tirto.id - Kementerian Ketenagakerjaan telah menggelar rapat dengan Dewan Pengupahan Nasional (Depenas) dan Badan Pekerja Lembaga Kerja Sama Tripartit Nasional (BP LKS Tripnas). Mereka membahas soal hal-hal strategis yang perlu disiapkan untuk penetapan upah minimum dan isu-isu yang berkembang terkait penetapan upah minimum.
Namun keputusan belum final, karena pembahasan masih berupa persiapan dan penyamaan pandangan khususnya mengenai mekanisme penetapan upah minimum, sejalan dengan berlakunya UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 36 tahun 2021 tentang Pengupahan.
Dalam pertemuan tersebut, Depenas dan LKS Tripnas sepakat untuk mendorong penetapan upah minimum yang sesuai dengan ketentuan PP Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan. Namun hal ini ditolak Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI).
KSPI bahkan menggelar aksi massa pada 2 November lalu. Intinya, mereka menuntut dua hal, yaitu: Kenaikan UMK 2022 sebesar 10 persen dan desakan untuk membatalkan pemberlakuan UU Cipta Kerja dan aturan turunannya yakni Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 36/2021.
Presiden KSPI Said Iqbal mengatakan kalangan pekerja dan buruh menuntut agar dasar perhitungan UMK kembali menggunakan survei kebutuhan hidup layak (KHL) seperti sebelum adanya UU Cipta Kerja.
“KSPI minta menggunakan KHL merujuk pada UU Nomor 13/2003, karena kami sedang menggugat UU Cipta Kerja, sehingga PP Nomor 36/2021 tentang Pengupahan juga tidak boleh,” kata Said Iqbal, Selasa (2/11/2021).
Aturan pengupahan yang jadi biang keberatan KSPI adalah PP 36/2021. Perkaranya, aturan turunan UU Cipta Kerja ini dipandang kurang berpihak pada kesejahteraan buruh. Misalnya, Pasal 25 ayat (2) menyebut “Upah minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan berdasarkan kondisi ekonomi dan ketenagakerjaan.”
Penjelasan soal kondisi ekonomi yang dijadikan acuan perhitungan upah itu dijabarkan dalam ayat (4) Pasal 25 yang berbunyi “Kondisi ekonomi dan ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi variabel: a. paritas daya beli; b. tingkat penyerapan tenaga kerja; dan c. median upah.”
Lebih lanjut, pada ayat (5) Pasal 25 disebutkan: “Data pertumbuhan ekonomi, inflasi, paritas daya beli, tingkat penyerapan tenaga kerja, dan median upah bersumber dari lembaga yang berwenang di bidang statistik.”
Poin pada aturan turunan UU Cipta Kerja di atas menjadi pembeda dengan aturan pengupahan yang berlaku sebelumnya yang mengacu pada Permenaker Nomor 18 Tahun 2020. Dalam aturan ini, upah minimum dihitung menggunakan acuan KHL. Acuan KHL 2020 dijadikan sebagai salah satu formula penentuan upah pada 2021. Artinya, KHL 2021 menjadi acuan penentuan upah minium 2022.
Menurut Said Iqbal, perhitungan menggunakan acuan data pertumbuhan ekonomi seperti tertuang pada PP 36/2021 hanya menguntungkan pengusaha dan kurang mencerminkan kebutuhan riil para pekerja untuk mendapatkan hidup layak.
Sebaliknya, kata dia, bila ingin memperoleh besaran upah yang mencerminkan kebutuhan para pekerja, maka acuannya harus dikembalikan pada KHL. Karena itu, dalam sebuah diskusi virtual yang digelar pada Rabu (3/22/2021), Said Iqbal kembali mempertegas tuntutan para buruh agar perhitungan upah kembali menggunakan KHL.
