tirto.id - Presiden Prabowo Subianto menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 8 Tahun 2025 tentang Devisa Hasil Ekspor Sumber Daya Alam (DHE SDA). Melalui beleid ini, per 1 Maret 2025, pemerintah mewajibkan eksportir untuk menyimpan 100 persen DHE SDA dalam rekening khusus (reksus) di bank-bank dalam negeri.
"Pemerintah menetapkan bahwa kewajiban penetapan DHE SDA dalam sistem keuangan Indonesia akan ditingkatkan menjadi 100 persen dengan jangka waktu 12 bulan sejak penempatan," ucapnya di Istana Negara, Jakarta Pusat, Senin (17/2/2025).
Kata Prabowo, aturan baru ini berlaku untuk perusahaan yang bergerak di sektor pertambangan, perkebunan, kehutanan, dan perikanan. Namun, PP 8/2025 mengecualikan perusahaan minyak dan gas bumi (migas). Artinya, aturan DHE SDA untuk perusahaan migas tetap mengacu pada PP 26 Tahun 2023 tentang Kegiatan Pengusahaan, Pengelolaan, dan/atau Pengolahan SDA, di mana hanya diwajibkan sebesar 30 persen selama minimal 3 bulan.
“Dengan langkah ini, di tahun 2025 devisa hasil ekspor kita diperkirakan bertambah sebanyak 80 miliar dolar Amerika. Karena ini akan berlaku mulai 1 Maret, kalau lengkap 12 bulan hasilnya diperkirakan akan lebih dari 100 miliar dolar,” ungkap Prabowo.
Bagi eksportir yang tidak mematuhi kebijakan ini, pemerintah akan memberikan sanksi administratif berupa penangguhan layanan ekspor. Bahkan, bagi eksportir yang kedapatan melanggar kewajiban ini akan distop izin ekspornya.
“Mereka yang tidak comply diberikan sanksi administrasi, ekspornya bisa distop,” kata Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, dalam konferensi pers di Kantor Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Jakarta Senin, (17/2/2025).
Sanksi tersebut sekaligus juga peringatan dari pemerintah untuk eksportir, khususnya di sektor kelapa sawit, mineral, hingga batu bara. Apalagi, ketiga jenis usaha ini kerap menempatkan devisa hasil ekspornya di luar negeri, untuk mendapatkan keuntungan bisnis.
Selain mempertebal cadangan devisa negara, aturan baru DHE SDA baru ini juga dirilis untuk memitigasi potensi transfer pricing. Dengan informasi soal ambang batas (benchmark) biaya operasional masing-masing sektor ditambah instrumen perbankan khusus pada sistem pemantauan barang, pemerintah dapat sekaligus melakukan pengawasan terhadap sektor-sektor industri yang ada di Tanah Air.
“Kita sudah punya benchmark di masing-masing sektor. Kalau batubara, kita kira-kira tahu cost-nya berapa. Kelapa sawit juga sudah kita ketahui polanya. Kalau ada yang beroperasi di luar pola ini, akan langsung kami monitor,” ungkap Airlangga.
Sebagai informasi, transfer price adalah harga yang ditetapkan untuk properti/barang/jasa yang disediakan antar perusahaan afiliasi dari Perusahaan Multinasional yang saling mengontrol atau dikendalikan oleh entitas bersama. Dalam hal ini, monitor akan dilakukan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) Kementerian Keuangan bersama Bank Indonesia (BI) melalui sistem pelaporan lalu lintas devisa.
“Memang tujuan kita ini supaya tidak ada transfer pricing. Jadi, supaya tidak ada kasus dari Indonesia, ekspor misalnya 50 dolar Amerika Serikat (AS), negara lain impor di 70 dolar AS. Sehingga, ada 20 dolar AS parkir. Dengan kebijakan ini, hal ini (transfer pricing) tidak akan terjadi,” tegas Airlangga.
Aturan baru penempatan 100 persen DHE SDA di bank-bank nasional ini dinilai tidak akan memberatkan dan mengganggu kelangsungan industri. Sebab, aturan baru retensi ini merupakan kebijakan terbaik yang juga sudah dilakukan oleh banyak negara, seperti Malaysia, Thailand dan Vietnam.
Kinerja ekspor sektor-sektor yang menjadi sasaran kebijakan retensi DHE SDA sebesar 100 persen selama setahun ini pun dinilai masih cukup kuat. Jika dirinci, nilai ekspor untuk sektor pertambangan pada 2024 mencapai 102,8 miliar dolar Amerika Serikat (AS), sektor perkebunan mencapai 46,7 miliar dolar AS, sektor kehutanan sebesar 10,5 miliar dolar AS, dan sektor perikanan senilai 6,0 miliar dolar AS.
Dus, total ekspor SDA Indonesia mencapai 166 miliar dolar AS, dengan target tahunan ekspor SDA sebesar 80 miliar dolar AS. Kontribusi ekspor sektor-sektor ini mencakup 62 persen dari total ekspor Indonesia yang mencapai 264,7 miliar dolar AS pada 2024.
