Menuju konten utama

Jakarta Jadi Contoh Pengelolaan Sampah, tapi Masih Andalkan TPST

DKJ menjadi salah satu provinsi percontohan implementasi peta jalan (roadmap) pengelolaan sampah di Indonesia.

Jakarta Jadi Contoh Pengelolaan Sampah, tapi Masih Andalkan TPST
Petugas membuang sampah di TPS Muara Baru, Jakarta, Senin (22/10/2018). ANTARA FOTO/Armansyah Putra/pras.

tirto.id - Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) menetapkan Provinsi Daerah Khusus Jakarta (DKJ) menjadi salah satu provinsi percontohan implementasi peta jalan (roadmap) pengelolaan sampah di Indonesia. Tapi, masalahnya, Jakarta masih punya pekerjaan rumah terkait pembuangan dan pengelolaan sampah. Hingga kini Jakarta masih memanfaatkan–jika tidak bisa disebut mengandalkan, Tempat Pengelolaan Sampah Terpadu (TPST) Bantar Gebang, yang berlokasi di Bekasi, Jawa Barat.

Menteri LH, Hanif Faisol Nurrofiq, bahkan mengatakan kalau timbunan sampah yang menumpuk di TPST Bantar Gebang mencapai lebih dari 55 juta ton. Dalam satu hari ada sekitar delapan ribu ton sampah yang dikirim dari TPS yang tersebar di Jakarta. Dari total sampah tersebut, 86 persen di antaranya diangkut ke TPST Bantar Gebang.

Kiriman sampah dari Jakarta ini, kata Hanif, menimbulkan konflik sosial di wilayah sekitar TPST Bantar Gebang, yang hari ini masih terus berkembang. Belum lagi volume sampah di Jakarta pun terus menumpuk dari tahun ke tahun.

Data dari Sistem Informasi Pengelolaan Nasional (SIPSN) menunjukkan, timbunan sampah di Jakarta merangkak naik jadi 3,17 juta ton pada 2024, dari sebelumnya 3,14 juta ton pada 2023 dan 3,11 juta ton setahun sebelumnya.

Pemerintah daerah tampaknya optimistis untuk menangani hal ini. Penjabat Gubernur DKJ, Teguh Setyabudi, menjelaskan, dalam menjalankan amanat percontohan implementasi roadmap pengelolaan sampah di Tanah Air, Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jakarta akan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam melakukan pemilahan sampah dan melakukan penguatan bank sampah. Di sisi lain, pihaknya juga mengaku akan melakukan optimalisasi tempat pembuangan sampah (TPS) dengan menerapkan teknologi pengelolaan sampah yang efektif.

“Kami dari Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menyambut baik juga pemilihan kota Jakarta sebagai percontohan dalam implementasi sistem pengelolaan sampah perkotaan,” ungkap Teguh dalam acara Apel Kesiapan Aksi Implementasi Roadmap Pengelolaan Sampah di Jakarta, yang digelar di Gedung Kantor Walikota Jakarta Utara, Senin (17/2/2025).

Implementasi Belum Optimal

Penetapan Jakarta sebagai provinsi percontohan implementasi roadmap pengelolaan sampah di Indonesia ini sebenarnya bukan berarti sama sekali tak dilandasi capaian positif apapun. Juru Kampanye Walhi Jakarta, Muhammad Aminullah, mengungkap beberapa regulasi terkait sampah di Jakarta lebih maju ketimbang wilayah lain, sehingga perlu diapresiasi.

“Kita punya satu pembatasan kantong sekali pakai itu jelas, terus kemudian kedua kita punya pengelolaan sampah berbasis lingkup RW. Nah itu kan dia salah satu regulasi yang cukup baik menurut kami,” tutur Aminullah ketika berbincang dengan Tirto, Senin (17/2/2025).

Aturan yang ia maksud yakni Peraturan Gubernur (Pergub) Jakarta Nomor 142 Tahun 2019 tentang Kewajiban Penggunaan Kantong Belanja Ramah Lingkungan pada Pusat Perbelanjaan, Toko Swalayan, dan Pasar Rakyat. Dalam pasal 5 ayat (2) disebut kalau Pengelola Pusat Perbelanjaan, Toko Swalayan, dan Pasar Rakyat dilarang menggunakan Kantong Belanja Plastik Sekali Pakai, alias kantong belanja yang terbuat dari, atau mengandung bahan dasar plastik, polimer thermoplastic, atau bahan-bahan sejenis lainnya.

Selain itu, Aminullah juga menyoroti pergub terkait pengelolaan sampah di lingkup kawasan. Dengan adanya aturan itu, maka sampah harus dikelola oleh kawasan sehingga sampah yang dikirim ke Bantar Gebang semakin berkurang. Sayangnya, implementasi regulasi-regulasi ini di lapangan masih belum optimal. Namun, data-data sampah yang masuk ke Bantar Gebang tentu belum bisa dikatakan baik lantaran jumlah sampahnya terus meningkat.

