Menuju konten utama

Masa Depan Gaza 2025: Mungkinkah Terjadi Gencatan Senjata?

Kesepakatan gencatan senjata di Gaza lagi-lagi gagal dicapai setelah Israel memberikan beberapa persyaratan baru. Bagaimana di tahun depan?

Masa Depan Gaza 2025: Mungkinkah Terjadi Gencatan Senjata?
Warga Palestina yang mengungsi akibat pemboman Israel di Jalur Gaza menyiapkan roti di tenda kamp yang disediakan UNDP di Khan Younis, Rabu, 15 November 2023. (AP Photo/Fatima Shbair)

tirto.id - Situasi di Jalur Gaza saat ini masih rentan dan penuh ketidakpastian. Hingga jelang akhir 2024, belum juga ada tanda-tanda kesepakatan antara kelompok Hamas dan Israel untuk menyudahi perang atau melakukan gencatan senjata.

Mediasi dilakukan oleh Qatar, Mesir dan Amerika Serikat (AS) yang berlangsung di Doha beberapa hari terakhir, belum membuahkan hasil. Kesepakatan gencatan senjata lagi-lagi gagal dicapai setelah Israel memberikan beberapa persyaratan baru.

Dalam pernyataan singkatnya, Hamas menyoroti sikap bertanggung jawab dan fleksibel yang telah mereka tunjukkan selama negosiasi gencatan senjata. Namun, kesepakatan gencatan senjata dan pertukaran tahanan di Jalur Gaza tertunda karena Israel mengelak dan menunda tercapainya kesepakatan tersebut.

"Namun, penjajah (Israel) terus memberi syarat-syarat baru terkait penarikan mundur pasukan, gencatan senjata, pertukaran tahanan, dan pemulangan pengungsi, sehingga menunda tercapainya kesepakatan," demikian pernyataan Hamas sebagaimana dikutip Antara.

Kesepakatan gencatan senjata diperkirakan tidak akan tercapai sebelum pelantikan Presiden terpilih Amerika Serikat, Donald Trump. Seorang pejabat yang mengetahui jalannya negosiasi mengatakan bahwa para negosiator menunggu pembaruan setelah tim Israel meninggalkan pembicaraan di Qatar.

“Masih ada beberapa perbedaan yang harus diselesaikan sebelum mencapai kesepakatan,” kata pejabat yang mengetahui jalannya negosiasi tersebut.

Donald Trump sendiri sebelumnya sempat berjanji akan menyelesaikan sejumlah krisis yang melanda Timur Tengah di tengah perang Israel terhadap Jalur Gaza, perkembangan bersejarah di Suriah, dan gencatan senjata antara Hizbullah dan Israel.

"Saya rasa (masalah) Timur Tengah akan terselesaikan — saat ini sedang terjadi perkembangan yang sangat masif di Timur Tengah,” ujar Trump dikutip Antara.

Trump mengatakan, negaranya tidak ingin ada orang yang terbunuh dari kedua belah pihak, baik itu Rusia, Ukraina, atau Palestina dan Israel, maupun entitas-entitas lainnya di Timur Tengah.

Untuk diketahui, lebih dari 44.800 orang telah tewas di Gaza sejak Israel melancarkan serangan besar-besaran ke wilayah pesisir tersebut. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) bahkan memperkirakan 70 persen dari korban adalah perempuan dan anak-anak.

"Saya mendukung apa pun yang diperlukan untuk membawa perdamaian, bukan hanya perdamaian, tetapi perdamaian yang abadi," jelasnya.

Bagaimana Eskalasi di 2025?

Dinamika di Gaza ke depan memang akan sangat dipengaruhi oleh kebijakan politik AS di bawah kepemimpinan Donald Trump. Trump, yang dikenal memiliki hubungan dekat dengan Israel, mungkin akan mengarah pada kebijakan yang lebih keras terhadap Palestina, menguatkan peran Israel sebagai sekutu utama AS di Timur Tengah.

Kondisi di atas, kemudian membuat banyak pihak justru meragukan kemungkinan terjadinya gencatan senjata dalam waktu dekat.

“2025 saya belum bisa bicara banyak. Kita tunggu gebrakan Trump di 20 Januari. [Tapi] buat AS, Israel adalah sekutu abadi. Kepentingan AS di Timur Tengah adalah Israel, perdagangan senjata dan stabilitas harga migas. Kita cermati saja dinamikanya,” ujar Pengamat hubungan internasional, Dinna Prapto Raharja, kepada Tirto, Jumat (27/12/2024).

Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia, Hikmahanto Juwana, justru memprediksi Jalur Gaza di tahun depan akan lebih bereskalasi dengan potensi konflik yang bisa melibatkan negara-negara besar di Timur Tengah. Terlebih perang antara Hamas dan Israel, yang mendapat dukungan dari kelompok-kelompok seperti Hezbollah dan Houthi, bisa berkembang menjadi perang yang lebih luas, antara Israel dengan Iran dan AS dengan Iran.

"Jadi Gaza di tahun depan lebih bereskalasi," ujar Hikmahanto, Jumat (27/12/2024) malam.

Dia mengatakan setidaknya ada empat alasan kenapa Jalur Gaza pada 2025 mendatang akan lebih bereskalasi. Pertama pelantikan Donald Trump sebagai Presiden AS, pada Januari mendatang diprediksi akan membawa dampak besar terhadap dinamika Timur Tengah.

Trump, yang dikenal dengan kebijakan luar negeri yang pro-Israel, diperkirakan akan mengambil sikap keras terhadap Iran, yang dianggap mendukung kelompok-kelompok seperti Hamas, Hezbollah, dan Houthi. Hal ini berpotensi memicu eskalasi konflik, bahkan dengan tindakan militer langsung terhadap Iran.

