tirto.id - Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta menempuh langkah jitu untuk mengendalikan pencemaran udara sekaligus sampah di Jakarta, yakni melalui fasilitas pabrik pengolah sampah atau Refuse-Derived Fuel (RDF) plant. Adapun RDF adalah bahan bakar pabrik semen setara batu bara muda yang diolah dari sampah.
Penjabat (Pj.) Gubernur DKI Jakarta Heru Budi Hartono mengemukakan, pihaknya telah memiliki satu fasilitas RDF plant yang berada di Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) Bantargebang, Bekasi, Jawa Barat. Kini, Pemprov DKI Jakarta tengah membangun RDF plant di Rorotan, Jakarta Utara.
Ia meyakini, RDF plant bakal mengurangi pencemaran udara, lantaran fasilitas tersebut tidak memproses sampah menggunakan metode pembakaran. Dengan demikian, RDF plant mengurangi emisi karbon yang ditimbulkan dari proses pembakaran sampah.
"Manfaat pengolahan sampah menjadi RDF bagi masyakarat dan lingkungan, yaitu minim polusi udara karena pengolahan sampah menjadi RDF tidak melibatkan proses pembakaran sampah yang dikhawatirkan menimbulkan pencemaran udara," ucap Heru kepada Tirto, Jumat (6/9/2024).
Ia menyebutkan, RDF plant juga dapat mengurangi pencemaran sampah. Sebab, RDF plant dapat mengolah sampah tercampur. Di satu sisi, RDF plant Bantargebang telah dilengkapi dengan Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) alias lindi dengan metode Advanced Oxidation System (AOP).
Dengan demikian, hasil olahan lindi di RDF plant Bantargebang dapat memenuhi baku mutu lingkungan. Instalasi yang sama juga akan dibangun di RDF plant Rorotan.
Heru menambahkan, RDF plant Rorotan akan dilengkapi dengan fasilitas Stasiun Pemantauan Kualitas Udara (SPKU). Fasilitas itu akan terkoneksi dengan sistem informasi Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Provinsi DKI Jakarta. Gunanya agar DLH DKI dapat mengawasi kualitas udara di dalam kawasan RDF plant Rorotan. "Di samping itu, secara berkala kami akan melaksanakan pemantauan kualitas lingkungan, sebagaimana yang dimuat dalam dokumen amdal RDF Rorotan," kata Heru.
Ia menambahkan, ada sejumlah kelebihan lain dari fasilitas RDF, yakni biaya pembangunan dan pengoperasian yang terjangkau, waktu pembangunan yang relatif cepat, serta dapat mendatangkan pendapatan daerah dari penjualan RDF kepada pihak pembeli hasil olahan (offtaker).
Kepala Dinas Lingkungan Hidup Provinsi DKI Jakarta Asep Kuswanto mengutarakan, RDF plant Bantargebang dapat mengolah 2.000 ton sampah per hari. Rinciannya, sebanyak 1.000 ton per hari sampah baru dan 1.000 ton per hari sampah lama.
Dari olahan tersebut, RDF plant Bantargebang dapat menghasilkan 700 ton RDF per hari. "[Sementara] RDF Rorotan didesain untuk mengolah sampah baru sebanyak 2.500 ton per hari dan menghasilkan RDF minimal 875 ton per hari," ungkap Asep kepada Tirto, Jumat.
Menurutnya, potensi pemasukan dari penjualan RDF pada 2024 dengan offtaker PT Indocement Tunggal Prakarsa dan PT Solusi Bangun Indonesia mencapai Rp 58 miliar. Sementara itu, potensi pendapatan lain dari kerja sama Extended Producer Responsibility (EPR) dengan PT Unilever Indonesia mencapai Rp 6,87 miliar.
Asep mengatakan, PT Indocement Tunggal Prakarsa telah menyampaikan surat kesediaan sebagai offtaker RDF. Selain itu, PT tersebut telah menyampaikan surat kesanggupan untuk memanfaatkan seluruh produk RDF dari RDF plant Rorotan di kompleks pabrik Indocement di Citeureup, Bogor, Jawa Barat.
Dalam kesempatan itu, ia juga menyatakan, kontrak pekerjaan desain dan pembangunan RDF plant Rorotan dilakukan sejak 26 Maret 2024. "Progres pekerjaan per tanggal 24 Mei 2024, yaitu mencapai 13,90 persen, yang meliputi pekerjaan perancangan, pekerjaan tanah, pemancangan, dan pengadaan mesin-mesin pengolahan sampah," tutur Asep.
Menurutnya, pekerjaan pembangunan RDF di Rorotan ditargetkan rampung pada 2024. Kemudian, commisioning dan operasional ditarget berlangsung pada 2025. "Penanggung jawab pembangunan RDF plant Jakarta di Rorotan, yaitu Dinas Lingkungan Hidup Provinsi DKI Jakarta," lanjutnya.
Ia menambahkan, bangunan hanggar utama penerimaan dan pengolahan sampah di RDF plant Rorotan didesain dengan bentuk tertutup dan dilengkapi sistem pengendali bau. Desain tersebut dapat meminimalkan bau sampah dari area RDF.
"[Lalu] sistem pengering mekanis RDF akan dilengkapi dengan alat pengendali emisi atau cyclone and wet scrubber, sehingga emisi memenuhi baku mutu lingkungan," tutur Asep.
Model Bisnis yang Tepat
Pengamat tata kota, Yayat Supriatna, mendukung pembangunan RDF plant di Rorotan. Di satu sisi, ia mengingatkan Pemprov DKI Jakarta agar tidak menggelontorkan uang terlalu banyak dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) untuk pembangunan RDF.
"Kalau RDF, perlu ada hitungan bisnisnya. Selama ini, program-program lebih banyak beban APBD, tapioutput-nya belum menjadi outcome. Harus bisa ditindaklanjuti oleh bisnis yang lain agar bisa berkelanjutan," kata Yayat, Jumat.
Ia lantas menyarankan agar RDF plant tak lagi dikelola Pemprov DKI Jakarta, melainkan dikelola Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) Jakarta. Dengan demikian, penggunaan APBD untuk operasional RDF plant dapat dikurangi.
"Lebih baik ditangani oleh badan usaha, biar jadi Business to Business [B2B]. Serahkan saja [pengelolaan] RDF ke BUMD. Agar, [operasional RDF plant] nanti tidak pakai APBD lagi. Karena ini jual beli [RDF], kan ada bisnisnya," papar Yayat.
Sementara itu, Anggota DPRD DKI Jakarta Ida Mahmudah berharap, pembangunan RDF plant Rorotan dapat segera rampung. Pasalnya, masyarakat Jakarta membutuhkan fasilitas pengolah sampah.
"Ini [pembangunan RDF plant Rorotan] semoga cepat selesai. Semoga berjalan lancar dan dapat dukungan warga di seluruh DKI Jakarta," urai politikus PDIP tersebut, Jumat.
Di satu sisi, Ida mengingatkan Pemprov DKI Jakarta agar mengurangi penggunaan APBD untuk RDF plant. Ia juga mengingatkan supaya Pemprov DKI tidak mengeluarkan uang untuk membayar biaya operasional (tipping fee) kepada pihak ketiga.
"Prinsipnya, yang penting tidak menggunakan APBD, tidak menggunakan tipping fee. Memang ini akan menyelesaikan persoalan sampah yang ada di DKI Jakarta," pungkasnya.
Penulis: Muhammad Naufal
Editor: Fahreza Rizky