tirto.id - Presiden Prabowo Subianto telah merilis Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 6 Tahun 2025 tentang Perubahan Atas PP Nomor 37 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP). Salah satu poin yang diubah dalam baleid tersebut adalah soal kenaikan nilai manfaat untuk pekerja yang menjadi korban pemutusan hubungan kerja (PHK).
Dalam aturan sebelumnya, nilai manfaat yang diterima pekerja ter-PHK dibagi menjadi dua periode, yakni sebesar 45 persen dari upah untuk tiga bulan pertama dan 25 persen dari upah untuk tiga bulan berikutnya.
Pada aturan baru, nilai manfaat berupa uang tunai yang diterima pekerja korban PHK naik menjadi 60 persen dari upah dan diberikan flat selama enam bulan. Batas upah yang ditetapkan adalah sebesar Rp5 juta.
Selain uang tunai, korban PHK juga mendapat manfaat lain berupa informasi pasar kerja dan pelatihan kerja yang diberikan oleh Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) maupun Dinas Ketenagakerjaan di daerah.
“Pelatihan kerja dilakukan melalui Lembaga Pelatihan Kerja milik pemerintah, swasta, atau perusahaan,” demikian tertulis dalam Pasal 31 ayat (1) PP Nomor 6/2025, dikutip Senin (17/2/2025).
Regulasi JKP baru tersebut membawa angin segar bagi para pekerja sebab menjadi lebih berpihak pada pekerja.
"Ini jelas proburuh dan akan bermanfaat juga untuk menjaga daya beli masyarakat sebagai penyumbang utama dalam pertumbuhan ekonomi," kata Ketua Umum Dewan Pengurus Pusat (DPP) Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI), Jumhur Hidayat, dalam keterangan resminya, dikutip Senin (17/2/2025).
Meski demikian, menurut Jumhur, perlindungan dan keberpihakan lebih terhadap pekerja tidak lantas menjadikan pemerintah menafikan dunia usaha. Sebaliknya, seiring dengan perbaikan kesejahteraan pekerja, ekonomi yang didukung daya beli masyarakat akan tumbuh semakin tinggi.
Tidak hanya itu, pemerintah pun sebaiknya segera mengatasi masalah-masalah lain yang menjadi penghambat pertumbuhan industri.
"Yang harus disingkirkan itu ya parasit-parasit ekonomi yang membuat dunia usaha sulit berkembang, seperti korupsi, importir ilegal, dan sifat serakah," imbuh Jumhur.
Sementara itu, Menteri Ketenagakerjaan (Menaker), Yassierli, mengatakan bahwa aturan JKP yang baru merupakan solusi dari salah satu tantangan ketenagakerjaan yang saat ini tengah dihadapi Indonesia, yakni membantu para pencari kerja usai terdampak PHK.
Pasalnya, selain memberi bantuan tunai, JKP yang baru juga meliputi pelatihan skilling, upskilling, maupun reskilling.
“Bagi mereka yang terkena PHK, JKP hadir sebagai solusi agar mereka bisa mendapatkan keterampilan baru dan kembali bekerja,” kata Menaker dalam keterangannya, dikutip Senin (17/2/2025).
Belum Semua Pekerja Terlindungi
Peningkatan manfaat dalam aturan JKP baru memang sudah seharusnya diterima para pekerja. Sebab, manfaat JKP, khususnya uang tunai, pada dasarnya juga berasal dari para pekerja sendiri.
Pemerintah juga mengubah besaran iuran JKP sebagaimana dinyatakana dalam Pasal 11 PP Nomor 6/2025. Dari yang sebelumnya ditetapkan sebesar 0,46 persen dari upah per bulan, iuran JKP turun menjadi 0,36 persen dari sumber iuran yang dibayarkan pemerintah pusat dan juga sumber pendanaan JKP.
Jika dirinci, iuran yang dibayar pemerintah pusat tersebut ialah sebesar 0,22 persen dari upah pekerja per bulan. Sementara itu, 0,14 persen lainnya berasal dari sumber pendanaan JKP yang tak lain merupakan rekomposisi iuran program Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK).
“Jadi, memang perjanjiannya, kalau pekerja di-PHK, kehilangan pekerjaan, mereka akan dapat bantuan dari BPJS Ketenagakerjaan sesuai jumlah iuran yang mereka bayarkan. Iuran itu sekian persen untuk (Jaminan) Kehilangan Pekerjaan,” kata Pakar Ketenagakerjaan dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Tadjuddin Noer Effendi, kepada Tirto, Senin (17/2/2025).
Nilai manfaat berupa uang tunai yang diberikan dalam jangka waktu enam bulan dimaksudkan agar pekerja yang terdampak PHK dapat melanjutkan hidupnya dan bahkan mampu menghidupi keluarganya. Pemberian JKP sekaligus upaya untuk menjaga konsumsi atau daya beli para pekerja tersebut.
Apalagi, Kemnaker mencatat bahwa sampai Desember 2024, sudah ada 80 ribu pekerja terdampak PHK. Jumlah itu bertambah jika dibandingkan angka PHK tahun sebelumnya yang berjumlah 64.855 pekerja.
“Selama enam bulan itu, mungkin mereka [pekerja ter-PHK] bisa mendapatkan jaminan itu untuk mencari pekerjaan. Selepas enam bulan, mungkin sudah tidak bisa lagi. Itu kan memberikan bantuan pada mereka yang terkena PHK,” imbuh Tadjuddin.
Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Nasional (KSPN), Ristadi, menilai jaminan sosial ketenagakerjaan merupakan hak semua pekerja, baik itu yang berstatus perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) maupun perjanjian kerja waktu tidak tertentu (PKWTT).