Lebih lanjut ia menegaskan, UU Cipta Kerja yang saat ini digunakan sebagai acuan perhitungan UMP maupun UMK tidak sah di mata hukum mengingat UU tersebut saat ini tengah dalam proses gugatan di Mahkaman Konstitusi (MK).
“Nggak boleh jalan. Rakyat dalam hal ini buruh dan teman-temannya sedang menggunakan hak konstitusinya. Orang lagi digugat kok, aneh masa dipakai, berarti pemerintah nggak taat hukum dong?" kata Iqbal.
Ketua Umum Himpunan Pengusaha Pribumi Indonesia (HIPPI) Sarman Simanjorang yang juga Wakil Ketua Umum Kadin DKI Jakarta, Sarman Simanjorang mengatakan, format baru yang diatur dalam PP 36 tahun 20021 lebih akurat dan moderat karena memakai pendekatan beberapa variabel seperti jumlah rata-rata perkapita rumah tangga, rata-rata jumlah anggota rumah tangga yang sudah bekerja dan jumlah rata-rata anggota rumah tangga.
Perhitungan upah minimum menggunakan acuan PP 36/2021 juga dinilai kalangan usaha lebih adil bagi dua belah pihak, pekerja dan pelaku usah. Alasannya, kata dia, karena kebijakan ini memasukkan komponen pertumbuhan ekonomi dan inflasi masing-masing daerah serta adanya batas atas dan atas bawah sebagai dasar untuk menetapkan UMP 2022.
Dengan acuan perhitungan tersebut, Sarman mengatakan, kelangsungan usaha bisa lebih terjaga yang pada akhirnya bisa menciptakan kepastian ketersediaan lapangan kerja.
Kondisi ini berbeda bila acuan perhitungang upah minimum dikembalikan menggunakan KHL yang tidak memperhitungkan pertumbuhan ekonomi dan tingkat inflasi wilayah, kata dia. Di tengah kondisi yang masih dibayangi tekanan pandemi, menggunakan acuan KHL berisiko membuat sektor usaha gagal melakukan pemulihan dan terancam gulung tikar serta membuat penciptaan lapangan kerja terhambat.
“Tidak ada yang bisa menjamin bahwa ekonomi kita akan pulih dan semakin membaik ke depan, semuanya akan kembali pada sejauh mana kita bersama-sama dapat mengendalikan penyebaran Covid 19 seperti saat ini,” kata dia kepada reporter Tirto, Rabu (3/11/2021).
Ia malah mempertanyakan desakan buruh dan pekerja yang menuntut kenaikan UMP dan UMK 2022 sebesar 10 persen. Menurutnya, tuntutan itu sangat tidak berdasar mengingat kondisi perekonomian yang belum pulih dari tekanan pandemi.
“Permintaan teman-teman KSPI kenaikan UMP 2022 sebesar 7-10 persen, rumus dan dasarnya dari mana? Melihat situasi dan kondisi ekonomi kita yang baru mulai merangkak. Dalam kondisi ketidakpastian ini, sangat tidak elok jika teman-teman serikat buruh atau pekerja meminta kenaikan UMP secara berlebihan,” kata dia.
Sementara itu, Wakil Ketua Dewan Pengupahan Nasional (Depenas) Adi Mahfud mengatakan, permintaan buruh agar UMP dan UMK 2022 naik 10 persen memang tidak berdasar. Dengan acuan KHL sekalipun, kata dia, UMP dan UMK 2022 tak bisa naik hingga 10 persen.
Alih-alih naik 10 persen seperti tuntutan KSPI, kata dia, UMP dan UMK yang dihitung berdasarkan KHL justru berpotensi turun mengingat pertimbangan penurunan harga barang dalam KHL di berbagai pasar.
“Memang ada pernyataan berdasarkan KHL, makanya muncul kebutuhan 7 sampai 10 persen, apakah benar hasil survei, kami sudah uji petik di 4 pasar di DKI buat penyeimbang saja, betul atau tidak, kurang tepat saya kira,” kata Adi.
