Menuju konten utama

Penempatan TNI Aktif di Bulog Ancam Demokrasi dan Langgar Aturan

Penempatan TNI aktif dalam jabatan sipil apalagi di lembaga yang tidak terkait dengan urusan pertahanan sejatinya tidak dapat dibenarkan.

Penempatan TNI Aktif di Bulog Ancam Demokrasi dan Langgar Aturan
Menteri Pertanian Amran Sulaiman (kiri) bersama Direktur Utama Perum Bulog Mayjen Novi Helmy Prasetya (kanan) menyampaikan keterangan usai pertemuan di Gedung A Kementerian Pertanian, Jakarta, Minggu (9/2/2025). ANTARA FOTO/Asprilla Dwi Adha/nz

tirto.id - Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Erick Thohir, menunjuk Mayor Jenderal (Mayjen) Novi Helmy Prasetya sebagai Direktur Utama (Dirut) baru Perum Bulog. Keputusan penunjukan Novi sebagai Dirut Bulog tertuang dalam Keputusan Menteri BUMN Nomor: SK-30/MBU/02/2025 tanggal 7 Februari 2025.

Seminggu sebelumnya, Novi dan puluhan perwira tinggi lainnya terkena rotasi jabatan berdasarkan Keputusan Panglima TNI Nomor Kep/133/I/2025 tanggal 31 Januari 2025. Dalam keputusan itu, Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto menunjuk Novi Helmy Prasetya sebagai Komandan Jenderal (Danjen) Akademi TNI. Rilis terkait rotasi ini baru dikeluarkan Pusat Penerangan TNI (Puspen TNI) pada tanggal 10 Februari 2025, tiga hari setelah Erick Thohir mengangkat Novi menjadi Dirut Bulog.

Penunjukan perwira tinggi aktif jebolan pasukan elit Komando Pasukan Khusus alias Kopassus menjadi orang nomor satu di perusahaan negara yang bergerak di bidang pangan tersebut sontak memantik banyak polemik di tengah masyarakat.

Kepada awak media, Erick Thohir, menyatakan keputusan untuk mengangkat Mayjen TNI Novi Helmy Prasetya sebagai Dirut Bulog diyakini dapat membantu Perum Bulog untuk mewujudkan target-target yang sudah direncanakan pemerintah.

“Artinya itu jawabannya, jadi penugasan yang harus kita laksanakan secara maksimal, penyegaran yang ada tentu di Bulog, ataupun ekosistem lainnya yang memang harus kita sekarang lakukan,” ucapnya.

Namun, ketika ditanya adakah potensi pelanggaran dari keputusan pengangkatan Mayjen TNI Novi Helmy Prasetya sebagai Dirut Bulog yang masih berstatus aktif menjadi TNI, Erick memilih bungkam.

Erick Thohir

Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir di Kantor BUMN, Jakarta, Senin (10/2/2025). tirto.id/Nabila Ramadhanty Putri Darmadi.

Sebelumnya, Mayor Jenderal TNI Novi Helmy Prasetya, mengaku bahwa dirinya masih aktif sebagai prajurit TNI meskipun telah ditunjuk sebagai Direktur Utama Perum Bulog menggantikan Wahyu Suparyono.

“Ya masih aktif, ya,” ujar Novi saat ditemui usai rapat koordinasi Perum Bulog dan Kementerian Pertanian di Kantor Kementerian Pertanian, Pasar Minggu, Jakarta Selatan, pada Minggu (9/2/2025).

Novi mengatakan, penunjukannya sebagai Dirut Bulog ini merupakan arahan dari pimpinan. Ketika ditanya lebih lanjut, dia enggan menyebut siapa pimpinan yang dia maksud.

Dia lantas menegaskan bahwa ditunjuk dalam rangka membantu mempercepat target swasembada pangan. Termasuk, memastikan Bulog dapat melakukan penyerapan gabah dari petani sesuai instruksi.

“Ya kita kan mau swasembada pangan ke depan, ya kan. Saya pokoknya, saya kan ditugaskan menjadi Dirut (Bulog), kita laksanakan, gitu ya,” ujar Novi.

Langgar Aturan Undang-undang

Mabes TNI menyebut penunjukan Mayjen Novi Helmi sebagai Dirut Bulog merupakan hasil kesepakatan (MoU) bersama yang telah disetujui antara TNI dan Kementerian BUMN. Meski begitu, Hariyanto tidak menjelaskan secara detail apa saja kerja sama yang diatur antara kedua instansi dalam MoU tersebut.

"Penunjukan Mayjen TNI Novi Helmy sebagai Direktur Utama Bulog merupakan bagian dari kerja sama strategis antara TNI dan BUMN yang didasarkan pada Nota Kesepahaman (MoU) antara kedua institusi, yang telah dilaksanakan sebelumnya," kata Kepala Pusat Penerangan (Kapuspen) TNI Mayor Jenderal TNI Hariyanto, dilansir dari Antara, Senin (10/2/2025).

