tirto.id - Pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 35 Tahun 2021 (PDF) sebagai salah satu aturan turunan untuk klaster ketenagakerjaan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Peraturan ini ditetapkan pada 2 Februari 2021 oleh Presiden Joko Widodo.
Dalam beleid ini perusahaan dapat memutus hubungan kerja (PHK) tanpa harus memberikan pesangon penuh pada sejumlah kondisi. Pasal 42 ayat (2) a mengatur pesangon dapat diberikan “sebesar 0,5 kali ketentuan Pasal 40 ayat (2)” jika PHK karena “pengambilalihan perusahaan yang mengakibatkan terjadinya perubahan syarat kerja dan pekerja/buruh tidak bersedia melanjutkan hubungan kerja.”
Pasal 43 -47 mengatur kondisi lain yang membuat perusahaan boleh memberikan pesangon 50 persen, yaitu “perusahaan melakukan efisiensi yang disebabkan perusahaan mengalami kerugian” (pasal 43 ayat 1); “perusahaan tutup yang disebabkan perusahaan mengalami kerugian secara terus menerus selama 2 tahun atau mengalami kerugian tidak secara terus menerus selama 2 tahun” (pasal 44 ayat 1); “perusahaan tutup yang disebabkan keadaan memaksa (force majeure)” (pasal 45 ayat 1); “perusahaan dalam keadaan penundaan kewajiban pembayaran utang yang disebabkan perusahaan mengalami kerugian” (pasal 46 ayat 1); serta “perusahaan pailit” (pasal 47).
Ketentuan pesangon 50 persen juga terdapat dalam pasal 52 ayat (1), yaitu ketika “pekerja/buruh melakukan pelanggaran ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama dan sebelumnya telah diberikan surat peringatan pertama, kedua, dan ketiga secara berturut-turut.”
Bila pelanggaran bersifat mendesak, maka buruh tidak memperoleh uang pesangon sama sekali. Ini tertulis dalam pasal 52 ayat (2). Sifat mendesak yang dimaksud di antaranya penipuan, pencurian, dan penggelapan perusahaan, membocorkan rahasia perusahaan, judi, dan mengancam teman sekerja.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian yang juga Ketua Komite Penanganan COVID-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (KPCPEN) Airlangga Hartarto berharap aturan turunan ini “akan dapat memperluas lapangan kerja baru dan diharapkan akan menjadi upaya pemerintah mengungkit ekonomi akibat pandemi COVID-19.” “Pertumbuhan ekonomi nasional ditargetkan sebesar 5,3 persen pada tahun 2021 ini,” kata Airlangga di Jakarta, Minggu (21/2/2021) lalu.
Rezim Upah Murah
Sebelum ada peraturan turunan bahkan sebelum disahkan menjadi UU, Cipta Kerja telah ditolak banyak kalangan termasuk para buruh. Mereka berkali-kali menggelar demonstrasi tapi tak ditanggapi. Peraturan ini sekadar mempertegas sikap itu.
Presiden Asosiasi Serikat Pekerja (ASPEK) Indonesia Mirah Sumirat mengatakan PP baru membuktikan bahwa buruh--semua orang yang menjual tenaga kerjanya dan diupah--semakin tidak terlindungi. Regulasi ini semakin mempermudah pengusaha untuk memutus hubungan kerja. “Akan banyak perusahaan yang dengan mudahnya menyatakan sedang efisiensi alias merugi tanpa perlu repot membuktikan ada kerugian atau tidak,” jelas dia kepada reporter Tirto, Rabu (24/2/2021).
Sebelum ini pemerintah lewat Kementerian Ketenagakerjaan telah mengizinkan perusahaan industri padat karya menyesuaikan besaran upah dan cara pembayarannya untuk mengantisipasi dampak pandemi.
Dalam peraturan tersebut pengusaha tidak wajib membuka laporan keuangan yang telah diaudit untuk membuktikan terdampak dan merugi karena pandemi. Selain itu ia juga tidak “memberikan jaminan perlindungan hak apabila pekerja tidak sepakat.” “Kami khawatir peraturan yang memperbolehkan pengusaha mengurangi upah dan pesangon pekerjanya dengan alasan COVID-19 ini akan dilakukan juga oleh pengusaha di sektor industri yang lain” katanya.
Mirah mengatakan peraturan turunan yang isinya termasuk memotong pesangon “lebih parah.”
Ekonom dari Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Mohammad Faisal mengatakan di satu sisi “memang banyak investor yang mengeluhkan sistem pengupahan termasuk pesangon Indonesia yang memang lebih rigid dibandingkan negara lain.” Namun yang keliru dari peraturan ini adalah ia tidak berorientasi jangka panjang: dibuat untuk mengantisipasi masa pandemi dan resesi tapi jadi aturan baku untuk diaplikasikan di masa normal.
“Pada saat mengalami resesi, pandemi, baru ada keringanan tapi tidak boleh pukul rata,” kata dia kepada reporter Tirto, Rabu.
Jika pemerintah bersikeras menerapkan aturan tersebut, mereka perlu membuka pembicaraan dengan para pengusaha dan serikat pekerja agar aktivitas operasional tidak terganggu dengan perdebatan alot soal skema upah dan pesangon, katanya.
“Dialognya jangan berhenti walaupun memang susah. Jangankan pada masa pandemi, sebelum pandemi pun kan isu pesangon dan upah itu demo terus. Effort-nya memang harus lebih besar. Kalau memang mau memakan waktu, ya, enggak apa-apa. Tapi yang jelas. Buruhnya, pengusahanya harus terbuka,” jelas dia.
Dosen hukum ketenagakerjaan dari Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) Nabiyla Risfa Izzati juga mengatakan peraturan ini “tentu saja merugikan dari sisi pekerja.” Namun, alih-alih hanya menuding PP sebagai pangkal masalah, menurutnya lebih tepat UU Cipta Kerja itu sendiri.
“Undang-undang Cipta Kerja tidak menggunakan frasa ‘paling sedikit’ sebagaimana di UU 13/2003 ketika membuat ketentuan umum tentang pesangon. Bisa jadi hal ini memang by design karena di peraturan pelaksana ketentuan pesangonnya ada yang mau dibuat hanya setengah [lebih rendah] dengan alasan-alasan tertentu,” jelas dia kepada reporter Tirto, Rabu.
Kementerian Ketenagakerjaan harus segera melakukan pembicaraan lebih lanjut untuk mengantisipasi penolakan keras dari buruh. Selain itu, “pemerintah perlu mengantisipasi masalah implementasi aturan ini di lapangan. Jangan sampai ada resistensi yang nantinya justru menimbulkan perselisihan hubungan industrial.”
Penulis: Selfie Miftahul Jannah
Editor: Rio Apinino