tirto.id - DPR RI menyetujui revisi Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI) masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2025. Keputusan tersebut diambil dalam Rapat Paripurna DPR RI ke-13 Masa Persidangan II Tahun Sidang 2024-2025 di Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (18/2/2025).
"Kami meminta persetujuan Rapat Paripurna hari ini terhadap RUU tersebut diusulkan masuk pada Program Legislasi Nasional Prioritas tahun 2025, apakah dapat disetujui?" tanya Wakil Ketua DPR, Adies Kadir, kepada seluruh peserta rapat yang kemudian menyetujuinya.
Agenda revisi UU TNI bukan kali pertama masuk Prolegnas. Sebelumnya, revisi UU TNI sempat dibahas pada akhir periode kedua pemerintahan Presiden Joko Widodo. Namun, proses revisi tersebut tidak berhasil karena mendapat gelombang penolakan dari masyarakat sipil lantaran mencantumkan pasal yang memperluas kewenangan prajurit aktif di jabatan sipil.
Pasal 47 Ayat 2 draf revisi UU TNI menyebutkan bahwa prajurit aktif dapat menduduki jabatan pada kantor yang membidangi politik dan keamanan negara, pertahanan negara, sekretaris militer presiden, intelijen negara, dan sandi negara.
Prajurit aktif juga dapat ditempatkan di Lembaga Ketahanan Nasional, Dewan Pertahanan Nasional, Search and Rescue (SAR) Nasional, Badan Narkotika Nasional, dan Mahkamah Agung.
Tak hanya itu, revisi pasal tersebut juga menambahkan frasa “serta kementerian/lembaga lain yang membutuhkan tenaga dan keahlian prajurit aktif sesuai dengan kebijakan Presiden”.
Dengan begitu, presiden dapatmenempatkan prajurit TNI aktif di K/L di luar yang tercantum di UU TNI.
Menghidupkan Kembali Dwifungsi ABRI?
Banyak pihak khawatir frasa tambahan tersebut berpotensi mengembalikan peran dwifungsi ABRI seperti pada era Orde Baru. Keterlibatan TNI dalam ranah sipil juga dianggap dapat mengancam supremasi sipil dan prinsip-prinsip demokrasi.
Karenanya, keinginan DPR untuk kembali membahas revisi UU TNI patut dipertanyakan intensinya.
“Saya kira ini harus jadi warning bersama,” ujar analis sosio-politik dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Musfi Romdoni, kepada Tirto, Rabu (19/2/2025).
Menurut Musfi, akar dari masuknya revisi UU TNI ke Prolegnas Prioritas 2025 sebenarnya adalah mitos bahwa prajurit selalu berjiwa kesatria atau lebih baik daripada pemimpin sipil. Itulah yang menjadi akar dwifungsi ABRI di Orde Baru dan sepertinya mulai bangkit kembali sekarang.
“Saya kira, didorongnya RUU TNI ini juga berkaitan dengan latar belakang Presiden Prabowo yang merupakan seorang jenderal militer senior,” imbuh dia.
Musfi menilai bahwa Prabowo masih terbawa nuansa militer. Itu tercermin ketika dia mengadakan retret untuk kabinetnya setelah dilantik. Nuansa itu pun berlanjut dalam retret kepala daerah yang akan digelar beberapa hari mendatang. Para kepala daerah bahkan mendapat pelatihan baris berbaris.
Itu semua menunjukan bahwa Prabowo tidak bisa move on dari masa lalunya sebagai seorang jenderal militer.
“Patut dicurigai kemudian Prabowo juga terjebak pada mitos kesatria. Padahal, dalam temuan riset, output kebijakan dan kualitas kepemimpinan antara pemimpin sipil dan militer justru tidak jauh berbeda. Kualitas kepemimpinan tidak ditentukan oleh latar sebagai sipil dan militer, melainkan situasi politik di mana tempat sang pemimpin berkembang,” ujar Musfi.
Terlebih, telah banyak anggota TNI aktif yang kini ditempatkan di berbagai sektor K/L. Padalah, revisi UU TNI belum disahkan. Contoh terbarunya adalah pengangkatan Mayjen TNI Novi Helmy sebagai Direktur Utama Perum Bulog.
Sebelum Novi, ada Mayjen Maryono yang ditunjuk menjadi Inspektur Jenderal Kementerian Perhubungan, Mayjen Irham Waroihan menjadi Irjen Kementerian Pertanian, dan Laksamana Pertama Ian Heriyawan di Badan Penyelenggara Haji.
Mereka bertiga bisa mengisi jabatan sipil usai Panglima TNI, Jenderal Agus Subiyanto, menerbitkan Surat Keputusan Panglima TNI Nomor Kep1545/XII/2024 pada Desember 2024.
“Ini harus jadi warning bersama. Mitos kesatria TNI ini adalah akar dari bangkit kembalinya dwifungsi ABRI ala Orde Baru” pungkas dia.
Tipisnya Komitmen Reformasi TNI
Peneliti HAM dan sektor keamanan dari SETARA Institute, Ikhsan Yosari, melihat bahwa penempatan personel TNI di jabatan sipil menunjukkan ketidakpatuhan pemerintah terhadap UU TNI dan tipisnya komitmen terhadap reformasi TNI.
