa melihatnya sejak lama.

Sepanjang KPK menjadi bagian dari rumpun eksekutif, konsekuensi logisnya adalah pimpinan KPK tidak bisa tegas dan independen. Salah satu bukti KPK belum independen adalah saat terjadi dugaan kasus korupsi yang ditindak KPK dan diduga melibatkan rezim yang sedang berkuasa ataupun yang sudah lengser.

Mengapa kasus yang terkait dengan rezim sebelumnya enggan untuk diproses, jelas Wana, sebab pemilihan pimpinan KPK saat ini masih melibatkan rezim lama, yakni Jokowi.

Terkait dengan penindakan yang dilakukan oleh KPK, penting bagi KPK bertindak secara akuntabel pada setiap perkara. KPK harus mengakselerasi kasus-kasus yang selama ini prosesnya lambat,” ujar Wana kepada reporter Tirto, Sabtu.

Karena itu, bila Presiden Prabowo bersungguh-sungguh ingin memberantas korupsi–bukan sekedar omon-omon, prioritas yang harus dilakukan adalah mengembalikan independensi KPK sebagaimana dalam aturan lama.

Independensi KPK adalah harga mati yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Jika tak ingin disebut alat gebuk kekuasaan, KPK sendiri harus menggahar tajinya tanpa pandang bulu. Taji itu harus digunakan untuk membedah perkara, bukan mengigit mereka yang tak sejalan dengan titah kekuasaan.

Baca juga artikel terkait KPK atau tulisan lainnya dari Mochammad Fajar Nur

tirto.id - News
Reporter: Mochammad Fajar Nur
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Fadrik Aziz Firdausi