tirto.id - Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Jenderal TNI Andika Perkasa dijadwalkan menjalani fit and proper test sebagai calon tunggal Panglima TNI, Sabtu (6/11/2021). Namun, Komisi I DPR RI jelang uji kelayakan ini mendapat sorotan publik. Hal ini mengemuka saat anggota legislatif enggan mengkonfirmasi sejumlah isu miring soal Andika.
Semua berawal ketika koalisi masyarakat sipil untuk reformasi sektor keamanan mengritik langkah Presiden Jokowi menunjuk KSAD Jenderal Andika Perkasa sebagai pengganti Marsekal Hadi Tjahjanto. Dalam salah satu catatan mereka, koalisi ingin Jokowi untuk memilih calon panglima yang berpotensi tidak melanggar hukum dan HAM.
“Presiden RI harus betul-betul memastikan calon Panglima TNI yang diusulkannya tidak memiliki catatan buruk, khususnya terkait pelanggaran HAM," kata Direktur Eksekutif Amnesty International Usman Hamid, salah satu anggota koalisi masyarakat sipil dalam keterangan, Kamis (4/11/2021).
Pendapat koalisi tentang HAM bukan tanpa alasan. Mereka mengingatkan bahwa Andika diduga pernah terlibat dalam kasus pembunuhan tokoh Papua Theys Hiyo Eluay pada 2001. Menurut koalisi, Jokowi seharusnya menggali informasi secara menyeluruh dan komprehensif untuk mengambil keputusan pemilihan panglima.
“Dengan diajukannya Jenderal Andika Perkasa sebagai calon tunggal Panglima TNI, menunjukkan bahwa Presiden RI tidak memiliki komitmen terhadap penegakan HAM secara serius sebagaimana komitmen politiknya," kata Usman.
Faktor lain adalah soal harta fantastis Andika. Sebagai catatan, total harta Andika mencapai Rp179,9 miliar. Dalam pandangan koalisi, Andika yang memegang nilai sapta marga harus menjelaskan asal-muasal hartanya. Sebab, selama berkarier di TNI, Andika hanya melapor harta kekayaan sekali sepanjang kariernya yakni pada Juni 2021.
“Kami menilai penting untuk dilakukan audit harta kekayaan Andika Perkasa oleh KPK. Terlebih lagi Jenderal Andika Perkasa disebut belum pernah melaporkan LHKPN sebelumnya padahal kapasitas yang bersangkutan adalah pejabat tinggi negara,” kata Usman.
Koalisi pun mendesak agar DPR melakukan fit and proper test dengan baik dan tidak hanya menjadi tukang “stemple” dalam proses pemilihan Panglima TNI.
Namun desakan tersebut tampaknya tidak didengar anggota parlemen. Para anggota Komisi I DPR menilai pemeriksaan harta kekayaan fantastis Andika yang mencapai Rp179,9 miliar itu bukan wewenangnya.
Anggota Komisi I DPR dari Fraksi PPP Saifullah Tamliha tidak menyoalkan tentang harta fantastis Andika. Ia yakin Jokowi sudah menilai hal tersebut. “Kalau soal harta kekayaan itu urusan presiden. Tentu presiden sudah tahu dari KPK maupun PPATK. Wajar saja dia (Andika) menantunya orang kaya,” kata Tamliha seperti dikutip Antara.
Hal senada diungkapkan anggota Komisi I DPR RI dari Fraksi Partai Golkar Dave Laksono. Ia menilai harta jumbo Andika bukan sebuah masalah. Ia akan lebih fokus pada masalah prajurit, mitigasi konflik hingga soal komitmen kepemimpinan TNI.
“Saya tidak melihat itu (harta kekayaan Andika) sebagai kendala. Saya ingin fokus kepada beliau menjalankan tugasnya nanti sebagai Panglima TNI untuk menyejahterakan prajurit,” kata Dave.
Anggota Komisi I DPR Bobby Adhityo Rizaldi juga memastikan tidak akan menanyakan soal harta kekayaan Andika. Mereka juga tidak akan menanyakan soal pajak Andika. “Saya rasa hampir dipastikan tidak ada lagi pertanyaan mengenai itu (LHKPN) dan pajak dalam uji kelayakan,” kata Bobby.
Politikus Partai Golkar ini mengaku akan fokus bertanya soal target kegiatan Andika 100 hari ke depan. Ia menilai hal itu penting karena Andika hanya satu tahun bertugas sebagai panglima. Oleh karena itu, Bobby menilai masalah harta Andika sudah ditangani instansi lain yakni KPK dan Ditjen Pajak sehingga tidak perlu dikonfirmasi.
“Namanya validasi itu apakah sudah benar laporan tersebut dibuat dan apakah benar laporannya telah dikeluarkan oleh instansi yang berwenang,” ujarnya.
Bobby juga mengklaim bahwa Komisi I DPR tidak akan mengkonfirmasi soal keterlibatan Andika dalam kasus pembunuhan aktivis Papua Theys Eluay. Ia mengatakan masalah tersebut sudah selesai secara hukum sehingga tidak perlu dibahas lebih lanjut.
