tirto.id - Komitmen Presiden Prabowo Subianto dalam hal pemberantasan korupsi bukan sekali atau dua kali disampaikan di hadapan publik. Dalam berbagai agenda atau kesempatan, Mantan Menteri Pertahanan itu, setidaknya berulang menekankan bahwa pemerintahannya akan menindak tegas segala bentuk praktik korupsi yang terjadi di dalam negeri.
Komitmen itu setidaknya sudah bisa dilihat saat pidato kenegaraan awal Prabowo usai dilantik menjadi presiden, pada 20 Oktober 2024 lalu. Prabowo seolah membius dengan meyakinkan masyarakat bahwa pemerintahannya bisa menjadi ‘pahlawan’ dalam pemberantasan korupsi.
Saat itu, Prabowo menegaskan bahwa praktik korupsi dan kolusi adalah masalah bangsa yang tak perlu takut untuk diungkap dan diberantas. Ia lantas meminta seluruh aparat penegak hukum (APH) tidak takut menindak para pejabat dan pengusaha yang merugikan negara lewat korupsi dan kolusi. Perilaku lancung itu, kata dia, memengaruhi banyak masyarakat di Indonesia yang belum sejahtera kehidupannya.
Di kesempatan berbeda, Prabowo bahkan menyampaikan bahwa dirinya sudah tidak mentolerir segala tindakan korupsi dalam bentuk apapun. Purnawirawan TNI itu bahkan memerintahkan kembali jajaran aparat penegak hukum untuk menindak tegas para koruptor tersebut.
“Saya tunggu 100 hari, 102 hari, 103 hari ini sudah 100 berapa hari ya apa boleh buat ya terpaksa lah Jaksa Agung, Kapolri, BPKP, KPK, silakan,” ujar Prabowo di acara Muslimat NU di Surabaya, Jawa Timur, Senin (10/2/2025).
Agenda antikorupsi Pemerintahan Prabowo-Gibran sejatinya memang sudah tercermin dalam Asta Cita atau salah satu dari delapan misi yang diusung sejak masa kampanye. Diantaranya yaitu akan memperkuat reformasi politik, hukum dan birokrasi, serta memperkuat pencegahan dan pemberantasan korupsi dan narkoba.
Agenda antikorupsi tersebut kemudian dibumbui dengan pernyataan Prabowo yang tajam dan menjanjikan, seperti akan mengejar koruptor sampai Antartika. Ini membuat publik semakin yakin bahwa penegakan hukum atau pemberantasan korupsi di era pemerintahan Prabowo sudah cukup baik.
Keyakinan publik tersebut terpotret dari survei Lembaga Survei Indonesia mengenai kinerja penegakan hukum dan pemberantasan korupsi dalam 100 hari pemerintahan Prabowo Subianto. Sebanyak 44,9 masyarakat yang menilai pemberantasan korupsi berjalan dengan baik atau sangat baik. Sebanyak 26,2 persen menilai berjalan buruk atau sangat buruk, dan 24,4 menjawab sedang atau biasa-biasa saja.
Survei dilaksanakan pada 20 sampai 28 januari 2025. Survei ini melibatkan sebanyak 1.220 responden yang dipilih dengan multistage random sampling. Margin of error dari ukuran sampel ini sebesar 2,9 persen.
Jauh Panggang Dari Api
Akan tetapi jika diamati lebih dalam, komitmen Prabowo dalam hal pemberantasan korupsi justru dinilai bak jauh panggang dari api. Peneliti dari Pusat Kajian Antikorupsi (PUKAT) Universitas Gadjah Mada (UGM), Zaenur Rohman, mengatakan dirinya tidak melihat satupun kebijakan hukum dalam pemberantasan korupsi yang dilakukan oleh pemerintahan Prabowo selama 100 hari terakhir. Baik dari sisi substansi hukum maupun struktur hukum.
“Misalnya beberapa RUU yang dibutuhkan untuk mendukung efektivitas pemberantasan korupsi, nggak ada tuh yang dihasilkan. Dari sisi struktur hukum juga tidak ada, misalnya reformasi institusi penegak hukum, mengembalikan independensi KPK juga tidak,” jelas dia kepada Tirto, Selasa (11/2/2025).