Sebagai kemudahan, eksportir diizinkan untuk menukar simpanan tersebut ke rupiah di bank yang sama. Hal ini dilakukan agar pengusaha bisa menggunakan dana tersebut untuk operasional bisnis, membayar kewajiban perpajakan, penerimaan negara bukan pajak (PNBP), serta kewajiban lainnya dalam valuta asing (valas), hingga membayar dividen dalam bentuk valas.
“Empat, pembayaran untuk pengadaan barang dan jasa berupa bahan baku, bahan penolong atau barang modal yang belum tersedia, tidak tersedia namun hanya sebagian, tersedia tapi spesifikasinya tidak memenuhi di dalam negeri dalam bentuk valuta asing. Lima, pembayaran kembali atas pinjaman untuk pengadaan barang modal dalam bentuk valuta asing,” jelas Presiden Prabowo Subianto.
Seiring dengan dirilisnya PP 8/2025, Bank Sentral juga menambah tiga instrumen baru sebagai tempat untuk menampung SDA DHE. Ketiga instrumen tersebut antara lain, Sekuritas Valas Bank Indonesia (SVBI) dengan tenor 6, 9 dan 12 bulan dan dapat diperdagangkan di pasar dam negeri (sekunder); Sukuk Valuta Asing Bank Indonesia (SUVBI) dengan tenor 6, 9 dan 12 bulan dan dapat diperdagangkan di pasar sekunder; serta perluasan foreign exchange (FX) swap valas DHE.
Dengan ketiganya, kini BI memiliki total lima instrumen yang dapat dipilih eksportir untuk menempatkan DHE SDA di dalam negeri. Adapun, dua instrumen sebelumnya adalah Term Deposit (TD) atau deposito berjangka Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) dan TD Valas DHE yang ada di BI.
“Kami akan menambah 3 instrumen baru. Selama ini ada 2 instrumen. Jadi para eksportir setelah menerima rekening khusus, memasukkan, bisa menempatkan dalam deposito valas di bank. Oleh perbankan, deposito valas ini bisa diredepositokan ke BI. Itu yang kami sebut term deposit,” ungkap Gubernur BI, Perry Warjiyo, dalam konferensi pers di Kantor Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Jakarta, Senin (17/2/2025).
Lebih lanjut, bagi eksportir yang telah memasukkan devisanya ke rekening khusus DHE SDA, bisa menempatkan dana tersebut ke instrumen SVBI maupun SUVBI untuk instrumen syariah. Dengan diperdagangkannya kedua instrumen tersebut di pasar sekunder, dapat memudahkan eksportir jika ingin mencairkan dananya lebih cepat. Terkait kedua instrumen ini, BI pun akan terus berkomunikasi dengan para eksportir karena dalam hal ini, Bank Sentral akan menerbitkan SVBI maupun SUVBI sesuai kebutuhan.
“Karena DHE SDA yang masuk ke rekening khusus ada untuk biaya operasional, seberapa besar. Dan tentu saja kami terus berkomunikasi dengan tim untuk berapa, sesuai kebutuhan,” jelas Perry.
Sementara dengan perluasan FX Swap, eksportir bisa menukar devisa yang telah disimpan dalam rekening khusus ke instrumen TD Valas, SVBI, maupun SUVBI sesuai kebutuhan mereka. Dengan penempatan DHE SDA pada instrumen-instrumen ini, dinilai akan memperkuat stabilitas nilai tukar rupiah. Sebab, akan selalu ada dana yang berputar di pasar uang dan pasar valas.
“Ini sangat dibutuhkan eksportir sehingga kalau punya valas butuh rupiah 1 bulan bisa, kalau 6 bulan bisa dijual sehingga dana yang masuk ke reksus bisa lebih banyak berputar di sistem keuangan pasar uang pasar valas dan bermanfaat bagi perekonomian,” jelas Perry.
Efektifkah Dongkrak Devisa?
Dengan tujuannya untuk meningkatkan cadangan devisa, menjaga stabilitas nilai tukar rupiah dan mengoptimalkan pengelolaan SDA guna mendukung pertumbuhan ekonomi Indonesia, Ekonom Bank Danamon, Hosianna Evalita Situmorang, melihat aturan baru DHE SDA sebagai kebijakan yang cukup positif. Sebab, melalui kebijakan ini pemerintah dapat mengantisipasi ragam kebutuhan sembari memperdalam pasar keuangan domestik.
“Dengan kebijakan ini, diharapkan Indonesia dapat meningkatkan cadangan devisa hingga 80 miliar dolar AS, meningkatkan kepatuhan eksportir dalam menempatkan DHE SDA sesuai dengan ketentuan yang berlaku, memberikan fasilitas baru bagi eksportir dalam mengakses pembiayaan domestik yang lebih fleksibel tanpa kehilangan kontrol terhadap DHE SDA yang ditempatkan,” jelas dia, saat dihubungi Tirto, Selasa (18/2/2025).