Namun, yang masih menjadi masalah dalam jaminan sosial ketenagakerjaan ini ialah soal masih banyaknya pekerja yang belum terlindungi BPJS Ketenagakerjaan.
“Kan yang perlu diketahui bahwa untuk mendapat dasar yang utama, untuk mendapatkan layanan program jaminan kehilangan pekerjaan, pekerja tersebut harus menjadi peserta BPJS all program. Ada lima program kan, Jaminan Hari Tua (JHT), Jaminan Keselamatan Kerja (JKK), Jaminan Kematian (JKM), Jaminan Pensiun (JP), dan Jaminan Kesehatan (Nasional/JKN). Itu base-nya,” jelas Ristadi saat dihubungi Tirto, Senin (17/2/2025).
Seturut data BPJS Ketenagakerjaan, jumlah peserta aktifnya per Desember 2024 adalah 45,22 juta tenaga kerja—tumbuh 8,82 persen secara tahunan dibandingkan periode yang sama di tahun sebelumnya yang berjumlah 41,56 juta orang.
Lalu, dana kelolaan BPJS Ketenagakerjaan sampai Desember 2024 mencapai Rp791,65 triliun. Jika dirinci, komposisinya adalah program JHT senilai Rp489,23 triliun; JP Rp189,15 triliun; JKK Rp67,31 triliun; JKM Rp17,36 triliun; dan JKP Rp14,92 triliun. Ada pula dana badan BPJS senilai Rp13,66 triliun.
Meski jumlah pekerja yang dijamin BPJS Ketenagakerjaan tumbuh, jumlah tersebut masih belum sebanding dengan total pekerja yang ada di seluruh Indonesia. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat jumlah angkatan kerja pada Agustus 2024 mencapai 152,11 juta orang, dengan 144,64 juta di antaranya merupakan pekerja dan 7,47 juta lainnya merupakan penganggur.
Selain itu, jumlah pekerja formal per Agustus 2024 tercatat sebanyak 60,82 juta orang atau sekitar 42,05 persen dari total penduduk bekerja. Sedangkan, jumlah pekerja informal sebanyak 83,83 juta orang atau sekitar 57,95 persen dari total penduduk bekerja.
“Kalau dibandingkan dengan seluruh pekerja formal dan informal yang 142 juta itu [total jumlah tenaga kerja formal dan informal], dibandingkan dengan peserta BPJS, JKP yang 13 jutaan, maka program JKP ini baru menyasar kurang lebih sekitar di bawah 10 persen dari total pekerja buruh Indonesia yang sekarang bekerja ini,” terang Ristadi.
Artinya, Program JKP belum optimal menyasar pekerja yang ada di seluruh Indonesia. Pun, seluruh program kepesertaan BPJS Ketenagakerjaan totalnya baru sebanyak 45,22 juta peserta.
“Nah, artinya masih ada ceruk. Ada segmentasi yang jauh lebih besar yang belum mendapatkan JKP ini. Ini yang harus menjadi perhatian pemerintah,” imbuh dia.
Cakupan JKP Harus Diperluas
Koordinator Advokasi BPJS Watch, Timboel Siregar, menilai bahwa PP Nomor 6/2025 merupakan kemajuan dalam pengembangan Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). Belum lagi, dengan ketidakpastian ekonomi yang tengah dihadapi Indonesia, kenaikan nilai manfaat JKP bisa menambah ketahanan dan kesejahteraan pekerja yang terkena dampak PHK.
Namun, selama enam bulan periode pemberian manfaat JKP, pekerja pun tak bisa berpangku tangan pada nilai manfaat yang diterima saja. Sebaliknya, nilai manfaat JKP diberikan dengan syarat bahwa pekerja ter-PHK tersebut tetap aktif mencari pekerjaan baru.
“Jadi, enam bulan itu bukan berarti si pekerja tidur. Dia harus berusaha mencari kerja. Kalau enggak ada usaha mencari dengan memberikan dokumen-dokumen tertentu, misalnya, melamar kerja dan sebagainya, di bulan kedua [nilai manfaat] bisa distop,” jelas Timboel saat dihubungi Tirto, Senin (17/2/2025).
Sayangnya, JKP baru diberikan kepada pekerja yang memenuhi syarat—dalam hal ini adalah pekerja formal. Padahal, dari struktur ketenagakerjaan di Indonesia, jumlah tenaga kerja informal masih cukup banyak. Demikian pun pekerja-pekerja yang berstatus pekerja paruh waktu dan pekerja kontrak.
“Artinya, pemerintah melegitimasi pekerja informal sebagai peserta JKP. Seharusnya, JKP itu untuk orang miskin dan tidak mampu,” imbuh Timboel.
Selain soal cakupan JKP, Timboel menyoroti kurangnya kepastian dan pengawasan hukum terhadap program-program BPJS Ketenagakerjaan. Dalam hal ini, masih cukup banyak pengusaha yang mengabaikan perlindungan para pekerja dengan tidak mendaftarkan para pekerjanya menjadi peserta BPJS Ketenagakerjaan.
Bahkan, ketika perekonomian negara dan iklim industri di Tanah Air memburuk, para pengusaha dengan mudahnya memilih untuk melakukan PHK.
“Sebenarnya, harus dibuka aja ruang. Udahlah, enggak usah disyaratkan supaya kepesertaannya lebih besar. Nah, yang ketiga kan keadilan. Bahwa pekerja merasa gara-gara pengusaha, saya enggak dapet JKP. Kan enggak adil. Nah, jadi ini kan persoalan gimana tujuan hukum hadirnya PP 6/2025 memberikan kebermanfaatan, memberikan kepastian hukum, memberikan keadilan,” pungkas Timboel.
Penulis: Qonita Azzahra
Editor: Fadrik Aziz Firdausi