“Nah ini kan artinya upaya pencegahan sampah masuk ke Bantar Gebang. Ini pertama belum optimal, belum maksimal seperti itu. Berarti pemilahan yang diamanatkan oleh beberapa pergub tadi itu juga belum berjalan,” lanjutnya.

Menurut Aminullah, naiknya angka jumlah produksi sampah menandakan Jakarta belum pada tahap pengurangan sampah, tapi masih berpusat pada upaya pemusnahan. Akibatnya, Jakarta akan terus mencari ruang pembuangan baru.

“Nah sampah yang akan bertambah tersebut kemungkinan 10-20 tahun kemudian itu, bukan tidak mungkin membutuhkan ruang baru misalkan beberapa waktu lalu akan diwacanakan pembuatan TPA di pesisir Jakarta, misalnya seperti itu,” tutur Aminullah.

Memang, di tengah masalah pelik soal sampah di Jakarta, Pemprov Jakarta malah mencetuskan gagasan untuk membuat pulau sampah, alih-alih meningkatkan tata kelola sampah. Hal ini pun sempat mendapat pandangan positif dari Gubernur DKJ Terpilih, Pramono Anung.

Padahal, konsekuensi ruang yang terbatas adalah konflik sosial dengan masyarakat. Belum lagi, Kata Aminullah, semakin banyak sampah yang dikelola, maka semakin banyak energi dan emisi yang dihasilkan.

“Seharusnya ini kalau bicara ideal, perlu ada upaya pengurangan sampah. Jadi memikirkan satu sistem distribusi produk, misalnya produk kebutuhan sehari-hari masyarakat, itu sistem pasoknya itu perlu dipikirkan bagaimana kebutuhan masyarakat ini terpenuhi tapi tidak menghasilkan sampah, itu yang perlu dicari tahu dan diperdalam dalam tata kelola sampah di Indonesia, khususnya di Jakarta,” kata Aminullah.

Penanganan Sampah Butuh Sinergi

Meski sudah mengalami peningkatan, pemerintah tetap perlu menggeser paradigma untuk tidak hanya berfokus pada pemusnahan sampah, mengingat jumlah sampah yang terus menggunung. Sebab, kata Aminullah, fokus terhadap pemusnahan saja akan memakan banyak ruang karena fasilitasnya cukup besar, terlebih dengan karakteristik sampah Jakarta yang tidak terpilah, tercampur, dan basah.

“Cara pandang pemerintah soal sampah itu sudah mengalami peningkatan yang tadinya dia dianggap sebagai masalah estetika kota, kemudian meningkat menjadi juga masalah lingkungan hidup dan kesehatan. Makanya kemudian dimandatkan ke DLH akhirnya seperti itu. Itu sebetulnya sudah baik gitu cuma perlu ditingkatkan lagi ya,” tuturnya.

Pengamat Tata Kota, Nirwono Yoga, pun menyampaikan hal senada. Ia mengatakan bahwa pengelolaan sampah bisa dimulai dari tingkat RT, RW, Kelurahan, hingga kota. Penanganan sampah ini mesti dilakukan semua elemen secara berbarengan. Dengan begitu, timbunan sampah yang diangkut ke TPA akan semakin sedikit.

Untuk sampah organik, menurut Yogi, bisa diolah menjadi kompos dan digunakan untuk pemupukan taman dan kebun. Sementara sampah anorganik bisa dipilah oleh warga lalu dikumpulkan di pool dan diambil oleh pihak ketiga. Selanjutnya, tumpukan tersebut akan dikirim ke pabrik daur ulang sampah.

“Hal yang sama [harus] dilakukan oleh perkantoran, rusun, pusat perbelanjaan, kawasan industri, sehingga mengurangi beban TPA dan lebih lama lagi dapat digunakan,” kata Nirwono kepada Tirto, Selasa (18/2/2025).

Meski demikian, beberapa teknologi pengelolaan sampah yang saat ini diterapkan punya catatan. Misalnya, Aminullah mengkritisi soal teknologi Refuse-derived fuel (RDF) Plants yang ramai ditonjolkan pemerintah, yakni mengolah sampah menjadi bahan bakar pabrik semen setara batu bara muda.

Pemerintah Jakarta dinilai Aminullah meloncat terlalu jauh, padahal belum selesai dengan pemilahan, pengurangan sampah di sumber, dan desentralisasi pengolahan sampah.

“Bahkan teknologi seperti RDF, incinerator, pyrolysis, seperti itu di beberapa negara justru dianggap sebagai langkah terakhir ya. [Karena] risikonya itu besar, risiko terhadap lingkungan, risiko terhadap kesehatan itu dia cukup besar. Akhirnya dia ditaruh paling terakhir ketika semua pendekatan sudah dilakukan,” lanjut Aminullah.

Baca juga artikel terkait PENGELOLAAN SAMPAH atau tulisan lainnya dari Fina Nailur Rohmah

tirto.id - News
Reporter: Fina Nailur Rohmah
Penulis: Fina Nailur Rohmah
Editor: Anggun P Situmorang