Bagi eksportir, kebijakan anyar ini dinilai tak memberatkan karena masih tetap bisa mengkonversikan DHE ke dalam rupiah di bank yang sama dengan tempat menempatkan DHE. Selain itu, pembayaran pajak dan kewajiban negara lainnya, termasuk pembayaran dividen dapat ditunaikan dalam valas atau dolar AS.
Pada saat yang sama, eksportir juga akan lebih mudah melakukan pembelian bahan baku dan barang modal yang belum tersedia di dalam negeri, hingga membayar kembali pinjaman dalam bentuk valas.
“Pemerintah Indonesia (juga) memberikan insentif fiskal untuk eksportir yang memenuhi kewajiban penempatan DHE SDA, termasuk pembebasan PPh (pajak penghasilan) 0 persen atas pendapatan bunga yang diperoleh dari penempatan DHE SDA (sebelumnya dikenakan pajak 20 persen). (Dan) penggunaan DHE SDA sebagai agunan untuk memperoleh kredit Rupiah,” tambah Hosianna.
Kendati begitu, Pelaksana Tugas Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI), Gita Mahyarani, mengungkapkan, berat atau tidaknya aturan penempatan DHE SDA ini bagi para pengusaha baru bisa terlihat jika PP 8/2025 sudah diterbitkan untuk publik. Sayangnya, sampai saat ini berkas beleid tersebut belum tersedia dan bahkan belum sampai ke tangan para eksportir.
Selain itu, para eksportir pun membutuhkan kejelasan lebih lanjut soal ketentuan bahwa DHE SDA yang disimpan di rekening khusus bank-bank dalam negeri dapat dirupiahkan.
“Ini juga yang harus kami samakan persepsinya (dengan pemerintah dan BI). Karena dengan ketentuan tersebut, seharusnya bisa menjadi jalan agar tidak memberatkan arus kas,” kata Gita, melalui aplikasi perpesanan kepada Tirto, Selasa (18/2/2025).
Tidak hanya itu, APBI juga masih menunggu Peraturan Bank Indonesia (PBI) yang menjadi aturan turunan PP 8/2025 ini. Sebab, melalui aturan ini lah, detail proses administrasi terkait retensi DHE SDA dapat diketahui dengan jelas.
“Karena kembali lagi, dana tersebut dibutuhkan untuk biaya operasional perusahaan. (Sehingga) perlu sosialisasi untuk waktu implementasinya. Jadi, kalau ada kesulitan, sebenarnya nanti kuncinya di aturan turunan,” jelas Gita.
Alih-alih dengan memarkir DHE SDA sebesar 100 persen selama setahun di dalam negeri, Direktur Eksekutif Segara Institute, Piter Abdullah, menilai akan lebih efektif bagi pemerintah dan Bank Sentral untuk mempertebal devisa negara dengan mewajibkan eksportir untuk merepatriasi atau menukar dolar dengan rupiah dari sebagian kecil margin keuntungan yang didapatkan atas hasil ekspor. Dalam hal ini, negara tidak meminta keuntungan para pengusaha, melainkan hanya mengkonversi keuntungan yang sebelumnya didapat dalam bentuk dolar ke rupiah. Sehingga, melalui cara ini pengusaha tidak perlu ketakutan kekurangan arus kas.
“Dari keuntungannya para pengusaha tambang, (misalnya) 10 persen itu pun tidak kita ambil. Keuntungannya tetap menjadi milik mereka, Tetapi kita wajibkan untuk mereka itu di-convert, ditukar ke rupiah. Jadi mereka menikmati keuntungannya dalam bentuk rupiah, bukan dalam bentuk dolar,” kata Piter, saat dihubungi Tirto, Selasa (18/2/2025).
Bagi negara, repatriasi dari keuntungan ekspor para pengusaha akan terakumulasi menjadi cadangan devisa milik pemerintah. Sehingga konversi keuntungan ke dalam rupiah ini lah yang akan masuk ke BI, untuk dikelola, termasuk digunakan untuk melakukan stabilisasi nilai tukar.
“Kalau itu yang dilakukan sejak 10 tahun yang lalu, cadangan devisa kita sudah ratusan miliar dolar,” lanjutnya.
Piter mengaku sudah sering kali mengusulkan skema ini kepada pemerintah dan BI. Namun, selalu ditolak karena tidak sesuai dengan prinsip cadangan devisa bebas. Sebagai informasi, cadangan devisa bebas merupakan sistem yang memungkinkan pemindahan aset dan kewajiban finansial tanpa pembatasan antara penduduk dan non penduduk.
“Pandangan orang bisa beda-beda. Tapi, kalau menurut saya, ini tidak sama sekali bertentangan dengan cadangan devisa bebas. Kita tetap membebaskan orang punya cadangan devisa, cuma kita ini kan sebagai pemilik dari kekayaan alam Indonesia, berhak mengatur para pemegang konsesi tambang, itu kan kita yang seharusnya ngatur (untuk tidak melakukan eksploitasi SDA),” terang Piter.
Penulis: Qonita Azzahra
Editor: Anggun P Situmorang