Menurut dia, berdasarkan survei di 4 pasar DKI yang dilakukan Depenas diketahui nilai seluruh KHL pekerja berada di angka rata-rata Rp3,6 juta. Lebih kecil dari UMP DKI yang berlaku saat ini sebesar Rp4,4 juta.
Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad mengatakan, memaksakan pengitungan upah minimum menggunakan KHL saat ini bukanlah hal yang bijak. Sebab, kata dia, perhitungan KHL cenderung hanya mempertimbangkan kebutuhan buruh tanpa mempertimbangkan kelangsungan usaha.
“KHL ini cenderung mengganti kebutuhan minimum. Tapi dia gak bisa mengantisipasi kalau usahanya lagi buruk atau terjadi masalah,” kata dia saat dihubungi reporter Tirto, 3 November 2021.
Kenaikan upah seperti yang dituntut buruh dan pekerja, kata Tauhid, memang dibutuhkan. Namun ia mengingatkan agar besarannya tak berlebihan supaya tak membebani sektor usaha dan malah membahayakan masa depan pekerja nantinya.
“Yang pasti ada win-win solution-nya gitu. Kalau pandemi gini, 10 persen ketinggian. Karena pertumbuhan ekonomi kita saja baru berapa? 3-4 persen ya, inflasi saja di bawah 2 [persen] ya kan? Nah belum lagi lain-lain. Yang paling pasti itu ada kenikan, tapi moderat,” ujar dia.
Sebaliknya, Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudistira mengatakan pandangan itu justru keliru. Ia mengacu pada kajian yang dilakukan David Card, ekonom dan pengamat perburuhan dari Universitas California yang berhasil meraih penghargaan Nobel pada 2021.
“Yang menarik itu, dari David Card, menunjukkan bahwa justru kenaikan upah minimum itu tak membuat pengangguran mengalami kenaikan, justru sebaliknya," kata Bhima kepada reporter Tirto, Kamis (4/11/2021).
Bhima melanjutkan, dengan upah yang layak, buruh atau pekerja jadi memiliki daya beli yang lebih baik. Kemampuan mereka untuk belanja pun meningkat dan kondisi ini bisa meningkatkan konsumsi terhadap berbagai produk.
Bagi Indonesia dengan karakteristik ekonomi yang dipengaruhi oleh konsumsi masyarakat, kata Bhima, teori ini relevan. “Upah minimum dinaikkan, ekonomi bergerak lebih tinggi. Maka pengusaha akan membuka lowongan kerja baru,” kata Bhima.
Mengacu pada teori tersebut, Bhima mengatakan, perhitungan upah menggunakan acuan KHL memang dianggap lebih sesuai diterapkan saat ini. KHL yang terdiri dari himpunan harga barang kebutuhan pokok dinilai lebih akurat untuk mencerminkan seberapa besar upah minimum yang harus dikantongi para pekerja agar bisa punya daya beli yang layak.
“Perumusan KHL itu, selain mempertimbangkan dari statistik, juga dibahas dengan rapat-rapat yang sifatnya dewan pengupahan itu, sehingga mempertemukan pekerja dengan pengusaha yang dimediasi oleh pemerintah, pemerintah daerah khususnya,” kata dia.
Bhima mengatakan, dalam pertemuan tersebut dapat mencerminkan berapa kebutuhan hidup yang layak. “Itu banyak komponennya, mulai dari perumahan, kemudian di kebutuhan pokok sampai alas kaki dan juga kebutuhan hiburan,” kata dia.
Menurut Bhima, jika pemerintah masih ngotot menggunakan pertumbuhan ekonomi sebagai acuan perhitungan upah minimum seperti pada UU Cipta Kerja, maka pemerintah justru bakal sulit mencapai target pertumbuhan ekonomi yang diharapkan.
Penulis: Selfie Miftahul Jannah
Editor: Abdul Aziz