Tak hanya itu, upaya-upaya itu juga semakin menebalkan watak culas pemerintah dalam bernegara hukum.
Alih-alih melakukan evaluasi atas berbagai pelanggaran regulasi, pemerintah justru melakukan “akrobat” dengan mengubah regulasi untuk melegitimasi tindakannya.
“Usulan perubahan pada ketentuan mengenai jabatan sipil memperlihatkan minimnya perhatian pemerintah terhadap berbagai masukan publik,” jelas Ikhsan kepada Tirto, Rabu (19/2/2025).
Minimnya kritikan DPR terhadap perubahan dalam revisi UU TNI juga semakin menunjukkan lemahnya fungsi pengawasan. Padahal, DPR semestinya tidak menjadi tukang stempel atau juru bicara pemerintah untuk berbagai usulan perubahan regulasi.
Maka DPR harus diingatkan bahwa fungsi pengawasan sangat penting untuk memastikan keseimbangan kekuasaan dalam demokrasi.
“Dengan fungsi pengawasan, DPR semestinya melakukan evaluasi dan kritikan terhadap pemerintah. Bukan justru memberi perbandingan sebagai salah satu basis pembenaran dilakukannya revisi UU ini,” jelas Ikhsan.
Apalagi, isu mengenai penempatan TNI pada jabatan sipil telah lama menjadi sorotan. Hal itu dinilai kontradiktif dalam upaya meningkatkan profesionalitas militer dan reformasi TNI.
Dengan menarik militer ke isu-isu sipil, pemerintah seakan tidak memiliki visi pertahanan yang mumpuni. Padahal, masih banyak problematika pertahanan yang mesti mendapat perhatian.
“Kondisi-kondisi demikian perlu dicegah kini guna memastikan profesionalitas militer, serta militer tetap sebagai alat negara,” kata dia.
Bantahan DPR
Wakil Ketua DPR, Adies Kadir, membantah tudingan bahwa revisi UU TNI dibahas demi membangkitkan kembali dwifungsi ABRI. Menurut dia, masuknya TNI ke dalam institusi sipil dalam konteks saat ini tidak bisa disamakan dengan dwifungsi karena tidak semasif pada era Orde Baru.
Menurut Adies, jumlah personel Polri di dalam tubuh pemerintahan justru lebih banyak dibandingkan personel TNI. Oleh karenanya, dia meminta masyarakat tak mempermasalahkan hal tersebut.
"Sekarang, sedikit sekali kalau kita lihat yang TNI. Banyak pensiunan dari kepolisian malah," kata Adies di DPR.
Sementara itu, peneliti dari Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), Lucius Karus, menilai bantahan Wakil Ketua DPR itu justru menunjukkan ketidakpahaman DPR atas dwifungsi ABRI.
“Itu alasan yang menyederhanakan soal, menyesatkan akal sehat,” kata Lucius kepada Tirto, Rabu (19/2/2025).
Dwifungsi ABRI, beber Lucius, bukan sekedar soal berapa jumlah prajurit yang "disipilkan". Ia bukan juga soal jumlah polisi pada jabatan sipil yang jauh lebih banyak daripada anggota TNI. Karena, berapa pun jumlahnya, keputusan menempatkan TNI di jabatan sipil sudah bisa merepresentasikan semangat dwifungsi ABRI.
“Jadi, jangan DPR menganggap ini hanya soal jumlah aparat yang bekerja di lahan sipil. Ini tentang paradigma berpikir lama, paradigma dwifungsi ABRI yang kembali dibukakan jalannya oleh revisi UU TNI ini,” jelas dia.
Lucius juga menyayangkan banyaknya anggota TNI yang saat ini menempati jabatan sipil. Pasalnya, undang-undang tentang hal itu saat ini belum disahkan. Lucius juga mengingatkan bahwa jika revisi UU TNI dilanjutkan, itu artinya DPR tengah membuka jalan kembali ke rezim Orde Baru.
Sementara itu, Kepala Pusat Penerangan (Kapuspen) TNI, Mayjen Hariyanto, mengatakan bahwa institusinya tetap menghormati dan mendukung setiap proses legislasi yang bertujuan untuk memperkuat institusi pertahanan negara, termasuk revisi UU TNI yang telah masuk dalam Prolegnas Prioritas 2025.
"Terkait substansi revisi, TNI akan mengikuti dan memberikan masukan sesuai dengan kebutuhan organisasi serta kepentingan pertahanan negara," jelas dia dalam keterangannya.
Terkait beberapa isu yang mengemuka, seperti perubahan masa pensiun, penempatan prajurit di jabatan sipil, serta aspek lainnya, TNI akan memastikan agar hal tersebut tetap sejalan dengan tugas pokok TNI, yakni menegakkan kedaulatan negara, mempertahankan keutuhan wilayah, dan melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia.
TNI juga memastikan bahwa revisi ini tetap berlandaskan pada prinsip profesionalisme dan netralitas, sesuai dengan amanat reformasi TNI.
"Kami akan terus berkoordinasi dengan semua pihak terkait untuk memastikan bahwa perubahan yang diusulkan benar-benar membawa manfaat bagi pertahanan negara dan institusi TNI secara keseluruhan," tulis Hariyanto dalam keterangan tertulis.
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Fadrik Aziz Firdausi