"Trump akan bela Israel dan menyerang Iran yang dianggap berada di belakang Hamas Hezbullah dan Houti," jelas dia.

RS Indonesia di GAZA

Pemandangan RS Indonesia yang hancur saat jeda kemanusiaan selama 4 hari yang diperpanjang selama 2 hari, berlanjut pada hari ke 5 di Kota Gaza, Gaza pada 28 November 2023. FOTO/Reuters

Kedua kata Hikmahanto, Israel diperkirakan akan melanjutkan dan bahkan meningkatkan serangan terhadap Hamas. Dalam pandangan Israel, menghentikan Hamas berarti menanggulangi semua potensi ancaman dari kelompok tersebut, termasuk anak-anak dan perempuan yang diyakini berperan dalam memelihara generasi pejuang Hamas.

"Israel akan memastikan agar para pejuang Hamas dihabiskan, termasuk anak-anak yang suatu ketika menjadi pejuang Hamas dan perempuan yang melahirkan pejuang-pejuang Hamas," katanya.

Alasan lainnya, di Timur Tengah, kata Hikmahanto, ketegangan akan semakin meningkat di antara negara-negara Arab. Terutama antara Arab Saudi dan negara-negara sekitar, dengan Iran.

Ketegangan ini semakin memburuk pasca tumbangnya rezim Bashar al-Assad di Suriah, yang membuat ketidakstabilan regional. Ketidakkompakan di kalangan negara-negara Arab ini semakin membuka celah bagi Iran untuk memperluas pengaruhnya di kawasan.

"Negara-negara di Timteng semakin tidak kompak bahkan berhadap-hadapan terutama antara Arab Saudi dan negara-negara sekitar dengan Iran pasca tumbangnya rezim Bassar Al-Asaad," ucapnya.

Di sisi lain, Rusia diperkirakan akan semakin terlibat di Timur Tengah, dengan memihak Iran dalam konflik yang berkembang. Sebelumnya, Rusia telah menunjukkan dukungannya terhadap rezim Bashar al-Assad di Suriah, dan ada kemungkinan bahwa Rusia akan memperluas perannya dengan memberikan dukungan lebih lanjut kepada Iran.

Selain itu, dukungan dari Korea Utara yang diperkirakan juga akan menguatkan posisi Iran di kawasan ini, menambah kompleksitas situasi. "Rusia akan masuk gelanggang di Timur Tengah dan berpihak dengan Iran, termasuk Korea Utara," pungkas dia.

Tiga Variabel Bisa Terjadinya Gencatan Senjata

Sementara itu, Pengamat Hubungan Internasional dari Fakultas Humaniora, Universitas Darussalam (UNIDA) Gontor, Sofi Mubarok, melihat setidaknya ada tiga variabel utama yang dapat menentukan apakah gencatan senjata antara Hamas dan Israel akan segera tercapai. Salah satu faktor penting adalah posisi Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu.

Ketidakpuasan publik terhadap kepemimpinannya semakin meningkat, dengan sebuah survei menunjukkan bahwa 72 persen warga Israel menginginkan ia mengundurkan diri. Jika ketidakpuasan ini dapat dimanfaatkan oleh oposisi untuk menggulingkan Netanyahu, kemungkinan untuk gencatan senjata bisa lebih terbuka.

“Turunnya Netanyahu akan membuat kemungkinan gencatan senjata menjadi lebih terbuka,” ujar dia kepada Tirto, Jumat (27/12/2024) malam.

Selain itu, Donald Trump, dapat menjadi tokoh penting dalam politik AS untuk mempengaruhi situasi di Gaza. Trump memang pernah mengkritik kebijakan Presiden Joe Biden yang dianggap lambat dalam menyelesaikan konflik Israel-Palestina, dan lebih memilih pendekatan "menang cepat" bagi Israel.

Fokus Trump yang cenderung melihat konflik ini sebagai zero sum game — di mana satu pihak menang dan pihak lain kalah — memperburuk kemungkinan gencatan senjata. Namun, Trump juga mengklaim bahwa selama masa pemerintahannya tidak ada perang besar yang terjadi, dan ia berjanji akan mencapainya lagi jika terpilih. Gagasan ini memberi sedikit harapan akan tercapainya gencatan senjata jika ia kembali berkuasa, karena mungkin akan mengubah dinamika konflik.

“Apapun caranya, gagasan kedua ini memberi secercah harap bagi terjadinya gencatan senjata antara Hamas dan Israel,” tegas dia.

Faktor ketiga, lanjut Sofi, yang membuka peluang terjadinya gencatan senjata adalah perubahan di Suriah. Pemerintahan baru yang dipimpin oleh Ahmad Syara' atau Abu Muhammad al-Jolani, yang dikenal dengan strategi diplomatik dan politik matang, bisa membawa angin segar dalam diplomasi kawasan.

Kemenangan Suriah dalam 11 hari penaklukan dan langkah-langkah strategis yang diambil oleh pemimpin baru negara itu, dapat memaksa negara-negara besar di kawasan untuk meninjau kembali strategi mereka. Ini bisa menciptakan ruang bagi komunikasi dan diplomasi yang lebih efektif, termasuk potensi terjadinya gencatan senjata antara Hamas dan Israel.

Baca juga artikel terkait GAZA atau tulisan lainnya dari Dwi Aditya Putra

tirto.id - News
Reporter: Dwi Aditya Putra
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Anggun P Situmorang