Menuju konten utama

Kasus Anak Depresi, Bagaimana Orang Tua Mesti Bertindak?

Psikolog klinis, Veronica Adesla, menjelaskan, anak perlu diberikan ruang dan kesempatan untuk menjelaskan dirinya.

Kasus Anak Depresi, Bagaimana Orang Tua Mesti Bertindak?
Ilustrasi depresi anak. Getty Images/iStockphoto

tirto.id - Seorang anak di Cirebon, Jawa Barat yang diduga depresi setelah gawainya dijual oleh orang tua menyita perhatian warganet di media sosial. Dalam berbagai pemberitaan, disebut bahwa orang tua sang anak terpaksa menjual gawai itu karena terdesak kebutuhan ekonomi. Orang tua tersebut lantas merasakan perubahan sikap sang anak yang mulai melamun, marah, dan sering mengamuk dengan menendang barang di rumah.

Kisah bocah berumur 13 tahun yang diduga depresi ini pun sampai ke telinga Presiden Joko Widodo. Lewat Staf Kementerian Sekretariat Negara, Puput Hariadi, Jokowi memberikan bantuan langsung ke rumah anak berinisial A tersebut, yang tinggal di Kota Cirebon, Senin (13/5/2024). Puput menyatakan bantuan itu berupa biaya pendidikan dan merupakan amanah Presiden Jokowi yang merasa prihatin usai mendengar kabar A melalui media sosial.

Kondisi depresi pada anak bukan merupakan hal yang patut disepelekan. Relasi anak dan orang tua sudah sepatutnya harus menjaga dan memahami soal kondisi kesehatan mental anak. Sehingga tindakan pendisiplinan atau keputusan orang tua yang menyangkut anak, tetap memperhatikan kepentingan terbaik buat si buah hati, terutama bagi kondisi kesehatan fisik dan mental mereka.

Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Aris Adi Leksono, menilai salah satu bentuk mempertimbangkan kepentingan terbaik buat anak adalah mengambil langkah komunikasi dan diskusi dengan anak. Diskusi dilakukan meliputi situasi yang tengah dialami atau dirasakan anak, dan menggali pendapat anak untuk mendapatkan solusi terbaik.

“Situasi kesehatan mental anak di tengah pengaruh media sosial dan pergaulan lingkungan cukup rapuh. Sehingga perlu memahami situasi anak secara mendalam, memberikan perhatian dan pengawasan, serta langkah mitigasi tertentu jika dibutuhkan,” kata Aris kepada reporter Tirto, Kamis (16/5/2024).

Menurut Aris, jika ada tanda perubahan perilaku pada anak, orang tua harus mengambil langkah komunikasi dengan anak untuk memahami apa yang tengah mereka rasakan. Jika ditemukan ada indikasi gangguan kesehatan mental pada anak, orang tua bisa segera menanyakan kondisi tersebut ke profesional layanan kesehatan bidang kejiwaan.

“Jika mengalami kesulitan dalam pemulihan depresi dapat mengakses layanan psikolog profesional yang disediakan pemerintah daerah melalui Dinas Kesehatan, DP3KB, atau layanan UPTD PPA,” pesan Aris.

Prinsipnya, kata Aris, orang tua harus menyadari akan tanggung jawab melindungi anak, serta memberikan pengasuhan terbaik bagi anak. Pada situasi konflik berat antara orang tua dan anak, maka keterlibatan aparat lingkungan (RT/RW dan tetangga) sangat memiliki peran penting. Pihak ketiga bisa melakukan mediasi, memberikan nasihat, bahkan jika diperlukan perlu memfasilitasi tempat aman sementara pada anak seperti rumah aman.

Aris memandang, masih banyak orang tua atau keluarga terdekat yang abai terhadap situasi kesehatan mental dan perlindungan anak. Buktinya, kasus tertinggi pengaduan pelanggaran perlindungan anak yang diterima KPAI justru terjadi di lingkungan keluarga dan pengasuhan alternatif.