Lebih lanjut, selain karena MoU, Novi Helmy ditunjuk sebagai Dirut Bulog lantaran dianggap memiliki pengalaman di bidang pembinaan Babinsa serta memiliki jaringan yang luas. Pengalaman itu dianggap dapat mempermudah Bulog dalam menjalankan program ketahanan pangan nasional. Hal tersebut, lanjut Hariyanto, juga disetujui oleh Panglima TNI Jenderal TNI Agus Subiyanto.

Hariyanto menambahkan, Novi Helmy akan mendapat kenaikan pangkat satu tingkat menjadi bintang tiga atau letnan jenderal. Hal tersebut harus dilakukan karena jabatan Komandan Jenderal (Danjen) Akademi TNI harus dijabat perwira tinggi berpangkat letnan jenderal. Selain itu, kenaikan pangkat yang diberikan kepada Novi Helmy juga bertujuan menyetarakan jabatan sebagai Direktur Utama Perum Bulog.

"Jabatan Direktur Utama Bulog setara dengan eselon I, yang dalam struktur TNI setingkat dengan perwira tinggi bintang tiga," jelas Hariyanto dilansir dari Antara.

Direktur Imparsial, Ardi Manto Adiputra, memandang penempatan prajurit TNI aktif seperti Mayjen Novi Helmy dalam jabatan sipil, seperti di Bulog, merupakan bentuk ancaman terhadap demokrasi dan juga pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku. Idealnya dalam negara demokrasi ada pemisahan urusan antara militer dan sipil demi menjamin penghormatan terhadap supremasi sipil dan jaminan terhadap tata negara hukum yang baik.

Hal itu juga ditegaskan dalam Pasal 47 ayat (1) UU No. 34 Tahun 2004 (UU TNI) menyatakan bahwa “Prajurit hanya dapat menduduki jabatan sipil setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas aktif keprajuritan”.

Dalam pasal tersebut memang diberikan kelonggaran TNI aktif untuk menjabat di jabatan sipil. Namun, jabatan tersebut hanya dibolehkan untuk jabatan yang berkaitan dengan urusan pertahanan di 10 lembaga, yakni; kantor yang membidangi koordinator bidang Politik dan Keamanan Negara, Pertahanan Negara, Sekretaris Militer Presiden, Intelijen Negara, Sandi Negara, Lembaga Ketahanan Nasional, Dewan Pertahanan Nasional, Search and Rescue (SAR) Nasional, Badan Narkotika Nasional, dan Mahkamah Agung.

Merujuk aturan tersebut, penunjukan prajurit TNI aktif seperti Mayjen Novi Helmy dalam jabatan sipil, seperti di Bulog dapat dinilai sebagai pelanggaran. Apalagi, alih-alih mengundurkan diri dari jabatan TNI aktif, ia malah mendapat kenaikan pangkat menjadi jenderal bintang tiga atau Letjen serta rangkap jabatan sebagai Danjen Akademi TNI.

“Penempatan TNI aktif dalam jabatan sipil apalagi di lembaga yang tidak terkait dengan urusan pertahanan sejatinya tidak dapat dibenarkan,” ujar Direktur Imparsial, Ardi Manto Adiputra, lewat keterangan yang diterima Tirto, Selasa (11/2/2025)

Lebih lanjut, Ardi dari Imparsial menyebut penempatan TNI dalam jabatan sipil berpotensi berdampak negatif terhadap pengelolaan jenjang karir Aparatur Sipil Negara (ASN) dan masuknya militerisme ke dalam lembaga sipil. Selain itu, penempatan TNI aktif dalam jabatan sipil juga sudah tentu merusak profesionalisme TNI.

Novi Helmy Prasetya

Direktur Utama (Dirut) Perum Bulog, Mayor Jenderal TNI Novi Helmy Prasetya, saat ditemui usai melakukan Konferensi Pers dan rapat koordinasi dengan Perum Bulog di Kementerian Pertanian, Pasar Minggu, Jakarta Selatan, pada Minggu (9/2/2025). Tirto.id/Rahma Dwi Safitri

Dengan potensi tersebut, ia kehawatir akan muncul persaingan di internal TNI untuk terlibat dalam sektor bisnis alih-alih meningkatkan kapabilitas mereka untuk pertahanan. Dari sisi eksternal, potensi fraud atau korupsi dalam pengelolaan BUMN yang melibatkan anggota TNI juga menjadi persoalan serius.

“Hal ini dikarenakan mekanisme penegakan hukum terhadap anggota TNI berada di ranah peradilan militer, yang selama ini dinilai memiliki kecenderungan impunitas dan kurangnya transparansi,” ujar Ardi kepada Tirto.

Imparsial menilai kebijakan pemerintah dalam menempatkan TNI di jabatan sipil sudah melampaui batas dan secara nyata ingin mengembalikan model politik Indonesia ke masa otoritarian militer Orde Baru.