Zaenur mengatakan, komitmen Prabowo ke institusi peradilan juga tidak terlihat sama sekali. Maka, menurutnya 100 hari Pemerintahan Prabowo-Gibran bisa dikatakan tidak ada satupun program pemerintah yang concern dalam pemberantasan korupsi.
Wakil Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Arif Maulana, mengamini dalam 100 hari pemerintahan Presiden Prabowo kelihatannya memang tidak serius terkait pemberantasan korupsi. Asta Cita untuk pencegahan dan pemberantasan korupsi masih sebatas wacana atau omon-omon.
Semestinya, kata Arif, Prabowo harus membuktikan dengan memulihkan Independensi dan Kewenangan KPK yang dikebiri dengan Revisi UU KPK di 2019. Baru kemudian masyarakat bisa punya harapan bahwa pernyataan presiden bukan hanya lip service atau sekedar omon-omon.
Selanjutnya pemberantasan korupsi harus dimulai dengan membersihkan aparat penegak hukumnya. Polisi, Jaksa, Hakim dan Lembaga pemasyarakatan harus jujur dan anti korupsi sehingga lembaga peradilannya juga bisa memberantas korupsi bukan jadi bagian dari masalah korupsi.
Cara ini, menurutnya bisa dimulai dengan memperkuat pengawasan publik kepada Aparat Penegak Hukum (Polisi, Jaksa, Hakim) dalam RUU KUHAP dan memastikan perlindungan terhadap masyarakat atau siapapun yang melawan korupsi sebagai kejahatan serius.
Selain itu, presiden dan para pejabat publik termasuk partai politik harus berikan contoh terlebih dahulu untuk tidak berperilaku korup atau melakukan korupsi. Ini sama seperti halnya tidak memiliki konflik kepentingan dalam bisnis dan jabatan, lalu korupsi politik dengan membuat kebijakan yang membangkang terhadap konstitusi dan demokrasi.
“Setiap kebijakan pemerintah harus transparan dan akuntabel berdasarkan hukum dan berpihak terhadap kepentingan rakyat bukan justru menyengsarakan rakyat,” ujar Arif.
Butuh Gebrakan Nyata
YLBHI meminta agar presiden dan pejabat publik untuk mengimplementasikan Undang-undang (UU) Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Karena ada banyak kasus korupsi mangkrak di KPK, salah satunya laporan dugaan KKN Keluarga Presiden ke-7, Joko Widodo, yang tidak ditindaklanjuti.
“Ini bagaimana? presiden harus punya arahan yang jelas, mana yang harus diselesaikan, supaya bisa dinilai oleh masyarakat ini bukan omon-omon belaka,” jelas Arif.
Sementara itu, Zaenur dari PUKAT menyarankan kepada pemerintahan Prabowo untuk membuat program yang nyata untuk pemberantasan korupsi dalam bentuk pencegahan maupun penindakan. Salah satu bisa dilakukan adalah dengan mengembalikan independensi KPK.
Selain itu, pemerintah ke depan juga bisa menghasilkan regulasi yang mendukung pemberantasan korupsi. Mulai dari RUU perampasan aset, RUU pembatasan transaksi uang kartal, revisi Undang-Undang Tipikor untuk mengkriminalisasi illicit enrichment, serta revisi Undang-Undang 28/1999 agar LHKPN dijadikan sebagai dasar untuk mengawasi harta penyelenggara negara.
Oleh karena itu, dia berharap omon-omon presiden ikut disampaikan kepada para menteri dan pejabat di bawahnya untuk melakukan upaya-upaya bentuk kebijakan yang terukur. Misalnya Menteri Hukum diberi tugas untuk yang jelas dan diberi batas waktu. Harus ada hasil yang nyata. “Jadi tidak boleh hanya dalam bentuk omon-omon seperti sekarang,” imbuh Zaenur.
Singkatnya, jika langkah-langkah konkret ini tidak segera dilakukan, maka janji untuk bertindak tegas terhadap koruptor hanya akan menjadi retorika kosong yang tidak membawa perubahan. Untuk itu, saatnya bagi pemerintah dan penegak hukum untuk membuktikan komitmen mereka dan tidak sekadar berbicara, tetapi bertindak dengan tegas.
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Anggun P Situmorang