“Lemahnya literasi perlindungan anak pada lingkungan keluarga [merupakan faktornya], khususnya literasi pengasuhan yang memperhatikan prinsip dasar perlindungan anak, non-diskriminasi, prinsip kepentingan terbaik, prinsip hak hidup dan perkembangan,” ungkap Aris.

Faktor Depresi Anak

Riset yang dilakukan akademisi dan pengajar Universitas Indonesia, Fransiska Kaligis dan rekan-rekan (2021) menemukan bahwa masa transisi dari remaja menuju ke dewasa – yaitu antara usia 16-24 tahun – merupakan masa kritis untuk kesehatan mental anak dan remaja. Dalam pemaparan hasil riset yang ditulisnya di The Conversation, Fransiska menyatakan banyak remaja Indonesia di periode transisi mengalami tantangan beradaptasi terhadap kehidupan mereka yang mulai berubah.

“Kesulitan mengatur waktu dan keuangan pribadi, serta mengalami peningkatan rasa kesepian saat belajar dan merantau di kota yang jauh dari tempat tinggal,” kata dia.

Riset yang dilakukan oleh tim Divisi Psikiatri Anak dan Remaja, Fakultas Kesehatan Universitas Indonesia lewat survei pada 393 anak dan remaja tersebut mendapati, sebanyak 95,4 persen responden menyatakan pernah mengalami gejala kecemasan (anxiety), dan 88 persen pernah mengalami gejala depresi dalam menghadapi permasalahan selama di masa usia itu. Selain itu, sebanyak 96,4 persen responden menyatakan kurang memahami cara mengatasi stres akibat masalah yang sering mereka alami.

Psikolog klinis, Veronica Adesla, menjelaskan ada beberapa faktor yang dapat memicu kondisi depresi pada anak. Misalnya, anak mengalami atau pun menyaksikan kejadian hidup yang buruk, traumatik, dan berat penuh tekanan.

Bisa juga dipicu pengalaman menyakitkan atau menakutkan yang melibatkan kekerasan. Selain itu, pengalaman menegangkan seperti kehilangan, perpisahan, kematian, penderaan, ataupun mengalami perubahan besar dalam hidup anak juga dapat memicu kondisi depresi anak.

“Faktor lainnya seperti menderita penyakit fisik atau cedera kecelakaan, penyalahgunaan zat dan obat-obatan, serta genetik karena memiliki riwayat keluarga biologis mengalami depresi,” jelas Vero, sapaan akrabnya, kepada reporter Tirto, Kamis (16/5/2024).

Di sisi lain, kata Vero, orang tua harus menyadari perubahan sikap yang drastis pada anak. Keadaan anak seperti tidak bersemangat, murung, gampang emosi seperti mengamuk atau menangis merupakan salah satu gejala dari depresi. Meski demikian, diagnosis hanya bisa dilakukan setelah melakukan konsultasi dan pemeriksaan kepada profesional di bidang kesehatan jiwa.

“Bisa pula sulit tidur atau terlalu banyak tidur, mimpi buruk, sulit makan atau banyak makan, tidak mau bergaul serta tidak mau diajak bicara atau tidak mau berbicara,” tutur Vero.

Menurut Vero, konflik anak dan orang tua juga dapat termasuk sebagai pengalaman hidup yang buruk, berat, dan traumatik. Konflik yang berlarut-larut tanpa ada jalan keluar dan penengah dapat mempengaruhi kondisi kesehatan mental atau jiwa anak.

Masalah yang timbul akibat konflik tersebut bisa berbeda-beda pada setiap anak. Namun, sama-sama memiliki ekses negatif, yakni bila tidak tertangani dengan tepat atau tidak ditangani dengan segera maka akan dapat memperburuk kondisi mental anak.

“Misalnya mengalami depresi, perilaku menyakiti diri sendiri (self-harm), perilaku menyakiti orang lain, tawuran. Bisa memicu perilaku melanggar hukum seperti adiksi, penyalahgunaan alkohol, zat obat-obatan, dan atau munculnya gejala psikotik,” jelas Vero.