Berdasarkan catatan Imparsial terdapat 2.569 prajurit TNI aktif di jabatan sipil pada 2023. Sebanyak 29 perwira aktif menduduki jabatan sipil di luar lembaga yang ditetapkan oleh Undang-Undang TNI.

Secara terpisah, pengamat militer dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Khairul Fahmi, menyebut penempatan prajurit aktif di jabatan sipil atau BUMN yang tidak secara eksplisit diatur dalam Pasal 47 UU TNI bisa menciptakan ambiguitas hukum.

Dalam konteks sejarah, seperti yang terjadi pada pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) maupun Joko Widodo (Jokowi), prajurit yang dilibatkan dalam jabatan sipil atau kementerian/lembaga di luar yang diatur oleh UU, umumnya harus melalui prosedur alih status menjadi ASN atau pensiun dari TNI.

Namun, Fahmi mengamati pada masa Presiden Jokowi, sudah ada kecenderungan di mana beberapa perwira aktif TNI ditempatkan dalam jabatan sipil atau kementerian yang tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 47 UU TNI, tanpa melalui prosedur pensiun atau alih status.

“Hal ini menunjukkan adanya pelonggaran praktik dan ketidakjelasan dalam pelaksanaan aturan yang ada,” Ujar Fahmi lewat keterangan yang diterima Tirto, Selasa (11/2/2025)

Berdasarkan penelusuran Tirto pada 2025, sejumlah nama prajurit TNI aktif menduduki jabatan sipil di luar lembaga yang ditetapkan oleh Undang-Undang TNI, misalnya, Mayor Teddy Indra Wijaya sebagai Sekretaris Kabinet, Mayjen Maryono sebagai Inspektur Jenderal Kementerian Perhubungan, Mayjen Irham Waroihan sebagai Irjen Kementerian Pertanian dan Laksamana Pertama Ian Heriyawan di Badan Penyelenggara Haji.

Dwifungsi Militer Makin Kental

Peneliti HAM dan sektor keamanan SETARA Institute, Ikhsan Yosarie, menilai kukuhnya pemerintah dalam menempatkan militer pada jabatan sipil meskipun melanggar ketentuan UU TNI, semakin memperlihatkan ketiadaan visi reformasi TNI di awal pemerintahan Prabowo-Gibran.

“Terutama dalam aspek memastikan TNI fokus sebagai alat negara di bidang pertahanan, sebagaimana amanat Konstitusi dan UU TNI,” ujarnya, Senin (10/2/2025)

Ia lantas mencontohkan kasus penunjukan Mayor Teddy sebagai Sekretaris Kabinet. Alih-alih melakukan evaluasi atas banyaknya kritik publik pemerintah justru melakukan akrobatik hukum dengan melakukan perubahan regulasi terkait struktur Seskab.

Sebelumnya, dalam Perpres Nomor 55 Tahun 2020 tentang Sekretariat Kabinet, Pasal 1 ayat (1) mengatur bahwa Sekretariat Kabinet berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden. Struktur ini kemudian diubah melalui Pepres Nomor 148 Tahun 2024 tentang Kementerian Sekretariat Negara. Sebab dalam Pasal 48 ayat (1) Perpres a quo, Sekretaris Kabinet disebutkan menjadi bagian dari Sekretariat Militer Presiden.

“Artinya, harapan bahwa pemimpin baru dapat memperbaiki kondisi regresi reformasi militer dalam 5-10 tahun era presiden sebelumnya, sejauh ini masih sebatas imajinasi,” kata Ikhsan.

Melalui penempatan TNI pada jabatan sipil ini, pemerintahan baru ini semakin melibatkan militer pada ranah sipil, yakni dalam konteks peran-peran di luar bidang pertahanan. Setara Institute mencatat pada awal pemerintahan Presiden Prabowo, militer telah dilibatkan pada program Makan Bergizi Gratis (MBG), penertiban kawasan hutan, hingga wacana pembentukan 100 batalion teritorial pembangunan.

“Penguatan militerisme pada ruang-ruang sipil di awal pemerintahan Prabowo memperlihatkan watak dan substansi dwifungsi militer yang masih kental,” kata Ikhsan.

Ikhsan menilai pemerintah saat ini masih menganggap militer sebagai solusi atas semua problematika pembangunan, sehingga pelibatan militer dianggap menjadi manifestasi akselerasi pembangunan. Paradigma ini memperlihatkan pejabat pemerintahan masih menempatkan kondisi Orde Baru sebagai patokan dalam pembangunan melalui dwifungsi ABRI ketika itu.

“Padahal berbagai perkembangan konsep pemerintahan, seperti good governance hingga collaborative governance dapat menjadi konsep menuju pembangunan yang demokratis,” ujarnya.

Baca juga artikel terkait BULOG atau tulisan lainnya dari Alfitra Akbar

tirto.id - News
Reporter: Alfitra Akbar
Penulis: Alfitra Akbar
Editor: Anggun P Situmorang