“Saya rasa itu tidak akan dibahas di Komisi I DPR. Kenapa? Karena proses peradilannya itu sudah selesai dan sudah ada yang dihukum, ada empat perwira, tiga prajurit dan hal tersebut tidak ada proses peradilan di peradilan manapun," kata Bobby kepada wartawan di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta pada Kamis (4/11/2021).
“Jadi itu sudah selesai. Saya rasa teman-teman di Komisi I tidak akan membahas soal itu," tegas Bobby.
Masukan Koalisi Masyarakat Sipil Tak Didengar
Koalisi masyarakat sipil mengkritik langkah DPR yang tidak menggelar fit and proper test untuk menjawab kekhawatiran koalisi. Usman Hamid khawatir anggota Komisi I DPR saat ini tidak memiliki agenda reformasi pertahanan. Ia juga khawatir ada kelompok yang tidak bisa bergerak akibat tekanan partai.
“Pertama, mereka yang paham reformasi pertahanan dan kurang setuju dengan surpres, namun tidak dapat mengungkapkan secara terbuka karena kebijakan pimpinan partai. Kedua, mereka yang tidak paham sama sekali tentang reformasi pertahanan sehingga cenderung membebek saja apa pun yang diputuskan pemerintah terkait TNI,” kata Usman kepada reporter Tirto, Jumat (5/11/2021).
Anggota koalisi lain sekaligus peneliti KontraS Andi M. Rezaldy menilai, sikap DPR tidak mencerminkan kewajiban DPR sebagai lembaga yang mengakomodir aspirasi rakyat. Sikap DPR justru memicu kekhawatiran di balik fit and proper test Andika.
“Tentu ini menjadi pertanyaan bagi publik dan menambah catatan keganjilan atas proses pemilihan panglima TNI. Sikap DPR seperti inilah yang mengakibatkan tingkat kepercayaan publik terhadap DPR rendah,” kata Andi kepada reporter Tirto, Jumat (5/11/2021).
Andi menilai, soal HAM maupun harta kekayaan yang enggan ditanyakan Komisi I DPR kepada Andika membuat koalisi khawatir citra DPR akan semakin nyata dengan menjadi “lembaga stempel eksekutif.” Hal tersebut diperparah dengan fit and proper test yang rencana digelar tertutup.
“[…] Menguatkan kekhawatiran kami bahwa proses pemilihan Panglima TNI hanya sekadar formalitas atau dapat dikatakan sebagai juru stempel eksekutif. Hal ini berbahaya bagi proses demokratisasi kita,” kata Andi.
Karena itu, mereka mendorong DPR agar dugaan keterlibatan Andika dalam pelanggaran HAM maupun integritas dalam hal ketidakwajaran harta kekayaan serta ketidakpatuhan pelaporan LHKPN, harus menjadi bagian penting dalam materi pembahasan fit and proper test dan wajib melibatkan dan meminta pertimbangan Komnas HAM dan KPK.
Koalisi juga mendesak DPR secara tegas menolak usulan pencalonan Andika Perkasa sebagai Panglima TNI yang baru sebagaimana hak DPR dalam Pasal 13 ayat (7) UU No.34/2004 tentang TNI. Mereka juga mendorong agar panglima terpilih bisa berkomitmen dalam isu HAM.
“Siapa pun yang terpilih menjadi Panglima TNI mempunyai rekam jejak menghormati HAM dan berkomitmen untuk memastikan penghormatan HAM dalam dan oleh institusi TNI,” kata Andi.
Peneliti Formappi Lucius Karus juga menilai janggal sikap anggota Komisi I DPR yang tidak ingin menanyakan soal harta jumbo maupun dugaan pelanggaran HAM Andika dalam fit and proper test. Hal itu semakin janggal karena pertanyaan tersebut berkaitan rekam jejak, kapasitas, dan integritas Andika.
“Kalau sudah sejak awal mulai memilih-milih isu yang mau ditanyakan atau tidak ditanyakan, ya ngga ada maknanya lagi itu fit and proper test. Menghindari pertanyaan terkait dugaan kasus HAM dan juga harta kekayaan Andika menegaskan fit and proper test DPR hanya basa-basi atau formalitas saja,” kata Lucius pada reporter Tirto, Jumat (5/11/2021).
Menurut Lucius, keengganan pertanyaan sensitif membuat tidak perlu ada fit and proper test. Aksi uji kelayakan justru dinilai hanya buang-buang waktu dan tidak ada gunanya, apalagi calon hanya satu.
“Ini saja sudah mendegradasi makna kata pemilihan. Bagaimana mau memilih jika calon hanya satu. Ini kan pemilihan rasa penunjukan saja,” kata Lucius
Lucius menambahkan, “Sudah calonnya hanya satu, DPR juga pilih-pilih pertanyaan sekaligus menghindari beberapa isu untuk ditanyakan. Ini sih makin membuat fit and proper test jadi ngga punya makna,” kata Lucius.
Hal ini juga tidak terlepas dari peran Jokowi yang hanya mengajukan calon tunggal, kata Lucius. Kejanggalan semakin berlanjut karena DPR tidak memberikan kritik kepada presiden yang kerap kali mengajukan satu nama. Oleh karena itu, Lucius tidak memungkiri DPR era Puan Maharani hanya sebagai juru stempel eksekutif.
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Abdul Aziz