Membenahi Konflik Anak-Orang Tua

Vero menjelaskan, anak perlu diberikan ruang dan kesempatan untuk menjelaskan dirinya. Caranya dengan mendengarkan seksama dan bertanya lebih lanjut pada anak untuk persepsi mereka. Kemudian, kata dia, melakukan klarifikasi kepada anak apakah apa yang orang tua tangkap atau pahami sudah sesuai dengan apa yang dimaksud anak.

“Dengan memahami anak, maka orang tua diharapkan untuk dapat lebih menghargai pikiran dan perasaan anak dan bersikap lebih bijak dalam mempertimbangkan dan menentukan langkah selanjutnya,” terang Vero.

Selain itu, penjelasan pada anak perlu menggunakan bahasa yang bisa dimengerti dan dipahami sesuai dengan usia mereka. Untuk anak masih kecil, jelaskan secara konkret dan disertai contoh-contoh nyata yang dapat dilihat atau pernah dialami mereka. Setelahnya, mengajak anak mencari solusi dari masalah yang dialami dengan mempertimbangkan keinginan anak dan harapan orang tua kepada anak.

“Ingat untuk tidak membebankan perihal yang menjadi tanggung jawab orang tua atau orang dewasa kepada anak. Apalagi kemudian bergantung pada anak untuk memenuhi kebutuhan orang tua,” ujar Vero.

Anak-anak merupakan tanggung jawab orang tua dan bukan sebaliknya. Biarkan mereka menikmati masa kecil sepenuhnya tanpa harus tumbuh dewasa secara emosional dengan lebih cepat. Kebutuhan anak merupakan hak yang perlu diprioritaskan oleh orang tua.

Peneliti psikologi sosial dari Universitas Indonesia (UI), Wawan Kurniawan, menyatakan untuk menghindari ekses berupa kekerasan dalam konflik antara anak dan orang tua, penting bagi kedua pihak untuk mengembangkan keterampilan komunikasi yang efektif. Dia mencontohkan, kasus kekerasan anak terhadap orang tua biasanya tidak terjadi secara spontan, melainkan merupakan hasil dari akumulasi berbagai masalah yang tidak tertangani.

“Seperti ketidakstabilan emosi, kurangnya coping mechanism yang sehat, atau trauma berkepanjangan. Dalam banyak kasus, anak mungkin merasa terpojok, tidak didengarkan, atau terisolasi secara emosional, yang pada akhirnya bisa memicu tindakan ekstrem,” kata Wawan kepada reporter Tirto.

Pendekatan preventif yang mencakup konseling keluarga, pendidikan emosional di sekolah, dan akses yang lebih luas ke layanan kesehatan mental dapat membantu mencegah kasus kekerasan dalam keluarga semacam itu. Selain itu, kata Wawan, pendidikan dan workshop tentang keterampilan mengasuh dan komunikasi bagi orang tua juga sangat bermanfaat.

“Tentu hal ini butuh dukungan berbagai pihak, karena untuk keluarga tertentu, dukungan pihak terkait seperti pemerintah sangat dibutuhkan,” ujar dia.

Wawan mengingatkan bahwa pengaruh sosial memegang peranan penting terhadap perkembangan kejiwaan anak. Anak-anak yang tumbuh dalam lingkungan sosial mendukung cenderung memiliki kesehatan mental lebih baik. Sebaliknya, anak yang sering mengalami penolakan sosial, perundungan, atau tekanan teman sebaya berpotensi mengembangkan masalah kejiwaan seperti depresi atau kecemasan.

“Contoh pengaruh ini bisa terlihat dari kasus anak yang depresi karena kehilangan akses ke ponselnya—di mana ponsel bisa jadi adalah sarana bagi anak tersebut untuk berinteraksi sosial atau mendapat pengakuan dari teman sebayanya. Kehilangan ini bisa dirasakan sebagai isolasi sosial atau penolakan, yang mempengaruhi kondisi kejiwaan,” jelas Wawan.

Baca juga artikel terkait DEPRESI atau tulisan lainnya dari Mochammad Fajar Nur

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Mochammad Fajar Nur
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Abdul Aziz